Wednesday, August 29, 2007

Telepon dari Jogja

RABU, 29 Agustus 2007. Ponselku tiba-tiba menjerit tengah malam. Malam saat aku sedang merubuhkan tubuhku di atas sofa hijau untuk melepas lelah. Membuatku jeda sejenak menikmati hiburan dari tabung ajaib. Kulihat nomer ponsel kakak perempuanku yang tinggal di Jogja berkedip-kedip. Tanpa lama, kutekan tombol hijau dan kubiarkan suara itu menguar ke ruangan melalui ponsel yang kuaktifkan speaker-nya. Biar ibu peri, cicak di balik kulkas, trio mickey mouse yang ngumpet di gudang, dan seluruh penghuni rumah turut mendengarkan. Mendengar kabar dari kampung halaman.

“Hey, kamu di mana?” suara kakak perempuanku pecah memulai obrolan.
“Aku di rumah.”
“Baik-baik saja, to?”
“Baik-baik. Setel kendo wae (santai saja).”
“Ini ibu mau bicara.”

Lalu, suara ibuku terdengar pelan. Santun. Sedikit basah. Ia menanyakan kabarku hidup di tanah rantau Jakarta. Ia juga bercerita singkat tentang kampung halaman. Tentang bapak yang sibuk dengan kios bensin depan rumah. Maklum, setelah pensiun dari tentara, bapak butuh kegiatan mengisi waktu senggang. Tentang nenek yang hidup sendirian di rumah setelah 7 bulan ditinggal mangkat kakek dan sibuk mengusir sedih setelah sebulan lalu ditinggal mati putra tercintanya lantaran hepatitis B. Tentang si bungsu yang belum kapok meneggak anggur dan membawa kegundahan tersendiri tiap malam menjelang. Sudah biasa. Sudah belasan tahun itu menjadi santapan sehari-hari ibu setiap malam. Ibu yang terbiasa duduk dan tidur di emperan saat larut malam. Menunggu si bungsu pulang. Sementara, tangannya memilin butir-butir rosario dari kayu cendana. Doa tak kunjung putus. Sekarang ini adalah hari-hari yang jauh lebih baik ketimbang hari-hari di tahun-tahun sebelumnya.

Ibu adalah seorang perempuan kuat. Punya jiwa besar dan hati rela berkorban. Gejolak-gejolak hidup di masa uzurnya telah menjadikannya semakin kuat. Ibarat emas yang terus digesek dan menjadi logam mulia. Ibuku adalah spiritualitas hidup itu sendiri. Sebuah oase yang tidak pernah mengering karena gempuran kemarau panjang. Lalu ibuku melontarkan sepotong pesan.

“Jangan lupa banyak doa, yo Le. Ibu sembahyang saka kene!”
(Ibu berdoa dari sini)
“Baik. Sama-sama berdoa.”
Urip mung pisan. Ojo digawe susah. Atine sing seneng!”

Tak lama kemudian telepon ditutup. Aku terpaku sejenak. Merenungi kata-kata akhir dari obrolan itu. Urip mung pisan. Ojo digawe susah. Atine sing seneng! Artinya, hidup cuma sekali. Jangan dibuat susah. Hati yang bahagia! Duh, pesan yang menyemangati dan penuh makna. Jujur saja, kata-kata serupa pernah dilontarkan dari bibir yang sama sekitar 15 tahun silam. Saat itu, ibu dan beberapa kerabat melawatku pada sebuah hari kunjungan asrama.

Malam itu seperti malam doa yang panjang bagiku. Kelelahan seakan luruh. Meluncur ke bawah melalui sofa hijau dan melebur ke lantai. Semoga saja, malam penuh energi itu juga menjadi malam bagi ibu peri, cicak di balik kulkas, trio mickey mouse yang ngumpet di gudang, dan seluruh penghuni rumah. Aku sendiri belum bertanya pada mereka. Lalu aku pun kembali menikmati hiburan malam dari tabung ajaib. read more...

Tuesday, August 28, 2007

Tidak Ada Gerhana Bulan di Atas Loteng

RADIO masih setia berceloteh. Aku meninggalkan kamarku sejenak. Meninggalkan satu artikel setengah rampung di laptopku. Jam di ponsel menunjuk angka 00.25. Aku bergegas membuka pintu gudang. Lalu merangkaki anak tangga besi menuju loteng. Pintu loteng kubuka. Aku meloncat ke atas.

Langit malam cukup bersih. Bulan melayang jauh di atas. Angin malam berhembus membawa dingin. Aku duduk dan menunggu. Menunggu gerhana itu terjadi. Detik demi detik. Menit demi menit. Sang Batara Kala tidak kunjung datang. Datang untuk menyantap hidangan kue bundar bercahaya itu. 30 menit berselang. Bulan itu tetap utuh. Raksasa itu tidak nampak. Parasnya bundar dengan bopeng-bopeng terserak dengan samar. Parasnya tidak berubah. Sama persis seperti ketika aku melihat pertama kalinyadi waktu kecil. Malam itu, tidak ada tanda-tanda gerhana. Angin malam masih berhembus membawa dingin. Membuat gejolak kecil di perutku.

Takut masuk angin, aku pun menuruni loteng. Menutup pintu loteng. Menuruni anak tangga besi. Bergegas ke luar gudang. Menutup kembali pintu gudang. Melanjutkan sejenak satu dua larik kalimat di layar monitor. Lalu melangkah menuju kamar tidur. Mendapati ibu peri tidur pulas dengan buku Harry Potter masih dalam genggamannya.

Rupanya, aku mendapat info salah. Malam kemarin, tidak ada gerhana bulan di atas loteng. Ternyata raksasa itu datang sore ini. read more...

28-08-07

Makanlah anakku.
Biar engkau hidup.
Meski cuma secuil roti sisa.
Tapi ini sangat mahal harga.
Semahal darah dan keringat bapakmu.
Makanlah.
Agar engkau hidup. read more...

Perempuan Ini

ANEH-ANEH saja kejadian yang menimpa temanku ini. Sabtu pagi pukul 7. Sebutir matahari masih melayang rendah. Sinarnya menyapu hangat halaman balairung kampus Universitas Indonesia, Depok. Dua jam lagi ada upacara wisuda. Ia terjungkal tanpa sebab jelas. Tidak ada setan lewat. Angin pun menari pelan. Sepatu kirinya melayang dan terkulai di aspal seperti sosis jatuh dari meja makan. Lucu. Mengharukan. Minimal dalam imajinasiku.

Betapa tidak mengomelnya dia. Ia sudah bangun pukul 3 pagi. Waktu di mana pepohonan masih basah oleh embun dan lampu jalanan masih menyala mengiringi senyap. Lalu mandi dengan sejenak menggigil. Beranjak untuk sebuah make up di sebuah salon tak jauh dari rumahnya. Kain jarik milik ibunya pun membekap pinggang sampai kakinya. Membuatnya tidak bergerak lincah. Selincah saat ia berjalan ke foodcourt Mal Artha Gading untuk sepotong makan siang. Padahal ia membenci berjalan lambat. Tapi, apa boleh buat. Ia seperti kura-kura lapar. Usai rapi, ia pun bergegas ke Depok mendahului macet. Pukul 7 sampailah ia. Harapan besar menyandang gelar Master of Science itu pun harus ditempuh dengan menjalani insiden kecil. Ia terjungkal tanpa sebab. Sepatu kirinya melayang dan terkulai di aspal seperti sosis jatuh dari meja makan.

“Sebel!” katanya.

Aku terpingkal-pingkal dalam hati. Lucu. Memang, ada sisi-sisi menarik dari temanku ini. Belum lama aku mengenalnya. Kita sering bertukar sapa dan obrolan pada sebuah makan siang. Sebelumnya selama 3 bulanan, kita tidak pernah bertegur sapa. Padahal kita ada di satu kantor, satu pabrik kata-kata. Aku di lantai 4 dan ia di lantai 3. Tapi perjumpaan di sela makan siang itu telah mengawali persahabatan kami. Setelah itu, kita pun rajin saling melempar sapa. Untuk sebuah obrolan, sepaket ejekan pada ruang chatting, atau sepotong janji makan siang.

Dia adalah Sekar Ayu. Sekar artinya bunga. Ayu artinya cantik. Sekilas namanya seperti tokoh dalam dongeng atau cerita rakyat Jawa. Hari-hari ini, ia disibukkan dengan persiapan melepas masa lajangnya pertengahan November nanti. Senang. Pusing. Deg-degan. Capek. Semua tumplek jadi satu seperti semangkok es campur saja. Satu bulan lalu, ia pusing memilih warna yang cocok buat kain pengantin. Ijo botol, merah maroon, atau warna emas. Berlanjut kepalanya dijejali dengan urusan cetak undangan, kata-kata mutiara, suvenir, tukang rias, dan sebagainya. Masih ditambah dengan kekonyolan-kekonyolan kecil di Kantor Urusan Agama (KUA). Sebuah lembaga formil-formilan belaka.

Ia akan menikah dengan seorang laki-laki yang lebih dari lima tahun menemaninya sebagai kekasih. Namanya Seto. Seto, sebuah nama yang mengingatkanku pada tokoh cerpen A.S. Laksana dalam antologinya Bidadari Yang Mengembara (2004). Seto, seorang pemuda yang gandrung dengan anak penjual martabak dan ingin menjadi kupu-kupu. Saat memandangi paras gadis itu, Seto melihat pendaran cahaya bak matahari. Saat itu juga ia merasakan dadanya dipenuhi laron-laron yang mengitari bola raksasa itu. Ia yakin ia segera jatuh cinta sebab laron-laron selalu terpesona pada cahaya. Aku kenal betul Seto pilihan Mas Sulak, panggilan A.S. Laksana dalam satu cerpennya. Tapi, aku tidak kenal Seto pilihan Sekar Ayu. Aku pernah melihat parasnya tersembunyi di balik helm dan tubuhnya dibalut jaket tebal. Kacamatanya mengintip dari kaca helm yang memantulkan cahaya senja yang sudah mulai pudar. Seto sama dengan Seto. Dua-duanya lagi dimabuk anggur cinta.

Kemarin sore, Sekar Ayu pun mematung dalam permenungan. Ia membayangkan dirinya dua bulan lagi. Ia harus memaknai kebebasannya lagi. Membaca ulang. Sudah biasa kamarnya berantakan. Kaus kaki tanpa dicuci tiga bulan. Mandi sehari sekali. Jajan indomie. Pulang malam. Menyeruput capuccino kapan pun, di mana pun, dengan siapa pun. Ngobrol dengan sahabat atau para selingkuhan yang membuat tagihan ponselnya membengkak. “Dia akan menjadi perempuan bersuami dengan keterikatan dan kebebasan yang berbeda,” katanya dalam blognya.

Tidak ada yang mampu menghentikan waktu. Perubahan niscaya terjadi. Sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan. Perempuan doyan main basket ini tidak bisa menyembunyikan kekuatirannya. Kekuatiran yang lumrah. Tapi, percaya saja, di mana ada cinta, di situ pasti ada jalan. Itu yang selama ini aku amini. Cintalah yang akan membuka jalan-jalan tersumbat. Yang kupikirkan cuma satu. Setelah dua bulan ke depan, akankah dia masih sudi bertegur sapa denganku untuk sebuah obrolan, sepaket ejekan pada ruang chatting atau sepotong janji makan siang? Tunggu saja. The show must go on!

Ssst, aku merasa dejavu! read more...

Monday, August 27, 2007

Penarik Gerobak Sampah

SEMINGGU ini, dirinya tidak muncul. Tiap pagi aku dan ibu peri menunggunya. Dirinya pun tidak menampakkan batang hidungnya. Suara paraunya pun senyap tiada terdengar dari balik jeruji pintu garasi. Sementara, sampah di dapur dan di garasi kian menumpuk. Baunya mengelena ke segala arah. Membuat hidup tidak jenak. Sementara, trio mickey mouse-sebutan tiga tikus kecil berkuping besar yang bersarang di gudang, pasti senang memanfaatkan kondisi ini. Bayangkan saja, tiap pagi usai bangun tidur. Aku pasti menemukan tisu, kulit pisang, tulang ayam, cuilan roti tawar, berserak tak keruan. Sudah dipastikan itu ulah trio mickey mouse.

Menghadapi tiga penjahat kecil itu, terlintas dalam benakku untuk memasang perangkap tikus. Tapi, aku tidak boleh membunuh binatang kecil itu atas permintaan peri kecilku. Terbayang juga memelihara kucing. Tapi, aku sendiri emoh melihat kucing tinggal di rumahku. Tiap malam saja, ada kucing liar membuat kegaduhan di atas atap rumah. Kadang menjerit tengah malam. Kadang berkejaran dengan suara gemeludug. Entah lagi mengejar tikus, bertarung memperebutkan pasangan, atau lagi birahi di dalam gelap. Tiga minggu lalu, tiba-tiba ada lima anak kucing mengeong-ngeong di dalam garasi. Tak tahu dari mana asalnya. Induknya pun tidak tampak. Mungkin sedang berburu tikus atau sepotong roti. Mungkin juga kabur karena tidak sudi mengasuh kelima ekor itu. Tapi, kelimanya mengeong-ngeong tanpa dihiraukan si induk. Dirasa menganggu, kumasukkan kelimanya dan kubuang di tempat yang jauh. Ibu peri pun sedikit mengomel. Membuat hatiku merasa sedikit bersalah. Teman kantorku pun ikutan mengomel. Aku disebutnya sebagai penjahat binatang. Maklum, dirinya begitu gandrung dengan kucing. Sampai ikon dalam yahoo messengernya-pun berupa paras seekor kucing.

Lagi-lagi, persoalannya adalah sampah. Dirinya seminggu ini tidak datang. Suara paraunya pun terdengar senyap dari balik jeruji pintu garasi. Sampah semakin menggunung. Bau tidak sedap pun mengelana ke berbagai arah.

“Ada apa dengan tukang sampah itu?” tanyaku pada si ibu peri.
“Tidak tahu. Setiap pagi aku juga menunggunya.”
“Mungkin dia sakit. Membeku karena hawa dingin.”
“Bisa juga. Tiga hari hujan turun tiap sore.”
“Persis si tukang gorengan. Ia juga tidak ada di tempat. Mungkin ikutan membeku.”
“Ah, alasan kamu saja untuk tidak membelikanku singkong goreng.”

Minggu pagi, aku sengaja melanjutkan tidur di sofa hijau. Berjaga kalau si tua penarik gerobak sampah itu datang. Berjaga siapa tahu dirinya menyapaku dari balik jeruji garasi dengan suara parau. Alarm di ponselku pun aku pasang pukul 08.00. Jam-jam di mana si tua bertopi hitam kumal itu lewat di depan rumah. Padahal malam minggu kemarin, aku begadang untuk menikmati tontonan gala aksi Bruce Willis dalam Die Hard 4 dan Mat Dammon dalam The Bourne Identity, The Bourne Supremacy, dan The Bourne Ultimatum. Minggu pagi, kelopak mata pun berat dibuka.

Aku pun meleleh dalam sofa hijau. Sampai suara parau dari balik jeruji garasi membangunkanku. Aku meloncat girang. Menyahut suara parau itu. Kubawa beberapa tumpuk plastik kresek besar berisi sampah ke depan. Kulihat wajah si tua itu tidak sesegar seperti biasanya. Mungkin dirinya sedang sakit. Melihat itu, aku memutuskan diam saja. Tanpa bertanya mengapa seminggu ini dia tidak berkeliling dengan gerobaknya. Sampai kuputuskan untuk memberi sebuah kado bila Lebaran nanti tiba. Tanpa lama, sampah pun hengkang dari rumah bersama bau-bau tidak sedap itu.

Bisa dibayangkan, betapa parahnya persoalan sampah di kota ini. Pemerintah daerah kwalahan mengolah sampah. Tanah pembuangan sampah pun minim. Para penghuni kota pun tidak peduli. Buang sampah sembarang. Entah orang kaya. Orang miskin. Orang terdidik. Orang bodoh. Semua bodoh membuang sampah sembarangan. Baru akan kita sadari ketika yang kita hempaskan sembarangan itu kembali kepada kita membawa bencana.

Aku pun harap-harap cemas kalau dia tidak datang lagi. Tidak menarik gerobak lagi. Dan tidak menyapaku dari balik jeruji garasi dengan suara parau. read more...

Sunday, August 26, 2007

Alberto Knox

PEREMPUAN itu mengirimiku pesan pendek pada Jumat, 24 Agustus 2007 pukul 15:37:34 WIB. Pesannya pendek sekali. Membuatku mengernyitkan dahi sejenak. Mereka-reka apa maksudnya. Ia menulis seperti orang terkejut. Terkejut seperti Putri dalam dongeng yang baru mengenal seekor anjing yang selama ini menemaninya adalah seorang pangeran tampan. Atau seperti dua orang asal Emaus yang terkejut setelah seorang pemuda berwajah samar itu memecah-mecah roti pada sebuah meja makan dan mengenalnya sebagai Sang Juru Selamat. Keduanya terbelalak sampai pemuda itu pun raib dari penglihatan mereka.

Ia menulis seperti berikut: “Ya Tuhan...Kau adalah Alberto Knox! Tidak salah lagi!!”

Awalnya, aku bingung apa maksud pesan itu. Siapa Alberto Knox? Mungkin dia salah kirim SMS. Dipikir-pikir, kelihatannya aku agak familiar dengan nama itu. Otakku pun berputar-putar. Mengelana sejenak. Menjumput memori yang masih tersisa. Maklum aku sering diserang virus amnesia dadakan.

Lima menit berlalu. Akhirnya, aku tahu identitas Alberto Knox. Alberto Knox adalah salah satu tokoh rekaan Jostein Gaardner dalam novelnya berjudul Dunia Sophie (1991). Bacaan yang kubaca sejak lama. Alberto Knox adalah lelaki misterius yang gemar berkirim surat pada Sophie Amundsend. Lelaki ini terus berkorespondensi dengan Sophie tanpa langsung mengenalkan identitasnya. Seorang penulis tanpa nama.

Isi surat-surat lelaki misterius itu pun unik. Semua surat berisi pelajaran filsafat. Filsafat yang dikemas dalam cerita-cerita keseharian. Menarik. Unik. Sebuah petualangan di dunia ide yang menyenangkan. Dari ide-ide sebelum Socrates sampai ide eksistensialisme Jean Paul Sartre. Inilah kelebihan Gaardner. Ia mencoba menerjemahkan filsafat yang sering ditakuti itu menjadi cerita yang menarik. Gaardner adalah penulis kelahiran Oslo, Norwegia pada 1952. Karir sastranya ia mulai pada 1986 dengan antologi cerpennya. Pada 1990, ia dianugerahi Norwegian Literary Critics untuk novelnya berjudul The Solitaire Mystery. Sementara itu, Dunia Sophie atau dalam bahasa aslinya Sofie’s Verden menjadi best seller pada 1995. Mengalahkan novel The Celestine Prophecy karya James Redfield.

Lalu apa maksud perempuan itu mengirimiku pesan pendek seperti itu? Aku tidak paham betul siapa perempuan ini. Ia pernah aku temui dalam sepotong perjumpaan sehabis bertemu narasumberku di Mr.Been Cafe di Cilandak Town Square. Ini perjumpaan pertama. Itu pun berlangsung singkat ditemani segelas orange juice. Aku menjumpai dalam jarak dekat, sejauh 60 cm. Perempuan ini mungil. Berkacamata minus. Bertahi lalat kecil di parasnya. Berjaket ketat warna krem. Bersandalkan warna hitam dengan taburan gambar bunga/bintang warna-warni. Ia memberi sepotong sapa perkenalan. Ia adalah blasteran Manado-Jogja. Ayahnya seorang pemburu waktu. Mengelana di sudut-sudut metropolitan. Menjumput rezeki dari orang-orang yang minta diantar. Yang mengejutkanku, dia mengaku sebagai seorang pembacaku. Ia mengembara di labirin kata-kata yang kugoreskan dalam patahan-patahan cerita. Ia menganalisisku. Ia mendiskusikanku bersama koleganya. Ia menebakku. Mengira-ngira. Lalu, apa hubungannya dengan Alberto Knox, penulis misterius itu? Yang jelas, dia sendiri yang tahu.

Usai membunuh keingintahuanku itu, aku pun terus berlenggang. Menorehkan satu dua kata sebagai tanda keberadaanku. Jalan masih tampak tiada berujung. read more...

Monday, August 20, 2007

Tenggelam Dalam Tugas Domestik

TIGA bulan terakhir ini, aku telah disibukkan tugas-tugas domestik. Segala sesuatu yang berhubungan dengan rumah tangga. Bangun pagi sebelum bola raksasa bangkit dari Timur. Mengucap sepotong sapa untuk Sang Pemilik Malam. Mencuci muka dengan air kran kamar mandi. Menyalakan kompor gas dengan dua kali putaran. Menanak nasi. Menyeduh secangkir teh. Memanasi sayuran. Mendadar dua telor. Mengaduk susu cokelat dengan air panas. Membersihkan meja makan dari debu dan tisu. Menyiapkan hidangan itu di meja dengan rapi untuk ia yang tidak bisa bangun pagi. Sesekali menggertak tikus kecil yang ngumpet di balik mesin cuci. Mengusir semut yang mengerubungi sisa makanan yang jatuh di lantai atau gelas tempat sirup ABC yang tidak habis diminum.

Melihat jam dinding. Membuka gorden jendela. Melihat cicak lari terbirit-birit. Melihat sinar matahari yang mengelus pucuk-pucuk pohon tetangga. Mendengar Si Engkong membuka gerbang, menyetel lagu-lagu Mandarin dengan suara yang tidak kalau keras dari mikrofon masjid. Membuka pintu depan. Mematikan lampu. Menyiram enam pot tanaman. Mengeluarkan James, motor Hondaku. Sesekali menyalakan mesin pompa air merek DAB yang doyan rewel. Bolang-baling turbinnya harus diputar dulu dengan sepotong kayu berlumut.

Bergabung dengan kerumunan ibu-ibu di pasar yang jaraknya 100 meter dari rumah. Tinggal jalan 3 menit. Membeli 1 liter beras, 2 larik pisang, ½ kilo buah pir segar, 1 bongkah tempe, 1 bungkus bawang merah-bawang putih, 1 ons lombok rawit, dan sebagainya. Sesekali mendengarkan ceriwis berceloteh ibu-ibu muda. Sambil mencuri pandang pada ibu-ibu yang berparas lumayan dan berdandan seksi.

Akhir pekan, kerja bakti. Membersihkan rumah dari kulit kacang, plastik kresek hitam, bungkus wafer, kotak minuman kacang ijo, struk rental film Video Ezy, plastik makanan katering, bungkus burger crispy. Menunggu si tua tukang sampah menyeret gerobak dengan tertatih di depan rumah. Mengelap meja, tabung televisi, kipas angin, DVD player, sofa hijau di ruang tamu, merapikan buku-buku di perpustakaan pribadi. Menyapu. Mengepel.

Masih ditambah menyortir baju dan celana yang mau dimasukan dalam mesin cuci. Menunggu mesin cuci selesai membolak-balik cucian selama dua jam. Mengumpulkan hanger. Menjemur pakaian. Memburu nasi padang atau soto Surabaya untuk makan siang. Membayar biaya listrik dan telepon. Membayar iuran keamanan bulanan Rp 10 ribu tiap minggu pertama dalam bulan.

Malam hari suasai ngantor. Menyiapkan makan malam. Menyeduh susu cokelat untuk orang terkasih. Membawa oleh-oleh. Memasukkan sayur untuk esok hari dalam kulkas. Bercerngkerama sejenak untuk sepotong perjumpaan dan cerita hari itu. Menonton kinclongnya gigi Thukul dalam program Empat Mata. Mematikan lampu kamar. Mengusapi lengan tangan dan kaki dengan sofell. Kalau ada waktu dan sisa energi, aku menulis. Ditemani Nutrisari hangat rasa jeruk nipis atau seduhan beras kencur ala Sido Muncul dengan tiga bongkah kecil es batu. Lalu menyapa sejenak pada Sang Pemilik Malam. Mendaratkan tiga kecupan. Mengucapkan selamat malam & selamat tidur.

Begitu seterusnya. Inilah rutinitas baruku di samping kerjaan pokok sebagai penulis. Awalnya, memang sangat membosankan. Rasanya ingin hengkang dari rumah itu dua atau tiga bulan lamanya. Maupun terbang seperti burung yang gemar menari-nari di atas loteng rumah tiap senja tiba. Tapi, gelora cinta itu lebih besar ketimbang rasa bosan.

Aku tersemangati oleh masa lalu. Di asrama, tugas-tugas rumah tangga itu sudah biasa dilakukan. Itu pun bagian dari doa. Inilah pembelajaran hidup yang amat berharga. Kecil tapi besar. Sepele tapi sangat berharga. Aku sedang belajar seperti Maryam, ibu Isa. Ia melihat segala peristiwa dan menyimpannya dalam hati serta merenungkannya. Belajar mencinta. Belajar setia.

Semua itu demi peri kecilku! read more...

Thursday, August 16, 2007

Putri-putri Merah Putih

PAGI ini jalanan samping rumah tampak riuh oleh suara anak-anak. Niat untuk pergi ke pasar membeli beras dan pisang sejenak urung. Matahari masih ngumpet di balik loteng. Empat gadis cilik mengerubungi sebuah tongkat panjang. Satu orang memegangi sebuah kain warna merah putih. Mereka berceloteh riuh tak keruan. Tampaknya mereka beradu argumen bagaimana bendera itu bisa dikibarkan. Satu menyalahkan yang lain dan sebaliknya. Tapi aura keceriaan menempel erat di wajah-wajah polos itu.

Tali-tali bendera diikat ditongkat. Dilepas lagi karena kurang pas. Lalu dipasang lagi. Kurang pas lagi. Sekitar 15 menit kemudian, teriakan meledak dari mulut mereka bersama tepuk tangan. Bendera itu akhirnya dapat diikat dengan sempurna. Cekikikan pun berderai. Lalu bendera yang terikat itu diarak di jalanan dan lenyap di kelokan sebuah gang.

Drama singkat pagi itu sangat menarik. Kenangan masa kecil saat 17-an sontak menguar. Sempat sebuah pertanyaan lewat dalam benak. Apa yang ada di dalam benak anak-anak itu tentang arti kemerdekaan? Mungkin keceriaan. Mungkin bendera merah putih yang melambai-lambai. Mungkin lomba makan kerupuk. Lari kelereng. Balapan karung. Upacara bendera. Panjat pinang. Kepolosan. Libur sekolah. Gegap gempita. Macam-macam.

Sepotong rasa prihatin menyelinap di benakku. Mungkin mereka tidak menyadari betapa masih jauhnya cita-cita kemerdekaan itu terwujud konkret di negeri yang memproklamirkan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945 ini. Seorang kolumnis menulis di Kompas hari ini dengan judul “Terlunta di Negeri Merdeka.” Tulisan tentang sisi-sisi ironis di sebuah negeri merdeka. Indonesia.

Sementara itu, dunia anak-anak di negeri ini pun masih jauh dari kondisi ideal. Mungkin keempat gadis cilik pengibar bendera itu tidak tahu kalau teman-temannya di daerah lain sedang mengalami kekerasan. Perdagangan anak-anak dan perempuan masih marak. Anak-anak lain masih dipekerjakan menjadi buruh pabrik murah. Kejahatan seksual pada anak-anak marak terjadi. Remaja putri di Kabupaten Indramayu terancam seleksi keperawanan atas inisiatif bupatinya. Kemanusian anak-anak perempuan itu pun masih dilihat sebelah mata oleh para penafsir agama yang bodoh. Kelincahan mereka terganjal oleh perda-perda beraroma agama.

Apa yang akan terjadi pada mereka dan anak-anaknya 50 tahun mendatang? Apakah mereka masih hidup di lingkungan yang layak? Sementara itu, korupsi semakin menggila. Kekayaan alam dikuras oleh korporasi rakus. Pohon-pohon ditebangi. Musim carut marut. Badai datang tiba-tiba. Udara semakin gerah. Jalanan super mampat penuh jelaga beracun. Tempat tinggal semakin sempit lantaran penguasa gemar menanami vila-vila dan perumahan mewah cum mahal. Mal-mal mengepung dan menjepit dari berbagai arah.

Nah, apakah keempat gadis cilik itu 50 tahun mendatang masih mampu mengikat merah-putih pada sebuah tongkat di samping rumahku dengan wajah ceria? Itu saja kalau rumah itu masih ada dan tidak digusur. Lima meter depan rumah persis sudah berdiri tembok tinggi kokoh melingkari perumahan baru. Villa Kebon Jeruk. Satu rumah besar nyaris selesai dibangun. Bertengger angkuh. Tak tertutup kemungkinan, kelak, perumahan mewah itu akan melebar. Menggusur rumah tinggal kami.

Quid agendum? Apa yang akan kita perbuat? Kalau kita tidak berbuat apa-apa artinya kita ikut andil merampok masa depan anak-anak itu! read more...

Thursday, August 09, 2007

Riyo Mori

BARU kali ini aku nguber-uber tokoh dunia. Riyo Mori, Miss Universe 2007. Rabu, 7 Agustus 2007, matahari masih menggantung rendah di balik bukit Sentul. Redaksi memintaku wawancara eksklusif dengan Ratu Sejagat asal Shizuoka, Jepang itu. Tapi, jelas tidak mungkin untuk sepotong pembicaraan eksklusif. Selain tidak ada deal-deal khusus redaksi, penjagaannya pun lumayan ketat. Dua bule kepala pelontos tampak seperti guardian angel Riyo Mori.

Gara-gara Riyo Mori, aku harus bangun pukul 4 pagi. Memanasi 2 macam sayuran untuk sarapan pagi. Menyeduh secangkir teh. Mendadar 2 telor ayam. Menanak nasi dalam rice cooker. Dan menyajikannya dengan rapi di meja makan. Aku sendiri tidak sempat mencicipi hidangan itu. Keburu mandi. Mendaratkan satu kecupan di kening orang terkasih. Trus bergegas meluncur ke kantor untuk mengejar sebuah tumpangan ke Sentul. Tempat Putri Negara Matahari Terbit itu mau menanam pohon dalam acara Go Green.

Bola rakasasa semakin meninggi. Panas mulai menggerayangi punggung. Aku dan temenku fotografer pun bangkit. Mencari sebuah teduhan. Riyo Mori pun belum nongol juga. Seorang wartawan dari Harian Suara Karya menawari sebuah undangan minum kopi. Kami pun menuruni bukit. Menemui sebuah warung kopi di ujung jembatan.

“Aku pesan satu jepretan saat aku wawancara atau di dekat Riyo Mori, ya!” pintaku pada temen fotografer. Maklum, aku mendadak terkena sindrom pengabadian bersama selebriti dunia itu.

15 menit berlalu. Aku sudah berada kembali di bawah tenda utama. Tak lama, rombongan Riyo Mori pun tiba. Riyo Mori hadir di depan mataku didampingi Putri Raemawasti sebagai Putri Indonesia 2007 dan Asyera Riza Pitaloka selaku Putri Lingkungan 2007. Riuh rendah suara dari bibir anak-anak SD dan lambaian bendera Merah Putih menyambut Mori yang dibalut oleh busana serba hitam itu.

Menurutku, wajahnya cukup familiar. Tidak begitu cantik. Tapi anggun. “Wajah seperti itu, di blok M banyak. Tapi, bedanya, dia pintar,” kata temanku meledek. Tapi, kelihatannya, semua mata tak bergeming saat Riyo Mori berdiri memberi sepotong sapa. Sungguh sexy. Kain hitam yang menutupi tubuhnya terlalu pendek untuk sepasang kaki jenjang dan putih. Belum bando hitam yang melingkar di kepala, tempat bibirnya mengukir senyum khas perempuan Asia.

Lebih-lebih, saat perempuan kelahiran 24 Desember 1986 itu menenam pohon. Ratusan pasang mata dan puluhan kamera semua tertuju padanya. Gaun dengan potongan rendah itu tak kuasa menutupi dadanya. Belahan dadanya begitu tegas. Membuat sebagian peserta Go Green tak bergeming. Lupa akan matahari yang mulai merangkaki puncak. Menyulut panas di sekujur tubuh. Dasar laki-laki!


Dengan bahasa Jepang dan didampingi seorang penerjemah, Riyo Mori memberi sepotong sapa. Ia mulai bicara tentang busana tradisional Indonesia. Tentang HIV-AIDS. Tentang global warming. Semua berjalan singkat. Sehabis menanam pohon, sosok Riyo Mori pun lenyap di balik gundukan bukit.

Sore hari, seorang panitia memberi kesempatanku mewawancarai Riyo Mori di Hotel Nikko Jakarta. Katanya, hanya 5 media yang diundang untuk wawancara khusus. Pukul 16.00, aku pun tiba di Ballroom Nikko. Tapi, Riyo Mori tampil dalam acara fashion show yang digelar Accent, merek busana perempuan ternama di tanah air. So, tidak ada jeda untuk interview dengan wartawan. Kali ini, ia tampil sangat cantik. Diam-diam, aku pun mengaguminya.

Ya, sudah. Aku pun duduk manis menyaksikan fashion show itu. Lumayanlah, sekalian memanjakan mata dengan liak-liuk gerak para model memerkan busana. Sempat kaget juga ada seorang model yang terjungkal di panggung lantaran licin. Membuat terhenyak dan rasa iba. Ada-ada saja.

Berpose bersama Riyo Mori pun tidak kesampaian. Gara-gara temen fotograferku disibukkan dengan Putri Indonesia. Tapi, aku mampu menerobos kerumunan, mengenyahkan dua bule berkepala pelontos, dan menyalami Riyo Mori. Sebuah sapaan “hey” meluncur dari bibirnya bersamaan dengan tangannya menyambut hangat tanganku. Kami beradu pandang dan saling melempar senyum. Sebelum dua sosok bule pelontos itu menggiringnya menuju hotel. Senyum itulah yang belum juga hengkang dari kepalaku. Andai saja...

Riyo Mori dinobatkan sebagai Miss Universe pada Mei 2007. Sebelum menjadi model, Mori dikenal sebagai penari sejak usia 4 tahun. Dia belajar tari di Quinte Ballet School of Canada. Katanya, dia masih menyimpan sepasang sepatu belajar balet pertamakalinya. Digelari Miss Jepang pada 15 Maret 2007.

Riyo Mori. Riyo Mori. Jelas, dikau tak bakalan kulupakan. Kamu telah membuatku bangun pukul 4 oagi. Memanasi 2 macam sayuran untuk sarapan pagi. Menyeduh secangkir teh. Mendadar 2 telor ayam. Menanak nasi dalam rice cooker. Uhh!
read more...

Sepotong Cerita dari Diary Kumal


BUKU harian kumal itu aku temukan di antara tumpukan buku di perpustakaan pribadiku. Kumal dan berdebu. Kulihat tahun penulisannya, 1993. Artinya, usia buku itu sudah 14 tahun atau aku masih berusia 17 tahun saat menulisnya. Cukup lama. Sebuah dokumentasi pribadi yang menarik. Larik demi larik aku baca. Sontak, kejadian-kejadian silam berloncatan kembali di batok kepalaku. Membuatku tercenung. Diam. Mengingat-ingat. Berderai senyum dan tertawa.

Buku itu aku tulis di tahun pertama hidup di asrama di Magelang, Jawa Tengah. Asrama yang 99% dihuni oleh mahkluk berkelamin laki-laki. Asrama yang mengajari kami bangun pukul 4.30 pagi, mengepel gang-gang asrama, sembahyang pagi, dan menulis sebelum sarapan. Kebiasaan menulis buku harian inilah yang membuatku ketagihan menulis. Tak disangkal, hidup memang sebuah rangkaian cerita.

Selasa, 9 November 1993, seperti tertulis dalam buku harian itu, aku merayakan ulang tahunku ke-17. Katakanlah, sweet seventeen. Tidak ada pesta cokelat di sana. Tidak ada kue tart. Tidak ada nyala lilin untuk sebuah tiupan. Tidak ada kartu ucapan. Tidak ada kecupan. Rupanya, aku sedang sakit dan harus berbaring di valet, ruang khusus untuk merawat siswa sakit.

“Hari ini, hari ulang tahunku. Ibuku dan ayahku bergembira karena kedatanganku di bumi ini. Hari baru ini aku buka justru dengan berdoa di kapel Josep di valet karena aku sakit...”

Ternyata, aku sakit sejak 8 November 1993. Penyakitnya masih sama seperti yang sering aku alami sekarang, yakni diare, maag, dan kembung. Penyakit yang oleh para kolega disebut dengan penyakit dunia ke-III. Pada hari itu, aku menulis:

“Dari pagi, aku di valet. Aku tidak masuk sekolah. Perutku sakit sekali. Diare, maag, kembung. Aku sering pergi ke belakang. Bahkan, belum sampai tujuan, itunya sudah go out...Saya tahan ini sambil deg-degan. Jangan-jangan, ketahuan teman...”

Lucu sekali. Aku tertawa sendiri saat membacanya. Di catatan 9 November, ternyata aku orang yang nekat. Buku itu bicara seperti ini:

“Hari ini pula, aku berangkat sekolah walaupun badanku terasa dingin. Dan saat itu ada ulangan sejarah dunia. Namun, semoga saja dapat nilai baik. Tidak luput pula aku disalami teman-temanku.”

Banyak cerita dalam buku harian itu. Kebanyakan cerita sudah di luar daya ingatku. Cerita pergulatan di masa-masa awal masuk asrama, berpisah sama keluarga, bertemu dengan kawan baru. Cerita tentang suster ngesot, suster berwajah rata, tanpa mata, hidung, dan mulut, yang gemar bergentanyangan di gang-gang asrama. Tentang Jojo, anjing bulu cokelat penjaga asrama yang gemar menjerit keras saat lonceng kapel berdentang. Tentang guru olahraga yang gemar melontarkan kata-kata jorok. Tentang teman-teman yang drop-out lantaran nilai Bahasa Latin. Tentang seekor ulat hijau yang teronggok dalam sayur sawi, menu makan siang. Dan banyak cerita lainnya. Dari buku kumal itu, semakin kusadari kekuatan sebuah tulisan. Tulisan mampu membangkitkan kesadaran akan masa lampau. Masa lampau yang suka dilupakan orang. Mungkin dari sinilah, arti keabadian sebuah tulisan yang diamini oleh mendiang Pramoedya Ananta Toer.
read more...

Thursday, August 02, 2007

Ecce Homo!

INI bukan kata-kata Pontius Pilatus saat jari telunjukknya mengarah sosok lelaki lusuh bersimbah darah. Isa, putera Maryam. Penuh luka. Kesepian. Siap meregang nyawa di pucuk bukit tengkorak. Golgota. Ini juga bukan judul buku karangan Friedrich Wilhelm Nietzsche, sang filsuf ateis binal. Ecce homo, artinya lihatlah lelaki itu! Nah, aku mau berkisah tentang seorang laki-laki. Bayangannya tidak pernah hengkang dari pikiranku. Berikut ceritanya:

Senin, 29 Mei 2006, Bintaran, Jogjakarta. Malam baru saja larut dalam beku. Sebentar lagi pagi. Lelaki itu masih saja duduk menemaniku. Aku sibuk mengetik di depan komputer. Mengetik kisah pedih masyarakat yang dua hari sebelumnya diterjang gempa. Gempa dini hari itu menewaskan lebih 6000 warga Jogja. Seharian setelah keliling di antara puing-puing rumah di Bantul, aku harus mengirim sepotong berita untuk Jakarta. Tapi, tidak ada komputer di sini. Listrik pun padam. Sebagian Jogja pun menggelap. Hanya ada kilatan lampu teplok dan lilin menyala di tenda-tenda. Diiringi suara tangisan orang-orang yang kehilangan kerabatnya. Tapi, rumah lelaki itu tetap terang. Listrik masih mengalir di pusat kota. Sesekali mati. Lelaki itu baik hati meminjamiku komputernya. Barang sejenak. Kebetulan ia punya usaha kursus komputer yang namanya sudah cukup ternama di kota ini.

Aku terus mengetik. Lelaki itu masih ada di kursinya. Sesekali tangannya mengusap perutnya yang berbalut singlet putih. Seringai kecil keluar dari bibir cokelatnya. Seolah menahan sakit yang muncul dari tubuhnya yang mengkilap lantaran keringat tipis. Mungkin dia sedang sakit. Tapi, aku memilih diam. Melanjutkan baris demi baris kalimat di layar monitor.

Angin pagi menyelinap lewat lobang angin. Menusuk kulit dengan rasa linu. Tiga ekor cicak mematung di langit-langit. Mengintai nyamuk dan ngengat yang terbang memutari lampu neon. Jambangan penuh bunga mawar plastik tergeletak di atas meja. Foto besar lelaki itu bersama istri dan dua anaknya tergantung tenang di tembok bercat putih. Dispenser dengan galon aqua minim air berdiri di pojok ruangan.

Pukul satu pagi sudah lewat. Lelaki itu bukannya tidur, tapi mengajakku berdiskusi. Tentang gempa. Maklum, lelaki itu lulusan Geologi dari universitas ternama di Jogja. Sayang saja, nasib belum mengijinkan dia bekerja sesuai dengan disiplin ilmunya. Justru itu, ia malah sukses membangun bisnis komputer. Aku salut padanya. Aku sempat jadi saksi mata bagaimana ia belajar keras ilmu yang digelutinya. Tahu gak, di kamar belajarnya yang pengap karna minim ventilasi, bongkahan macam-macam jenis batu tergeletak. Batu-batu yang ia ambil sebagai bahan penelitian. Salut. Dia menjadi inspirasiku. Ia pembelajar serius. Ia juga tipe orang rasional.

Lelaki itu terus berceloteh. Ia mengambil kertas dan menggambar. Ia pun mulai mengajar. Jogja memang rawan gempa karena berada di jalur patahan. Di Jogja, ada sesar Kali Opak. Gempa terjadi karena pergeseran sesar. Bukan lantaran aktivitas Merapi. Sebaliknya, pergesaran ini menyebabkan Merapi makin batuk-batuk dan muntah. Sesar Opak tertekan. Dari Utara oleh gemuruh Merapi. Dari Selatan oleh lempeng India-Australia. Menubruk lempeng Eurasia. Lempeng ini mengkerut dan meregang. Saat merangkak ke titik jenuh, lempeng ini melenting. Terjadilah gempa. Begitulah lelaki itu berceloteh dengan semangat. Sampai akhirnya, kami menyudahinya lantaran kantuk menggerayangi kepala.

Persis setahun berikutnya. 29 Mei 2007, Bintaran, Jogjakarta. Malam sudah membungkus isi kota. Pesawat Adam Air yang membawaku baru saja mendarat di bandara. Setengah jam kemudian, aku sudah berada di rumah lelaki itu. Rumahnya tampak terang benderang oleh neon-neon yang dipasang di teras rumah. Kursi-kursi lipat ditata berjejer. Orang-orang dengan wajah kuyu berkumpul. Celotehnya terdengar samar.

Aku pun kembali berada di ruangan di mana aku mengetik malam hari ditemani lelaki itu. Ruangannya masih sama dengan kondisi setahun lalu. Angin malam masih gemar menyelinap lewat lobang angin. Menusuk kulit dengan rasa linu. Cicak-cicak pun mematung di langit-langit. Mengintai nyamuk dan ngengat yang terbang memutari lampu neon. Jambangan mawar plastik juga masih ada di atas meja. Foto besar lelaki bersama istri dan dua anaknya tergantung di tembok bercat putih sedikit kumal. Dispenser dengan aqua galon minim air juga masih berdiri di pojok ruangan. Tapi, lelaki itu tidak ada di sana. Celotehnya juga tidak terdengar. Ia tidak ada di ruangan itu.

Ternyata lelaki itu ada di ruang tamu. Dikerumuni banyak kerabat dengan mata becek. Lalaki itu terbujur beku di dalam peti. Ia mati saat matahari merangkaki puncak siang. Ia mati setelah berjibaku dengan virus Hepatitis B. Virus yang juga membunuh kakak perempuannya 10 tahun silam. Ia mati tiga bulan setelah ayahnya mangkat lantaran uzur usia.

Lihat lelaki itu! Ia beku. Tanpa kata. Tanpa sapa. Lelaki itu tak lain adalah omku. Rest in peace!
read more...

Wednesday, August 01, 2007

Cerita dari Meja Makan (I)

SEANDAINYA Rene Descartes (1596-1650) masih hidup sekarang, aku akan melemparinya dengan olok-olok. Pemikir Prancis ini mengawali babak filsafat modern dengan adagium cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Tapi, bagaimana aku mampu berpikir kalau perutku kosong. Aku pernah kesulitan berkonsentrasi mengikuti diskusi kelas gara-gara aku tidak sempat makan pagi. So, aku punya premis bodon. Aku makan maka aku bisa berpikir. Aku berpikir maka aku ada. So, aku makan maka aku ada. Bahasa kerennya, manduco ergo sum. Semoga arwah Descartes tidak kegerahan karena pernyataanku ini.

Membicarakan makanan, mari mengawalinya dari meja makan. Kesadaran akan pangan dan tradisi makan berawal dari meja makan. Dulu, kegemaran bercerita dan bercengkerama dalam keluarga terjadi di meja makan. Makan adalah peristiwa esensial dalam hidup manusia. Tanpa makan, proses metabolisme tubuh mahkluk hidup akan menyurut. Kemungkinan besar, orang akan mati. Fakta pun menunjukkan berapa jamak penyakit dan penderitaan muncul lantaran kelangkaan pangan ini.

Tapi, bicara soal pangan bukanlah sekadar bicara pada apa yang kita makan. Makan tidak hanya berkisah tentang dirinya sendiri. Ia berbicara tentang kehidupan. Majalah TIME volume 169 tahun 2007 mengangkat headline yang cukup menarik. Tajuk dalam coverstory-nya adalah “We Are What We Eat.” TIME menegaskan persoalan makan juga mengekspresikan siapa diri kita, bagaimana kita hidup, dan kondisi dunia tempat kita tinggal. Nah, apa yang tersaji dalam meja makan, bisa menuturkan kepada kita banyak kisah. Ia bercerita tentang gaya hidup, kondisi ekonomi, hidup sosial, status, kultur, sistem politik, demokrasi, kolonialisme, kapitalisme, ketidakadilan sosial, hegemoni budaya, privatisasi, dan sebagainya.

Mari kita lihat bagaimana tempe goreng, sayur lodeh, pecel, kudapan, dan sambal pete berkisah tentang nasib para petani tanah air yang sangat memprihatinkan. Mereka adalah pencerita yang baik. Tapi, sayangnya kita sering emoh mendengarkan celoteh mereka.

Daun sawi, bayam, wortel, berkisah tentang keanekaragaman hayati yang sedang terancam. Periuk nasi kosong bertutur tentang penderitaan kaum buruh. Mie instan memaparkan kelaparan yang tampak begitu telanjang dan terserak di berbagai daerah. Secangkir kopi Starbucks menceritakan gaya hidup orang modern. Gerai-gerai McDonald berkisah tentang hegemoni ekonomi global negara adikuasa pada negara-negara berkembang. Ayam Kentucky bertutur tentang penyakit mematikan akibat konsumsi berlebihan makanan sampah (junk food). Struk belanja berlabel Carrefour bisa berkisah tentang para pedagang kecil yang semakin terjepit oleh pusat-pusat perbelanjaan yang mengepung dari segala arah. Air yang kita minum mengungkap fakta privatisasi sumber-sumber air oleh korporasi asing dan air menjadi barang mahal di negeri sendiri.

Mungkin akan sangat menarik bila celoteh dari sawi, wortel, kopi, ayam, air, dan sekutunya itu dijadikan novel. Mereka dibangkitkan menjadi karakter-karakter yang hidup. Mirip dengan novel Animal Farm garapan George Orwell (1903-1950). Orwell melancarkan kritik pada totalitarianisme Joseph Stalin dengan fiksi binatang. Dikisahkan ada sekelompok binatang di sebuah ladang merencanakan pembangkangan sipil (civil disobedience). Bertahun-tahun mereka hidup dalam penindasan manusia bernama Tuan Jones. Mereka dipaksa kerja rodi. Ayam-ayam bertelur tanpa pernah melihat anak-anaknya. Sapi dipaksa menghasilkan susu tanpa menyusui anak-anaknya. Demikian juga yang dialami kuda, itik, domba, dan sebagainya. Mayor tua, si babi pintar, mengobarkan pemberontakan. Mereka mengusung semboyan egalitarianisme, keadilan, pembebasan, toleransi, dan kemerdekaan.

Sebuah karya cerdas Orwell. Sastrawan kiri ini membenci segala bentuk totalitarianisme negara. Animal Farm pertama kali diterbitkan oleh Harcourt Brace & Company di Inggris pada tahun 1946. Dunia sedang dilanda krisis akibat Perang Dunia.

Nah, pesan Animal Farm bisa diterjemahkan lagi dalam persoalan pangan. Kolonialisme pangan sedang terjadi. Membusuk di sana-sini. Tak heran, persoalan pangan kontemporer ini sebagai persoalan kemanusiaan yang tidak bisa dianggap remeh. Mari bercerita tentang makanan yang kita makan. Cerita untuk melawan kolonialisme wujud baru. Toh, kata adalah senjata. Demikianlah Si Pejuang Gerilya Zapatista mengamini.

Mau memahami dunia? Tengoklah meja makan Anda! “Food is not just what we eat. It is an expression of who we are, how we live, and the world we inhabit,” cetus TIME. read more...

Iraq Can Fly

PENCERAHAN itu datang dari lapangan bola. Mengharukan. Tim Irak berhasil menyabet predikat juara Piala Asia 2007 setelah menundukkan Arab Saudi dengan sekor 1-0. Younes Mahmoud, kapten tim Irak, berhasil menyundul bola dan menjebol gawang Arab Saudi pada menit ke-71. Tim Singa dari Mesopotamia ini pun dinobatkan sebagai Sang Juara.

Kemenangan tim Irak adalah sebuah keajaiban. Bayangkan saja, Irak adalah negeri yang hancur lebur pascainvasi Amerika Serikat. Lebih-lebih ketika rezim Sadam Husein berakhir di tiang gantungan. Tiap hari, dipastikan ada orang tewas akibat bom mobil atau granat bunuh diri. Tanah Irak itu seakan tidak pernah kering dari tetesan air mata dan aroma amis darah akibat perang saudara. Jumlah anak yatim dan janda-janda terus bertambah. Sementara itu, tidak ada pemerintahan yang jelas dan berwibawa. Irak, surga Mesopotamia tempo dulu, meratap seolah tanpa masa depan. Negeri dongeng seribu satu malam itu menjadi negeri seribu satu derita.

Tapi, kemenangan tim sepak bola laksana sapu tangan yang menyeka airmata anak-anak Irak. Peristiwa itu menjadi penanda masih ada sesuatu yang bisa dibanggakan dari negeri yang tampaknya tidak bisa dibanggakan lagi. Ada sepotong harapan di negeri yang tampaknya tidak bisa diharapkan lagi. Ada masa depan samar di negeri yang tampaknya tidak punya masa depan lagi. Tidak ada lorong gelap yang sempurna. Kehancuran tidaklah abadi.

Sepotong cerita lain direkam oleh Bhaman Khobadi dalam film Turtles Can Fly (2005). Film garapan sutradara berdarah Kurdis itu aku tonton tiga minggu lalu. Menarik. Mengharukan. Khobadi berhasil menampilkan potret buram Irak pasca-Sadam dari kacamata anak-anak. Hampir seluruh karakter utama film itu adalah anak-anak.

Khobadi mengambil seting perbukitan suku Kurdi yang menjadi basecamp pengungsian di Irak Utara. Di daerah penuh debu dan karang itu, hiduplah sekelompok anak yatim piatu. Mereka berusaha bertahan hidup dan menjalin persahabatan. Ada Hengkoy (Hirsh Feyssal), bocah buntung kaki karena ranjau darat. Hengkoy tinggal di tenda bersama saudara perempuannya Agrin (Ayaz Latif), gadis cilik yang selalu dihantui masa lalu. Agrin membenci Risa, bocah cilik hasil pemerkosaan tentara Irak. Ada lagi Satelit, bocah genius berkacamata. Satelit berhasil membawa antena parabola di kamp pengungsi. Dari antena dan televisi inilah, para pengungsi melihat siaran berita dan hiburan. Khobadi memotret kehidupan anak-anak itu. Tentang persahabatan, mimpi-mimpi, luka, kepedihan, kehilangan, kesepian, kesetiakawanan, dan pengharapan.

Cerita anak-anak mengharukan ini sesekali dibumbui dengan humor-humor. Inilah film anti-perang yang menegaskan perang hanya akan membawa penderitaan. Persis seperti yang dikatakan mendiang Paus Yohanes Paulus II, perang adalah kejahatan melawan kemanusiaan. Pernyataan Paus itu muncul pada saat AS berancang-ancang membombardir Irak. Sekarang, pernyataan itu menemui kebenarannya. Lebih-lebih, perang sering dilatari motif ekonomi. Keserakahan. Penguasaan sumber daya alam. Jual beli senjata. Minyak. Emas. Banyak hal.

Dongeng senjata pemusnah massal ala Amerika itu hanya membawa derita. Bukan penghiburan. Tapi, kehancuran fisik bukanlah akhir segala-galanya. Minimal kemenangan tim sepak bola Irak di Piala Asia dan sepotong cerita besutan Bhaman Khobadi itu menjadi penanda tidak matinya harapan masyarakat Irak. Negeri penuh kedamaian dan kedamaian tetaplah sebuah keniscayaan. Tanah Terjanji yang berkelimpahan susu dan madu itu bukanlah mitos. Irak pun bisa melangit.

Pengharapan itu bisa dibagikan melalui cerita. Anne Frank bertutur dengan buku hariannya. Elie Wiesel dalam buku Night. Imre Kartes dalam buku Fateless. Spilman dalam novel The Pianist. Lois Lowry dalam novel Number The Stars. Yah, cerita-cerita untuk melawan lupa.

Iraq can fly! read more...