Friday, December 28, 2007

Tragedi Gigi Hingga Kaki

ADA yang wajib kuperhatikan secara serius soal kesehatanku. Maklum, gejala-gejala ketidakberesan mulai aku rasakan akhir-akhir ini. Sepuluh tahun silam, aku boleh berbangga. Dari hasil general check up, aku menjadi salah satu anggota asrama yang paling sehat. Sementara temanku mengantongi sederet catatan dokter: entah jantung, paru-paru, maupun ginjal, aku sendiri mendapat satu catatan. Bunyinya: makan yang banyak. Maklum, saat itu badanku cukup kerempeng seperti pohon pisang yang tidak pernah disentuh air hujan.

Itu dulu ketika aku masih ngendhon di bawah langit Ungaran, Jawa Tengah. Tapi, sekarang, gejala ketidakberesan itu mulai menggerayangi ragaku yang semakin menua ini. Tubuhku semakin melebar. Apalagi setelah satu rumah dengan ibu peri. Berat badanku per 25 Desember 2007 adalah 68 Kg. Itu artinya 26 kilogram lebih berat dibanding ketika aku berada di asrama 10 tahun silam. Sejak dulu, aku tidak merokok dan tidak akan memutuskan diri untuk menyulutkan api pada sebatang rokok dan menghisapnya. Tapi, tidak berarti orang yang tidak merokok otomatis steril dari serangan penyakit. Mari kita lihat satu per satu.

Gigi. Ini persoalan paling up date dan paling menguras energi dan kantongku. Pada libur Idul Adha 20 Desember 2007, dua gigi bolongku resmi ditambal permanen. Aku sempat dibuat kelimpungan karenanya. Gigi bolong ternyata masalah serius. Asal tahu saja, lima bulan lalu, aku divonis kena sinus oleh dokter THT RS Sumber Waras. Pertama-tama, aku merasa flu. Cairan kental keluar masuk di lubang hidung seperti peloncat indah yang ragu-ragu antara meloncat atau tidak. Tapi, ingusku (aku suka menyembutnya dengan umbel) tidak seperti biasa. Warnanya kekuningan. Baunya minta ampun. Bau busuk. Persis ketika kita menyurungkan hidung kita tepat di atas tempat sampah. Bau itu langsung menyengat saraf otakku dan merangsang rasa mau muntah.

Awalnya, aku merasa risih ada bau busuk tersebar di mana-mana. Di kamar tidur. Di kubikel kantor. Di toilet. Di mana pun. Eh, ternyata ‘tong sampah’ itu ada di hidungku sendiri. Alamak! Hasil rontgen mengatakan bau busuk itu berasal dari infeksi gigi berlobang yang sudah menggerus saraf sinus. Dokter THT RS Sumber Waras menyuruhku segera cabut gigi. Keesokan harinya, aku pergi ke dokter gigi. Tapi, dokter itu angkat tangan. Ia tidak mau ambil risiko seandainya gigi rahang atasku dicopot, saluran sinus juga akan rusak. Dokter perempuan itu pun menyarankan aku pergi ke Ladokgi di RSAL Mintohardjo.

Di sana, dokter memberi saran sebaliknya. Gigiku masih bisa diselamatkan, meski harus mengalami beberapa kali perawatan. Sepertinya biaya konsultasi dan obat sebesar Rp 400-an di RS Sumber Waras melayang sia-sia. Obat harus diganti dengan obat ala Lakdogi. Rontgen diulang dua kali. Perawatan berjalan. Gigiku ditusuk-tusuk dengan jarum dan ditambal sementara. Obat baru diberikan. Hasilnya lumayan. ‘Tong sampah’ itu sudah tanggal dari hidungku. Dokter menyuruhku datang setiap dua minggu sekali untuk perawatan. Tapi, sori seribu satu sori. Gara-gara mimpi buruk di sepotong siang, aku emoh lagi ke Lakdogi. Waktu itu, aku berniat memeriksakan gigiku yang sudah dua kali dirawat. Aku datang ke dokter gigiku sekadar menanyakan apakah aku langsung ke tempat perawatan atau tidak. Dokter mengangguk. Itu saja, tidak kurang dan tidak lebih. Lalu seorang asistennya menyodoriku blanko pembayaran konsultasi sebesar Rp 50.000 untuk segera dibayar di kasir. Melihat ini, rasa keadilanku terusik. Bisnis apa-apaan ini, batinku. Lalu aku terima blangko itu. Berlenggang kangkung meninggalkan ruang dokter. Dan kuremas-remas blangko itu sampai kusut seolah-olah sedang meremas-remas wajah asisten dokter itu sampai berlipat-lipat. Lalu kulemparkan bola kertas itu ke tong sampah. Melempar senyum simpul rasa pare super pahit kepada petugas kasir. Dan aku pun hengkang dari Lakdogi dan tak pernah kembali.

Aku pun pindah ke dokter gigi lain. Untung sekali, aku menemukan dokter gigi idamanku. Orangnya ramah meski sudah tua menghiasi parasnya. Sabar. Perawatannya eksklusif. Tempatnya super bersih. Bisa bikin janji secara pribadi. Setia memberi pesan pendek tanda alert via ponsel sehari sebelum jadwal periksa. Lebih untung lagi, klinik gigi ini jaraknya sekitar 500 meter dari rumahku. Pokoknya, uenak tenan! Akhirnya, dua gigi rahang atasku pun ditambal permanen. Katanya, gigi lobang jadi sarang bakteri. Jika sudah mengenai syaraf dan aliran darah, bakteri itu akan mengembara ke seluruh tubuh. Ia bisa membutakan mata. Merusak jantung dan paru-paru. Memperlemah sendi. Informasi ngeri inilah awal pertobatanku. Aku wajib memerhatikan gigiku. Aku pasti menyambangi dokter gigi itu enam bulan lagi.

Kolesterol. Penimbunan kolesterol kelihatnya memengaruhi kondisi tubuhku saat ini. Badan mudah capek. Linu-linu di persendian. Badan tidak terasa segar lagi. Kadang, muncul rasa linu di bagian jantung. Maklum, konsumsi lemak cukup berlebih. Sementara itu aku tidak mengimbanginya dengan olahraga. Jogging pun jarang-jarang. Ajakan main badminton tiap minggu dari kakak iparku masih kuanggap sepi. Ajakan Awigra untuk main pingpong, main futsal, lari-lari di senayan tiap jumat sore pun masih jauh dari eksekusi. Dulu, di asrama, olahraga begitu teratur. Maklum saja, hidup di asrama sudah digariskan di papan acara tiap hari.

Mata. Penglihatanku sedikit menurun. Kurang tajam. Mungkin saja, kacamata harus segera ditebalkan karena pertambahan angka minus. Mungkin juga aku harus menambah asupan vitamin A entah dengan memakan wortel atau menelan minyak ikan.

Kaki. Kelihatannya ada yang bermasalah dengan otot kakiku. Tepatnya di dekat mata kaki kiri. Aku tidak bisa berlari kencang. Sering keseleo otot. Ada otot yang mendosol di area mata kaki. Rasa linu doyan mampir seperti sebatang es batu yang ditempelkan di mata kaki dengan plester. Awalnya muncul di lapangan futsal di arena sport kelapa gading. Maksud hati ingin olahraga tiap rabu bersama sahabat kantor. Ini olahraga pertama yang aku lakukan bersama teman kantor. Dan, lima menit pertama, tanpa sebab apa pun, aku menggiring bola, lalu bermaksud menyepak dan menembakkannya di gawang lawan. Mumpung di depan tidak ada satu lawan pun yang menghadang. Tapi, apa yang terjadi? Bola luput aku tendang. Aku pun jatuh dan terkilir di atas rumput imitasi berwarna merah. Rasa cenut-cenut itu pun masih terasa sampai sekarang. Dan aku pun rajin melempar senyum manis pada kawan yang mengajakku main futsal lagi sebagai tanda penolakan halus.

Itulah beberapa poin penting yang patut aku perhatikan menyangkut kesehatan di tahun 2007. Resolusi tahun 2008: rajin berolahraga, hidup bersih, menambah porsi sayuran dan buah-buahan sebagai menu makan, dan rajin konsultasi ke dokter.

read more...

Thursday, December 27, 2007

Jejak Pengembaraan 2007

SEBAGAI pengamin kata-kata Socrates, penghujung tahun merupakan waktu yang tepat untuk melihat kembali jejak pengembaraan selama hampir 365 hari ini. Guru kebijaksanaan Yunani klasik ini pernah berujar: hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani. Aku mengamini betul kata-kata itu. Bukan untuk sok bijak. Tapi, memang ingin bijak dalam hidupku sendiri. Aku sih tidak ingin membiarkan berbagai pengalaman itu berterbangan tanpa arah seperti abu kertas yang dikoyak oleh angin liar. Aku sendiri sangat bersyukur telah dikaruniai kemampuan untuk memaknai setiap jejak langkah. Alih-alih ini sebagai reuni singkat tapi mendalam dengan seribu satu pengalaman pribadi selama setahun.

Aku bagi refleksi ini dalam lima bagian: kesehatan, hidup pernikahan, mimpi-mimpi & belajar, hidup religius, serta karir. Tiap bagian aku tuliskan dalam lembar putih terpisah.

read more...

Saturday, December 22, 2007

The Golden Compass

GODAAN itu datang di toko buku Gramedia Artha Gading. Toko buku yang jaraknya hanya seperlemparan batu dari tempatku bekerja. Perempuan yang pernah terjungkal tanpa sebab di halaman balairung UI di pagi cerah itu memberitahuku bahwa buku Philip Pullman berjudul The Golden Compass ada di rak sastra. Perempuan itu bagaikan Eva di taman Firdaus yang memetik buah apel yang ranum dan membujuk Adam untuk segera menyantapnya. Tanpa pikir panjang, kantong kurogoh, dan kubeli buku itu seharga Rp 50.000. Padahal aku tidak mengagendakan beli buku di hari itu. Maklum, sudah banyak banyak buku baru yang aku beli bulan ini. Lebih-lebih, aku harus mulai mengirit untuk biaya kelahiran peri kecilku nanti. Namun, apa boleh buat, ‘apel’ itu terlalu menggoda.

Aku begitu ngebet dengan karya Philip Pullman itu. Maklum, karya novelis kelahiran Inggris 1946 itu berhasil diadaptasikan dalam film. Film yang dibintangi Nicole Kidman dan Daniel Craig itu dirilis 4 Desember 2007. Menurut catatan, baik buku dan filmnya menuai kontroversi. Banyak kalangan, khususnya orang-orang tertentu di Gereja Katolik menilai buku dan film itu kurang cocok sebagai bacaan sekaligus tontonan bagi anak-anak. Ada yang menilai karya Pullman ini cenderung antigereja dan berisi ajaran ateisme. Aku mulai membaca The Golden Compass sejak 10 Desember 2007 . Kusudahi 486 halaman buku itu pada 12 Desember 2007 pukul 00:17. Alih-alih sebagai midnight dan cerita sebelum tidur.

Sebagai cerita, menurutku The Golden Compass sangat menarik. Ketika membacanya, imajinasiku melalang buana ke sebuah negeri irisan antara dunia real dan dunia dongeng. Mirip-mirip Harry Potter karya JK. Rowling.

Sambil menyusuri larik-larik kalimat di buku itu, aku mencoba meraba-raba mana yang menjadi titik kritik. Mana juga yang menjadi poin yang bisa dijadikan bahan kesimpulan kalau Philip Pullman itu ateis. Beberapa kali dalam novel ini, Philip Pullman menyebut gereja sebagai satu agen misterius yang berupaya mengebiri anak-anak dan memisahkan mereka dari daemonnya. Daemon istilah Pullman untuk menggambarkan jiwa (inner spirit). Di novel itu, daemon dilukiskan secara filmis sebagai mahkluk berupa binatang yang dimiliki setiap orang. Aku sendiri membayangkannya sebagai malaikat pelindung (the guardian angel). Sosok ini pertama kali kukenal lewat guru sekolah mingguku puluhan tahun silam.

Pullman juga menyebut Magisterium sebagai lembaga yang mengatur segalanya. Dalam tradisi Gereja Katolik, Magisterium lebih diartikan sebagai kuasa mengajar. Kuasa mengajar ini yang menjadi hak eksklusif para klerus dalam hierarki Gereja Katolik. Soal ini, akan kutulis di lembar putih terpisah. Pasalnya, aku pernah mengalami teguran keras oleh seorang pastor atas nama Magisterium ketika aku menerbitkan tulisan seputar gereja di majalah internal gereja. Selain itu, Pullman melontarkan terminologi baru, yakni Debu. Debu masih misterius. Di akhir novel The Golden Compass pun, Debu ini masih mengandung ketidakjelasan. Di situ, Debu diartikan sebagai dosa asal (original sin) dan dikerangkai dengan cerita pendek tentang manusia di Taman Fridaus. Tapi, aku rasa pembaca juga masih belum paham. Dan, sang karakter utama, Lyra pun masih mencari-cari apa makna sebenarnya Debu itu.

Aku sendiri punya sepotong kritikan pada Pullman. Bukan pada masalah apakah dia ateis atau bukan. Bukan juga apakah dia menyebarkan ateisme pada anak-anak atau bukan. Tapi, Pullman seakan memaksakan persoalan yang sangat teologis pada anak-anak dan menempatkan itu di akhir novel The Golden Compass ini. Cerita petualangan Lyra Belacqua bersama daemonnya Pantalaimon sejak dari Akademi Jordan di Oxford; kehilangan karibnya Roger Parslow; mengalami pencarian atas Roger; terpaksa memenuhi ajakan Mrs. Coulter ke London; melarikan diri dari Mrs. Coulter dan bertemu teman baru dari kaum gipsi: Tony Costa, John Faa, Ma Costa, Farder Coram; menemukan sahabat baru seekor beruang kutub bernama Iorek Byrnison; mengembara ke Bolvangar tempat anak-anak di penjara; dan sebagainya; diakhiri dengan kupasan teologis yang agak memusingkan khususnya bagi anak-anak. Keindahan dan liak-liuk plot cerita yang bagus sedikit mendapat gangguan di akhir cerita.

Buku pertama dari trilogi His Dark Materials ini berakhir mengambang. Masih banyak teka-teki yang belum mendapat titik terang. Maklum, ini sebuah trilogi. Oleh karenanya, dua hari setelah The Golden Compass terbeli, aku segera membeli buku kedua, The Subtle Knife di toko buku Gramedia Artha Gading. Sehari kemudian, di toko buku Gramedia Taman Anggrek, bersama ibu peri, aku membeli buku ketiga, The Amber Spyglass. Tuntas sudah trilogi itu ada di perpustakaan pribadiku. Dan benar, buku kedua menjadi jawaban atas beberapa teka-teki buku pertama. Dan mungkin yang ketiga karena yang ketiga ini aku belum membacanya.

Film The Golden Compass sudah dirilis sejak 7 Desember 2007. Tapi, di Indonesia, menurut orang tidak dikenal, film garapan sutradara Chris Weitz ini akan diputar perdana pada 5 Januari 2008. Aku menyarankan siapa saja yang mau menonton film itu, membaca dulu novelnya. Dengan begitu, kita mampu membandingkan imajinasi kita ketika membacanya dengan visualisasi cerita itu dalam film. Bagaimanapun juga, novel dan film yang mengadaptasi novel itu tetaplah dua hal yang berbeda.

read more...