Monday, October 22, 2007

Nobel Sastra dan Kesunyian Seorang Penulis

NAMA yang aku tunggu akhirnya muncul. Oktober sudah hampir lewat. Padahal di setiap Oktober, nama pemenang Nobel biasanya diumumkan. Daftar nominasi kandidat sendiri muncul setiap 1 Februari. Minggu pagi, seperti ritual biasanya, aku membuka Koran Tempo Minggu. Seperti biasa juga, aku langsung membuka halaman rubrik sastra dan buku. Nah, di halaman 19, aku menemukan nama Doris Lessing, peraih nobel sastra 2007 itu.

Potret Doris terpampang di samping judul “Kado Manis untuk Doris” (Koran Tempo, 21 Oktober 2007). Parasnya sudah uzur. Keriput menghiasi setiap sudut mata dan lekuk pipinya. Garis-garis lipatan kulit tegas nampak di dahinya. Rambutnya sudah semuanya memutih. Tapi, sorot bola mata yang tenggelam di antara lipatan kelopak matanya, tampak begitu tajam. Tanda betapa perempuan ini sudah banyak makan asam garam. Itulah Doris Lessing.

Doris lahir pada 22 Oktober 1919 di Kermanshah, Iran. Nama lengkapnya Doris May Taylor. Putri dari Alfred Cook Taylor, mantan kapten Inggris pada masa Perang Dunia I, dan Emily Maude Taylor, seorang perawat ini menjadi orang ke-106 yang mendapat anugerah ini.

Nama Lessing ia peroleh dari pernikahan kedua dengan Gottfried Lessing, seorang imigran Jerman-Yahudi yang ia kenal dalam Klub Buku Kiri. Doris beberapa kali terlibat dalam gerakan Kiri, entah di Partai Buruh Rhodesia Selatan maupun British Communist Party.

Jalan kepenulisannya ia mulai dengan novel The Grass is Singing (1950). Novel ini berkisah tentang relasi istri petani kulit putih dengan budak kulit hitamnya. Konflik rasial menjadi konteks dari seluruh plot cerita. Berlanjut dengan antologi cerita dalam This was The Old Chief’s Country (1951), cerita pendek Five (1953), The Children of Violence Series (1952-1959). Novel fenomenal Doris adalah The Golden Notebook (1962). Novel ini berkisah tentang Anna Wulf, karakter cerita yang memunyai buku catatan untuk menumpahkan ide-idenya tentang Afrika, politik, komunisme, relasi dengan pria, dan seks. Ia menggunakan pisau analisis psikolog Carl Gustav Jung untuk mengeksplorasi mimpi, seni, mitologi, agama, dan filsafat. Tema-tema perempuan bisa ditemukan dalam karyanya African Laughter: Four Visits to Zimbabwe (1992), Under My Skin (1994), The Summer Before the Dark (1973), The Fifth Child (1988), dan Walking in the Shade (1997). Novel terbarunya adalah The Cleft (2007).

Aku mereka-reka apa yang akan Doris katakan pada hari penganugerahan 10 Desember nanti. Ia akan mendapatkan piagam dan medali bergambar Alfred Nobel berlapis emas 24 karat. Raja Swedia Carl XVI Gustaf akan memberi kado ulang tahun berupa uang 10 juta kron atau Rp 14 miliar.

“Pembaca bebas melakukan apa pun, bebas menilai, dan penulis hanya bisa mengikuti,” kata Doris dalam sepotong wawancara dengan Adam Smith, panitia penghargaan itu. Bagiku, itulah wujud kerendahan hati Doris. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri dari karya-karyanya, Doris seorang yang menyuarakan keprihatinannya atas dunia sosial tempat ia hidup. Seperti hanya banyak penulis lain, Doris pun mengalami masa-masa kesendirian, asketik (mati raga), konflik, ditinggalkan, sepi. Aku senang menyebutnya sebagai soliter bagi penulis. Sepertinya, jalan-jalan kesunyian adalan jalan keharusan bagi para penulis.

Lihat saja para penulis lain. Gabriel Garcia Marquez, peraih Nobel Sastra 1982, tanpa letih berjuang dalam sayap Kiri dan mengkritik habis kediktaktoran Kolumbia, Laureano Gomez dan penggantinya, Jendral Gustavo Rojas Pinilla. Ia harus bersembunyi di Meksiko dan Spanyol. Dari tangannya lahirlah novel tentang refleksi mendalam atas sejarah Amerika Latin. Novel berjudul One Hundred Years of Solitude (1970) telah mengantarnya menjadi maestro realisme magis dunia. Novel ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Bentang dengan judul 100 Tahun Kesunyian. “Kita hanya sedikit sekali berimajinasi, sebab kita kekurangan alat-alat konvensional untuk lebih memercayai hidup. Inilah kawan, inti terdalam dari kesunyian kita,” katanya.

Di Asia, muncul nama Gao Xingjian. Peraih Nobel Sastra 2000 ini, pernah bermain ‘petak umpet’ dengan pemerintah China. Lelaki kelahiran Ganzhou ini baru bisa menerbitkan tulisannya lima tahun setelah Revolusi Kebudayaan berakhir tahun 1976. Kritikan pedas pada kebijakan represif pemerintah membuatnya pergi sementara ke Prancis pada tahun 1990. Ia juga mengkritik habis pembantaian berdarah di Lapangan Tiananmen tahun 1989. Naskah dramanya Tauwong (1992) membuat pemerintah China melarang semua tulisannya. Novel Ling Shan (Soul Mountain) menjadi karya terbesar Gao. “Saya mulai menulis novel saya, Soul Mountain, untuk mengusir kesepian jiwa saya di sepanjang waktu ketika karya-karya yang telah saya tulis dengan sensor diri yang ketat pun dilarang,” katanya pada saat pidato.

Ada lagi Nadine Gordimer dari Afrika Selatan. Perempuan peraih Nobel Sastra 1991 dipuji karena cara berceritanya yang sangat alami dan gaya menulisnya yang memukau. Tulisan-tulisannya diwarnai dengan keprihatinan atas rasialisme yang menghinggapi sistem sosial politik Afrika Selatan. Puncak pemikirannya tercermin pada Writing and Being (1995). Nadine menegaskan penulis mengada lewat karyanya dan bagaimana proses mengada itu dijelaskan oleh manusia melalui ragam cara, seperti agama, filsafat, ilmu pengetahuan, dan mitos.

Kenzaburo Oe dari Jepang dikenal sebagai kritikus bangsanya sendiri melalui novel-novelnya. Ia merupakan sastrawan pasca-Perang Dunia II. Karyanya bercerita seputar lingkungan hidup, antinuklir, dan antiperang. Novel termasyurnya berjudul Man’en gannen no futtoboru (The Silent Cry, 1967). Novel ini merupakan refleksinya mendalam atas peristiwa Hiroshima dan Nagasaki. Ia dianugerahi Nobel Sastra pada tahun 1994.

Lain lagi dengan Naguib Mahfouz dari Mesir. Ia dikejar-kejar lantaran karyanya terlalu banyak mengkritik otoritas agama. Bahkan, ia nyaris mati oleh tikaman dari penyerang gelap. Ia memenangi Nobel Sastra tahun 1988. Tidak ketinggalan juga Imre Kertesz dan Gunter Grass. Kertesz, novelis Hungaria, adalah seoarang Yahudi yang berhasil lepas dari kamp Auschwitz. Ia menyikapi holokaus itu dengan arif dan jauh dari kesumat. Tulisannya mengalir. Oleh karenanya, seperti dikatakan saat pidato, ia menulis untuk dirinya sendiri. Bukan untuk pembaca atau untuk memengaruhi orang lain. Grass, penulis Jerman, dikenal lantaran perannya menghidupkan sastra Jerman paskaperang. Ia seorang pecinta damai dan pengkritik kebijakan menjelang Jerman bersatu. Kertesz mendapat Nobel Sastra pada tahun 2002 dan Grass pada tahun 1999.

Sekali lagi, kesepian, asketisme, pengekangan diri, penindasan, hampir senantiasa mengiringi kehidupan para penulis itu. Boleh dibilang, situasi sosial semacam itu, ikut merangsang syaraf-syaraf kreatif mereka untuk bersastra. Di Tanah Air, kita tidak boleh melupakan sosok Pramoedya Ananta Toer. Sebagian karya-karyanya lahir di pembuangan di Pulau Buru. Siksa dan derita pun tidak luput mengunjungi sang penulis. Lebih-lebih kesepian, di mana banyak orang memalingkan muka darinya.

Tapi, penulis dan kesepian (soliter) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Marguerite Duras menegaskan keberanian untuk kesepian dan terasing mutlak diperlukan oleh penulis. GP Sindhunata dalam sepotong tulisannya di internet, mengatakan kesepian bukan berarti isolasi. Itu menjadi semacam keberadaan diri yang sadar, yang justru terus bergulat untuk menemukan kontak. Tapi, juga menolak kontak.

Soal kesepian ini, aku ingat potongan catatan harian Soe Hok Gie. Berikut lima kalimat ungkapan kegelisahan yang pernah aku posting juga di blogku. "Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang. Makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan. Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian," katanya.

Sindhunata menegaskan, dalam kesepian itu orang bisa menjadi liar. Menulis memang membuat orang menjadi liar. “Seorang penulis tiba-tiba mendapati dirinya liar seperti di hutan, dan selalu liar sepanjang hidupnya. Untuk menulis, orang harus menggigit bibir, bergulat dengan keliarannya. Untuk itu ia harus menjadi lebih kuat dari tubuhnya. Ia juga harus lebih kuat daripada apa yang hendak ditulisnya. Kalau tidak, ia akan menyerah dan kalah. Maka menulis itu sebenarnya bukan hanya menulis, tapi mengalahkan kelemahan dirinya, menundukkan apa yang dihadapinya,” kata seorang Jesuit yang baru saja menerbitkan novel anyarnya Putri Cina (2007).

Menurutnya, orang yang tidak berani sepi, dia tak mungkin jadi penulis yang baik. Tapi, kesepian bukanlah saat untuk beromantisme. “Kesepian itu adalah suasana, yang menantang kita untuk berani bergulat dengan seluruh realitas, yang ternyata tidak mudah kita taklukan. Tak jarang orang menyerah dalam pergulatan itu, karena ia merasa tidak kuat dan tidak mampu. Menulis akhirnya adalah suatu askese, matiraga, suatu kebertapaan di tengah keramaian,” katanya.

Aku sendiri membutuhkan waktu lama untuk menimbang-nimbang dalam menjatuhkan pilihan di jalan penulisan ini. Menulis sebagai sebuah matiraga sudah aku rasakan. Meski hanya karya-karya kecil saja yang baru aku hasilkan. Menulis membutuhkan jiwa besar dan hati rela berkorban. Menulis membutuhkan kedisiplinan yang besar. Menulis dekat dengan rasa sakit. Sepi. Ditinggalkan. Kemampuan bertahan. Godaan untuk segera menutup laptop, mematikan komputer, membuang pena jauh-jauh, merobek kertas berisi coretan, dan sebagainya. Lebih-lebih logika pasar memasang standarnya sendiri. Tapi, bagiku, godaan paling besar adalah kemalasan untuk duduk dan menulis. Ini sebuah perjuangan besar!

Benar apa yang dikatakan Pater Greg Soetomo SJ, di sebuah wisma skolastik para Jesuit muda di Kampung Ambon pada sepotong senja. Ia mengatakan banyak orang pintar tapi tidak bisa menulis. Seorang yang bertekad menjadi penulis harus membuktikan hidupnya sebagai seorang penulis. Ia mengumpamakan seorang penulis harus berani menjadi the prodigal son, anak hilang. Aku suka dengan metafor anak hilang ini. Ia benar-benar memunyai komitmen dan disiplin tinggi pada apa yang dicintai. Mungkin ia akan hilang dari komunitasnya. Bahkan, komunitas (keluarga)-nya pun merasa kewalahan, sedikit uring-uringan, menilainya nyeleneh (menyimpang dari umum) sebelum akhirnya memahami sikap dan komitmen dari orang yang bertekad menjadi penulis ini. Ia benar-benar mengalokasikan waktu untuk banyak membaca, menulis, lebih senang menyendiri, merenung, dan sebagainya. Mungkin inilah bahasa lain dari jalan-jalan sunyi yang harus ditempuh oleh seorang penulis.

Aku sendiri mengamini itu semua. Lebih-lebih, sudah banyak penulis telah mengalaminya. Menulis itu seperti berjalan di padang pasir kesunyian. Mungkin Robert Frost lebih tepat menggambarkannya. Ia mengatakan di hutan, ia menjumpai dua jalan. Satu jalan besar, mulus, lurus, dan sering dilalui orang. Satu jalan lain kecil, berkelok, penuh belukar, dan jarang dilalui orang. Frost dengan besar hati akhirnya memilih jalan yang jarang dilewati orang itu.

Aku juga memilih jalan itu!

[refleksi atas berbagai sumber] read more...

Saturday, October 20, 2007

Ia Mati di Tangan Ayah

SIANG menjelang di bawah pohon-pohon jati yang meranggas. Angin mengintip malu dari batang-batang bambu dan menimbulkan jeritan lirih. Burung-burung srigunting yang melayang-layang di atas pohon kelapa mendadak berubah menjadi gagak-gagak hitam pemakan bangkai. Cicak terbang melesat dari dahan jati ke dahan jati lainnya. Seolah tahu, sebentar lagi akan ada mahkluk hidup yang akan diakhiri hidupnya dengan paksa.


Tempat penjagalan ini cukup tersembunyi. Di situ, ada bekas kolam ikan yang sudah rusak. Penuh dengan daun-daun bambu kering yang siap digunakan untuk membakar tembikar. Mirip kuburan orang Tionghoa yang tidak terawat. Sepi. Hanya ada aku, ayahku, dan calon korban. Napasku sedikit tersengal. Hatiku belum bisa memercayai ia ditakdirkan mati di tangan ayahku sendiri. Ia yang semalam aku jumpai terkulai lemah di bawah temaram bola lampu 5 watt. Tanpa bicara. Pandangannya pun nanar.

Sekarang, korban berbusana putih itu sudah ada di dekapan ayahku. Tangan kiri ayah menutup matanya. Tangan kanannya memegang sebilah pisau besar yang belum lama diasah. Aku diperintahkan untuk memegangi kedua kaki korban. Napasku tidak beraturan. Hatiku sedikit menciut tidak tega. Tubuh korban memberontak. Tapi tangan ayahku begitu kuat. Tangan pensiunan tentara itu menegang. Otot-otot menyembul membentuk relief sungai di kulitnya yang hitam keriput.

Ayah menatapku. Mengerdipkan mata sebagai kode penjagalan segera dimulai. Maksudnya, aku harus mengencangkan pegangan agar korban tidak lepas. Pisau perlahan menempel di lehernya. Sebuah leher putih dan polos. Ia terlihat begitu pasrah.

Aku memalingkan kepalaku dari wajah korban. Mendadak ladang penjagalan ini berubah seperti kawasan Lubang Buaya pada era 1965. Lagu Genjer-Genjer berkumandang di lubang telinga. Para Gerwani menari-nari dan berjingkrak sambil mengayun-ayunkan celurit di depan para jenderal terikat tangan kakinya. "Darah itu merah jenderal!" teriak seorang perempuan sambil mengibas-ngibaskan silet karatan di depan bola mata sang jenderal. Itulah gambaran film propaganda politik rezim Soeharto yang tidak pernah absen aku tonton setiap tahunnya di bangku sekolah dasar dulu. Meski aku tahu semua itu adalah kebohongan, tapi propaganda itu berhasil masuk di batok kepalaku. Membekas. Sejarah negeri ini wajib diluruskan.

Aku mendengar dengus napas ayah begitu dalam. Lalu tangan ayah bergerak maju mundur. Aku meringis sambil mengunci rapat-rapat kelopak mataku. Terdengar ada yang robek di dekat tangan ayah. Tubuh korban menggeliat dahsyat. Tangan ayah semakin kuat mencengkeram. Tubuh korban memberontak. Terdengar suara tetes air menghunjam tanah berpasir itu. Baus amis darah menusuk hidung. Melihat darah mulai merembesi gaun putihnya, ayah semakin keranjingan. Ia terus menghunjamkan pisau itu lebih dalam. Tepat di saluran darahnya. Baru kali ini aku melihat ayah sebagai pembunuh berdarah dingin. Tubuh korban mengejang. Jiwanya mau meloncat. Seolah jiwanya menelusup lewat pergelangan tanganku. Lalu tubuh bersimbah darah itu diam. Membeku. Nyawanya lari pontang-panting tak tentu arah.

Dan angsa putih yang dibeli si bungsu seharga Rp 30 ribu itu mati. Karakter cerita Hans Christian Andersen itu pun berakhir di tangan ayah. Bumbu masak sudah siap di dapur. Pesta pun dimulai. Luar biasa, kedatanganku di kampung disambut dengan pesta opor angsa putih.
read more...

Nyaris 25 Jam

SEORANG sahabat mengirimiku pesan pendek pada 17 Oktober 2007 pukul 10 malam. Dia menulis, "Kemacetan yang saya alami pagi & sore ini di jalur puncak menyadarkan saya bahwa manusia membutuhkan rasa aman ontologis dari yang mengalir (pantha rei) daripada yang tersendat."


Pesan pendek itu seakan mengerangkai seluruh perjalanan mudik. Hidup itu mengalir. Ungkapan dari mulut seorang Herakleitos ini mendapati kebenarannya di sini. Di jalan-jalan yang kami lalui. Sejak ruas jalan Karawang berubah seperti parit yang mampet oleh onggokan sampah, rasa capek dan bosan mulai datang berkunjung. Laksana tamu dari rantau yang malu-malu mengetuk pintu rumah. Jiwa-jiwa dalam raga kita seperti ular laut yang memberontak, mengibas-ngibaskan ekor, mengoyak dinding air, bila dirinya terperangkap dalam kemandegan.

Mobil kami membelok begitu mendapati gang kosong. Menghindari ruas yang sudah diluberi para ksatria bermotor hingga di bibir jalan. Pukul 9 pagi, mobil berpaling ke arah Purwakarta. Raungan sepeda motor, sumpeknya jalan, semakin menguar bersama lanskap pedesaan yang timbul tenggelam di kaca jendela mobil. Lalu 50 menit kemudian, perut sudah mengomel minta diisi sarapan. Tapi, rumah-rumah makan pun masih tutup. Sampai akhirnya, di kompleks pengisian bahan bakar tol Padalarang, kami berhenti. Dengan merogoh kocek Rp 60.000, nasi rames tersaji untuk enam perut. Ditambah dengan tiga sloki berisi kopi panas gratis merek Ali Cafe. Lumayan untuk sepotong jeda pengusir jenuh sambil menikmati hamparan rumput gajah nan gersang lantaran kelamaan mandi matahari.


Usai jeda, mobil melaju lagi. Untuk membunuh rasa bosan, aku membuka lagi bab-bab akhir dari petualangan anggota Laskar Pelangi dalam novel fenomenal buah tangan Andrea Hirata. Sesekali menorehkan larik-larik kata dalam notes kecil sebagai catatan perjalanan. Membaca buku sudah jadi kebiasaan. Lebih-lebih untuk mengakali waktu. Petualangan Mahar, A Kiong, dan Flo yang gandrung pada dunia perdukunan dan membentuk komunitas Societeit de Limpai cukup mengocok perutku. Karakter-karakter dodol yang ditampilkan Andrea Hirata merangsang memoriku mengingat pengalaman masa kecil di bangku sekolah di kampung tempo dulu. Novel best seller yang sedang digarap Mira Lesmana untuk versi sinemanya ini memang sangat menarik. Aku membaca tetralogi dari belakang. Edensor. Sang Pemimpi. Baru Laskar Pelangi. Buku keempat Maryamah Karpov masih aku tunggu.


Sementara itu, lima orang lain dalam mobil memunyai cara masing-masing untuk membunuh kebosanan. Eko beberapa kali mengeluarkan kamera digital merek Nikon untuk beberapa jepretan. Sesekali, ia mengunyah cerita Sidney Sheldon dalam lakon The Sky is Falling. Novel yang ia pinjam dariku ini tampaknya memikat hatinya. Meski Eko tampaknya bukan tipe pembaca yang rakus. Ia lebih suka membaca pelan-pelan. Buktinya, novel yang sama itu masih ia baca saat balik ke Jakarta. Sementara, pembatas bukunya pun masih berada sangat jauh dari halaman belakang. Seandainya dia penyanyi, dia lebih mirip dengan penyanyi goyang patah-patah ketimbang Luciano Pavarotti sang maestro tenor. Eko, teman karibku. Kita pernah bersama-sama bekerja di tiga perusahaan. Perkenalan dengan lelaki asli Sidoarum, Sleman ini, justru terjadi di halaman parkir Hotel Santika Surabaya, empat tahun silam. Di situ, kita berdua sama-sama merasakan pengalaman ditolak saat melamar kerja di sebuah koran nasional.


Pur lebih senang bermain-main dengan kacamata hitamnya. Sesekali memijit-mijit komunikatornya untuk internetan. Benda kecil inilah yang selalu ia gadang-gadang. Laksana permata spinell atau blue velvet yang ia temukan di tengah debu-debu ibukota. Simbol prestasi mengatasi nasib sebagai orang udik. Pur adalah karib yang menarik. Pintar menulis, melobi, dan ngeles orang lain. Ia gemar mengejutkan dengan banyolan-banyolan dadakan. Kata-kata jorok pun kadang tidak kepalang tanggung. Namun, aroma udik juga belum sempurna hengkang dari lelaki asal Solo pencit itu. Tidak lama kemudian, Pur pun meleleh di sofa belakang samping calon istrinya. Matanya sengaja dilipat di balik kacamata hitamnya. Sementara, calon istrinya lebih senang diam. Mungkin saja kepalanya dipenuhi pikiran pernikahan yang segera ia jalani. Tentang urutan acara. Menu makan. Suvenir. Tamu undangan. Pawang hujan. Mungkin juga, termangu dan terheran-heran kenapa dirinya jadi mau diajak nikah sama lelaki yang sudah mendengkur di sampingnya. Semua itu adalah mungkin.


Kakak iparku lebih senang berceloteh dengan Iwa, si sopir. Tentang musik. Tentang kerupuk mlarat. Tentang pengalaman mengemudi. Misi utama kakak iparku pulang kampung adalah mencari pembantu. Maklum, baru saja ia memecat dengan hormat pembantu sekaligus pengasuh anaknya lantaran kerja yang jauh dari becus. Iwa sendiri mengaku baru saja menikahi gadis Betawi. Sekarang, istrinya sedang mengandung tiga bulan. Keduanya tinggal di Kampung Rambutan.


Tanpa sadar, pukul 13.32. Eko, mas Kris, Pur, dan calon istrinya terlelap. Buku Laskar Pelangi masih di tanganku. Iwa sudah mendapati rohnya sebagai pengemudi. Ia ngebut. Berkelok-kelok naik turun bukit Cadas Pangeran laksana pembalap Ferrari Michael Schumacher meliak-liuk di sirkuit Formula 1. Seakan lupa kalau dirinya sedang membawa lima nyawa di mobil itu. Lagu Listen to Your Heart disetel keras-keras. Di kanan jalan ada jurang menganga. Di kaca jendela, langit biru masih setia menemani mega putih yang berarak di jajaran cemara angin dan bambu gunung. Satu menara sutet dan satu pemancar menyembul di antara lautan hijau cemara angin itu. Mobil terus meliak-liuk seperti wahana halilintar.


Pukul 15.15, mobil sampai di Majalengka. Tangki diisi lagi dengan premium Rp 157 ribu. Iwa mengajak ngopi sejenak ditemani tiga porsi sate kambing untuk dimakan rame-rame. Sesampai di Cikijing, senja sudah mulai turun. Meninggalkan jejak jingga keperakan di langit Barat. Lalu, malam tiba. Mobil terus melaju mencapai Rancah. Di Rancah, jalanan rusak seperti sungai dihajar kemarau. Pukul 20:32, mobil mencapai Banjar dengan gerimis menyambut kami yang sebagian masih lelap. Pukul 20:44, kami memasuki Cilacap. Dan pada pukul 1:37, baleho selamat datang di kota Jogja tertampang di pinggir jalan. Akhirnya, pukul 2.30, aku sudah berada di depan rumahku. Wuhhh, perjalanan ini nyaris memakan waktu 25 jam. Cape deh!
read more...

Thursday, October 18, 2007

Dikawal 15 Ribu Malaikat

LAMBAIAN tangan ibu peri di depan garasi raib saat mobil yang membawaku berkelok pada sepotong gang. Jam digital di ponsel menunjuk angka 01.30. Pagi yang gelap dan tidak lagi dingin. Mobil kijang inova bernomer polisi B 2699 JR itu membawaku lari dari kepenatan Jakarta. Pulang bersama mobil mudik gratis sajian SariWangi. Mobil warna biru metalik ini segera menjumput mas Kris, kakak iparku. Berlanjut Eko di Klender, serta Purjono plus calon istri di Bekasi. Dua jam lebih waktu dihabiskan untuk jemput-menjemput ini.

Inova dikenyangkan dulu dengan full tank isi premium seharga Rp 217.000. Siap melaju untuk jarak jauh. Barang-barang dikemas. Bagasi inova terlalu kecil untuk dus-dus kumal itu. Eko memasukkan 1 dus gede isi barang. Laptop merek Compaq ia taruh di depan bangku. Bukan alasan rajin menulis di kampung, tapi alasan keamanan di kos. Pur sibuk menata 4 dus. Aku kenal betul isi dus-dus itu. Pasti di sana ada minuman kaleng Pocari Sweat, botol-botol M-150, kopi susu kemasan bantal, popcorn, gulaku, tepung terigu, sirup marjan, indomie, dan sebagainya. Maklum, seluruh barang-barang itu juga aku dapatkan dari kantor. Untuk kenyamanan, ada kesepakatan, seluruh barang bawaan ditaruh di jatah bangku masing-masing. Aku sendiri cuma bawa 1 tas isi beberapa potong pakaian, 1 tas pinggang, dan 1 tas kresek isi camilan. Prinsipku, mudik harus seringkas mungkin dan nyaman untuk menikmati perjalanan. Pur yang paling banyak bawa barang, harus merelakan jatah bangkunya untuk dus-dus kumal itu. Ia dan calon istrinya harus berdesakan di bangku belakang. Aku dan Eko ada di bangku tengah. Kakak iparku sengaja memilih di depan sekaligus berperan sebagai navigator bagi Iwa, sang sopir asli Ciamis itu.

Jalur Selatan menjadi pilihan. Pukul 3 dini hari. Tol Cikarang sudah macet total. Dari radio mobil, tersiar kabar hari itu sebagai puncak arus mudik. Kelap-kelip lampu mobil berderap seperti kunang-kunang yang migrasi di subuh hari. Kami memutuskan menghindari jalan bebas hambatan itu. Iwa membawa kami ke jalur motor di pinggir tol. Kijang inova segera beradu dengan para pengendara sepeda motor. Dini hari, jalanan masih lancar. Tapi, pukul 7 kurang 4 menit, inova benar-benar berhenti. Macet total. Dua jalur dipenuhi dengan sepeda motor yang meraung-raung. Bola raksasa yang terbang di langit bertaburan awan hitam mulai memuntahkan panasnya. Menyengat. Merangsang butiran kristal bening keluar dari pori-pori para pemudik. Debu menguar di jalanan aspal mirip sungai kering itu. Aneka bunyi klakson besahut-sahutan. Mirip kampanye. Orang-orang kampung berhamburan keluar. Duduk di pinggir jalan. Seperti menonton festival atau kirab kereta kencana keraton yang dikeluarkan dari istana setahun sekali. Persis seperti melewati ruas jalan menuju fly over Tanah Abang setiap sore. Macet-cet!

Sepeda motor mengepung mobil kami. Wajah-wajah lesu, letih, beringsut samar di balik helm penutup kepala mereka. Beberapa menyerakkan motor mereka di pinggir jalan untuk sepotong jeda. Lautan kaum komuter itu menarik diamati. Ada yang merelakan diri berdesakan di pick up terbuka beratapkan langit. Ada yang nekat memboncengkan anaknya di belakang kemudi. Ada yang bawa dus-dus besar berisi oleh-oleh ibukota. Ada yang bawa sapu dan kain pel seolah di kampung minus perkakasan pembersih ini. Ada yang bawa istri dan kedua anaknya sekaligus. Pemandangan yang menjadi ritual di hari libur besar ini.

Aku sendiri sungguh menikmati perjalanan ini. Semua itu sudah masuk hitungan risiko. Itulah Jakarta. Ibukota. Sebagian warganya adalah orang-orang pengembara dari berbagai pelosok. Berbagai sudut. Berbagai desa antah berantah. Aku menyebutnya dengan ksatria bermotor. Mungkin ada orang melihat yang dilakukan para ksatria itu sebagai kebodohan. Tapi, bagiku, mereka adalah para pengelana sejati. Mengelana untuk mengisi hidup. Meski sederhana. Meski tidak menjadi orang terpandang dengan harta mentereng. Mungkin hanya seorang buruh, karyawan biasa, tukang sapu, office boy, sales, pekerja rumah tangga, dan sebagainya. Mereka mengelana demi mengisi periuk mereka. Meski tidak seberapa, mereka merelakan diri menghambur dalam lautan semut udik itu untuk berbagi sedikit rezeki dengan sanak kerabat. Meski cuma sapu, kain pel, segepok uang, sirup marjan, tepung terigu, mainan, dan sebagainya. Salah sendiri kenapa gula-gula itu hanya dikonsentrasikan di ibukota saja. Coba kalau gula-gula itu ditaruh di kota-kota lain. Mungkin Lebaran tidak semacet ini.

Aku jadi mengerti apa yang disampaikan ustad Jaffar di resto Bebek Bali Senayan, tiga hari sebelum mudik. Ustad yang sudah 30 kali pergi ke tanah Arab itu, mengatakan mobil yang kami tumpangi akan dikawal oleh 15 ribu malaikat. Dan, aku paham 15 ribu malaikat pengawal itu tak lain adalah ribuan para ksatria bermotor itu. Lalu, paras berjenggot dan bersorban putih itu menari-nari di batok kepalaku. Para kaum udik dan urban itulah pengawal perjalanan kami. Mereka adalah sahabat-sahabat dalam perjalanan. Inilah Lebaran! read more...

Wednesday, October 10, 2007

Mudik Dulu

PUKUL 2 pagi nanti aku mudik. Kamis, 11 Oktober 2007. Meninggalkan ibukota untuk sementara waktu. Bergabung dengan jutaan urban menuju kampung halaman. Sebenarnya tidak ada rencana untuk mudik. Tapi, karena dapat mobil mudik gratis SariWangi, aku urungkan niat ngendhon di kota yang aku diami hampir 10 tahun ini. Urung pula untuk menikmati sejenak Jakarta sebagai kota yang nyaman, sepi, lega, dan bebas macet.

Tadi pagi, mobil kijang inova warna biru, terparkir di depan rumah. Seorang lelaki muda mengetuk pintu garasi. Lelaki itu adalah supir yang akan mengantar kami pulang ke Jogjakarta. Namanya Iwa asal Ciamis.

Dalam Program Mudik Gratis Sariwangi 2007 ini, pihak SariWangi menyediakan 150 unit kijang inova untuk 150 keluarga. Sementara 5 unit di antaranya disediakan untuk kalangan media. Aku termasuk salah satunya yang beruntung. Sayang sekali, ibu peri tidak bisa ikut. Kondisinya masih kurang memungkinkan untuk perjalanan jauh. Lebih-lebih, bayangan kemacetan timbul tenggelam di batok kepala. Lagian ia mengandung 5 bulan si peri kecilku. Ibu peri berencana menikmati Lebaran bersama keluarga di Sawangan, Depok.

Aku sendiri senang dengan rencana perjalanan ini. Pasti banyak cerita yang bisa aku tulis. Namanya saja juga seorang musafir. Lebih senang lagi karena ibu peri memberiku satu misi, yakni membeli daster dan celana gombor di Pasar Beringharjo. Ada satu lagi yang membuatku senang. Mobil ini akan membawa sepasang calon pengantin baru, teman di redaksi, yakni Purjono dan calonnya Wiwin. Mereka akan menikah pada 17 Oktober 2007. Siapa tahu ini selain berkat jabang bayi juga berkat manten anyar (pengantin baru). Selain itu, ada Eko (teman redaksi) dan Mas Kris (mas ipar). Jadilah kita 5 sekawan plus 1 sopir.

Semoga perjalanan mudik ini baik-baik saja. Seperti yang sudah didoakan oleh ustad Jaffar di gerai makan Bebek Bali, Senayan, Senin lalu. Katanya, rombongan mudik ini akan dikawal oleh 15 ribu malaikat. Mungkin ini saat yang tepat juga untuk memaknai pengembaraan. Hidup memang seperti seorang musafir. Sesekali perlu pulang. Fitrah. Pulang dalam bahasa Jawa berarti 'mulih.' Kata 'mulih' bisa diterjemahkan dengan 'memulihkan.' Semoga ada yang pulih dengan kepulangan sejenak ini.

Pasti aku merindukanmu, Ibu Peri! read more...

Tuesday, October 02, 2007

Dasar Petasan!

PAGI tadi, aku bangun dengan mata berat. Kelopak mataku susah untuk dibuka. Jam meja berbentuk bola warna jingga sudah mengingatkan waktu pagi pukul 7. 15. Mataku seperti gorden jendela yang talinya tersendat pada besi karatan. Susah dibuka. Aku terlambat bangun.

Penyebabnya sepele. Bukan lantaran aku begadang bersama malam. Bukan pula ikutan ronda keliling kampung. Bukan melamun di atas loteng menantang angin pembawa kembung. Bukan menjaga tong sampah di teras rumah dari serbuan tikus dan kucing liar. Bukan karena ada seseorang yang membunyikan ponselku dan mengajakku curhat di malam hari. Bukan karena ngelembur bersama secangkir kopi untuk sepotong tulisan. Bukan itu semua! Tapi, gara-gara petasan meletus tepat di depan rumah pada pergantian hari.

“Blaarrrr!!!!” Suara itu mendadak pecah. Membuat diriku dan ibu peri kaget . Membuyarkan alam tidur yang nyaris kami masuki. Nyut-nyut berdecak di dadaku. Sontoloyo! Batinku mengumpat. Pertama kali, aku mengira ada anak iseng kebetulan lewat di depan rumah dan melempar petasan. Tapi, karena tiga kali selang lima menitan, petasan meletus lagi di jalan depan rumah, aku meloncat dari kasur. Mengipaskan selimut. Membuang bantal. Membuka gorden jendela. Memastikan siapa tersangka utamanya. Memutar kunci pintu perlahan. Berjalan mengendap-endap. Dan sampailah diriku pada jarak 2 meter dari titik letusan.

Di depan, di balik terali besi garasi, terdengar riuh ocehan anak remaja. Beberapa sibuk menaikkan layang-layang raksasa untuk diterbangkan bersama angin malam. Layang-layang itu berenang-renang di udara dan menimbulkan suara gemuruh seperti suara gasing. Aku duduk berjongkok. Mengintip dari lubang plastik penutup garasi. Seperti seorang sniper yang sedang mengintai objek tembakan. Tak lama, seorang remaja berlari ke depan rumah. Ceplak-ceplek suara sandal jepitnya mencium aspal. Berjingkrak. Parasnya innocent, polos, tak merasa bersalah. Persis seperti para teroris beneran usai mendengar putusan pengadilan. Tangan kanannya memegang sugumpal kertas yang digulung terisi karbit. That is petasan! Giginya menyembul ke depan. Seolah bibirnya tidak kuasa menahan desakan gigi-gigi gede yang doyan pamer. Mirip gigi kuda. Remaja berkaos ijo pupus itu pun berhenti. Celingak-celinguk. Aku tetap tak bergeming. Menunggu saat yang tepat untuk menangkap teroris cilik itu. Lalu, anak itu berlari menjauhi pintu garasi. Dan, blaarrrr!!!! Petasan itu meletus lagi. Telingaku mendadak tuli sejenak. Seperti ada kumbang berputar-putar di liang telingaku.

Keterlaluan! Ingin rasanya segera membuka gembok garasi. Mengejar teroris cilik bergigi kuda itu. Mencekik lehernya. Melemparkannya ke langit setinggi layang-layang itu. Tapi, niatku urung kueksekusi. Ada keraguan. Kejengkelan. Plus ketakutan. Tapi, ini tidak bisa dibiarkan. Ini sudah melanggar ketertiban umum. Akhirnya, aku memilih sembunyi. Lampu teras aku matikan. Perang gerilya dilanjutkan. Mataku terus mengintai gerak-gerik begundal cilik itu. Kunci gembok sudah ditangan. Siap dimasukkan ke lobang kunci. Ancang-ancang menyergapnya.

Aku heran. Kenapa hanya aku yang meributkan petasan ini. Di mana tetangga-tetanggaku? Harusnya mereka ikut terganggu. Mungkin mereka sudah terlalu jauh jatuh dalam sumur mimpi. Mungkin mereka sedang asyik bercinta sehingga lupa ada serangan tak diundang. Lalu, lebih aneh lagi, di mana si engkong, tetangga persis samping rumah. Engkong yang suka ngomel dan memutar lagu-lagu mandarin keras-keras tiap pagi juga tidak nongol juga. Hatiku sedikit terpingkal. Jangan-jangan, si engkong sudah pingsan sejak letusan pertama. Atau, jangan-jangan jiwanya sudah meloncat ke ceruk malam bersamaan dengan letusan itu. Ah, saatnya tunjukin kepedulian!

Tanpa lama, teroris cilik itu datang lagi. Berlari sambil menjingkatkan kaki-kaki pendeknya. Aku siap-siap. Bocah itu sudah berada di depan pintu garasi. Sejenak celingkukan. Tampak ia meletakkan sesuatu berbentuk tabung putih. Lalu ia lari. Aku pun segera membuka pintu gerbang. “Hei brengsek!” Belum sempat menyergap, petasan kelima itu meletus. “Blaarrrr!!” Dengan sedikit terhuyung seperti pejuang Vietnam, aku mengejar si pelaku. Kumbang-kumbang pun kembali berterbangan dan mengiang di liang telinga. Aku berusaha menarik napas. Memajang paras garang. b-r-a-v-e-h-e-a-r-t!

Lo, jangan bikin onar rumah orang!”
“Bukan gue!”
Gue liat sendiri. Sekali lagi menyalakan petasan di depan rumah gue lagi, urusan jadi serius!” kataku sambil mengacungkan jari telunjuk tangan kananku ke arah ke wajahnya, menyapu pelan ke arah teman-temannya.

Teroris cilik itu diam saja. Bibirnya mengatup. Meski gigi kudanya masih mengintip. Lalu aku membalikkan tubuhku. Berjalan tegap di antara para pecundang. Merasa diri sebagai pemenang perang malam itu. Di bahuku seolah menempel tiang kecil dengan bendera kemenangan berkibar. Suara kibaranya lebih dahsyat ketimbang bunyi dengung gasing layang-layang itu.

Aku kembali ke kamar dengan sedikit lega campur dongkol. Mataku susah dikatupkan. Hati sudah terlajur kesal dengan ulah anak-anak itu. Jam digital ponselku menunjuk pukul dua pagi. Rasa kantukku seperti kaburi dari kepalaku bersama bunyi petasan itu. Lalu samar-samar, mikrofon mesjid bergemuruh. Berkoar-koar menyerukan saur dari segala arah. Jalanan mulai menggeliat. Di luar, terdengar teriakan tukang nasi goreng dan tukang sate. Lalu, karena kelelahan, aku pun tertidur. Meleleh di balik selimut. Bangun pukul 07.15 dengan mata berat. Dan rasa kantuk itu kembali ke kepala ini siang ini. Lebih-lebih saat di acara peluncuran iPod terbaru dari Apple tadi.

Apakah malam nanti akan ada perang lagi? O, My God. Jangan pindahkan Baghdad ke sini malam ini!
read more...

Monday, October 01, 2007

Apa Ini Writer's Block?

ADA yang macet hari ini. Jari-jariku rasanya kaku. Membeku seperti terserang dingin. Mereka emoh diajak menari-nari lagi di keyboard komputerku. Sepertinya harus ada tenaga atom untuk menggerakkan jari-jari ini. Tapi, sayangnya, jari-jariku tidak mau menulis. Apa pun. Di mana pun. Padahal, di kepalaku berloncatan ide-ide untuk segera digelontorkan dalam rangkaian huruf-huruf. Mau menulis tentang junta militer Burma. Tentang biksu dan peluru. Tentang Film Paris, Je T’aime. Film Notes on a Scandal. Tentang Patfinder. Little Miss Sunshine. Tentang pidato para peraih nobel sastra. Buku Stephen King On Writing. Tentang global warming yang menyergap kamar tidurku. Namun, sepertinya ide-ide itu tidak mau turun dari kepalaku. Seakan ada pipa-pipa kinetik yang tersumbat. Stuck in the traffic jam! Penyumbatan ini membuat ide-ide itu berubah menjadi air yang mengenangi kepala. Bikin pusing. Nyeri. Linu.

Hari ini cukup lowong. Penugasan liputan juga belum turun. Masih digodog di komputer redaktur pelaksana. Membunuh rasa ‘cenut-cenut’ di kepala, aku memilih membolak-balik koran Kompas Minggu. Menyusuri lagi sajak-sajak Wayan Sunarta dan Isbedy Setiawan. Mencermari cerpen GM Sudarta berjudul Candi Ala. Membaca “Obselete” dari Suka Hardjana pada rubrik Asal Usul. Ulasan Bre Redana tentang satu kota seribu cinta dalam Paris, Je T’aime. Membaca ulasan khusus tentang Tan Malaka di Ruang Baca Tempo. Resensi Wars Within karya Janet Steele, pengajar jurnalisme sastrawi yang pernah aku temui di MP Book Point saat peluncuran buku Pencuri Anggrek bulan lalu. Petualangan detektif Hercule Poirot, karakter buatan Agatha Christie, yang dihidupkan lagi dalam bentuk komik. Dan sebagainya. Dan sebagainya.

Gejala macet aku lihat sejak awal pekan kemarin. Dalam diri, ada gemuruh untuk segera menyentuh laptop. Melanjutkan adegan-adegan dalam fiksi yang sedang aku garap. Menulis untuk blog. Mengeksekusi sebuah esai. Tapi, nyatanya, laptop itu masih terbungkus tas hitam. Bersender di pojok meja samping kamus tebal berisi idiom-idiom bahasa Inggris. Ingin mendekat, tapi praktiknya menjauhi. Malah aku memanjakan mataku dengan tiga serial film yang aku pinjem dari Video Ezy. The Snow Man. Notes on A Scandal. Trust The Man. Selain film, aku juga gantian dengan ponakkanku memainkan jagoan Resident Evil dalam PS2.

Itulah hari ini. Tapi, bukannya tulisan ini menandakan jari-jariku masih mau melakukan tugas-tugasnya. Menulis. Mungkin, jari-jariku sedang ngambek. Tidak mau menulis tentang sesuatu di luar dirinya. Jari-jari itu lagi senang menulis dirinya sendiri. Lihat saja, meski ada kemacetan lalu lintas ide, jari-jariku mampu menyelesaikan 5 paragraf pada tulisan ini. Tepatnya ada 396 kata atau 2364 karakter no spaces.

Apakah ini gejala writer’s block? read more...