Friday, January 11, 2008

Gadis Peramal dari Belitung

WAKTU kadang bertingkah aneh bin ajaib. Bayangkan saja sudah sekitar 8 tahun aku berpisah dengan gadis ini dan baru dua hari lalu aku menemukan kontaknya. Pernah di waktu-waktu senggang aku memikirkan bagaimana caranya mengontak dan menemui gadis ini. Tapi selalu nihil. Nomer ponsel yang dulu pernah ada raib bersama diambilnya ponselku oleh tangan misterius saat aku menumpangi bus yang melintasi ruas jalan Tomang beberapa tahun silam. Sekalipun otak diputar-putar, diurai lipatan-lipatan neuronnya, dan digelar di bawah terik matahari yang paling terik, aku tetap tidak menemukan cara menjumpai gadis itu. Gadis itu mungkin sudah hilang abadi. Ia seperti satu larik kalimat usang yang terlihat samar dan menempel di dinding batok kepalaku dengan sedikit berlumut.

Tapi, dua hari lalu, saat aku membolak-balik halaman sebuah buku untuk sepotong referensi buat cerpenku, aku menemukan jejak pensil yang merangkai namanya. Di situ tergores nama Ovi lengkap dengan dua nomer telepon. Satu nomer rumah berkepala 7. Satu lagi nomer ponsel. Aku masih belum percaya benar itu adalah nama diri dan nomer ponselnya. Aku berupaya mengingat-ingat kapan aku menuliskannya di buku itu. Aku mendadak seperti kakek temanku yang sudah pikun dan sedang berupaya keras memutar otak untuk mengingat-ingat nama cucunya sendiri.

Mengapa gadis ini begitu istimewa? Aku mengenal Ovi saat aku masih menjadi anak kos di tahun terakhir kuliah filsafatku di Cempaka Putih. Saat itu, seorang kawan membawanya ke tempat kosku untuk sepotong perkenalan. Ia mengaku seorang mahasiswi dari IKIP Jakarta. Obrolan demi obrolan membuat kami semakin nyambung saja. Gadis ini berparas manis. Bermata oval. Rambut ikal dengan potongan pendek. Titik-titik jerawat menghiasai kedua pipinya yang merona. Bila tersenyum, jerawat-jerawat itu berubah menjadi manik-manik yang membuat wajah imutnya seperti gula-gula paling manis di dunia. Jujur kataku, saat garis bibirnya melengkung ke atas, manisnya minta ampun. Tapi, senyum manis itu adalah milik gadis bertubuh kerempeng lantaran kekuatan aneh menghisap tubuhnya. Tubuhnya cilik, ciut, dan terkesan ringkih.

Ovi adalah seorang gadis unik. Dia mengaku memiliki kekuatan membaca pertanda. Mirip-mirip seperti Mama Laurent maupun Permadi. Kekuatan ini dicurahkan dari langit kedalam dirinya sejak lahir. Pernah ia bercerita betapa sakit hatinya ketika membaca ada seorang kenalan yang akan mengalami penderitaan. Maksudnya, ia bisa membaca nasib orang. Pernah ada keinginan membuncah memintanya meramal nasibku. Tapi selalu berujung urung. Pengetahuan ini telah membuatnya lelah memikirkan nasib orang lain. Sampai-sampai pikiran ini seakan menguras energinya sekaligus menghisap tubuhnya menjadi sosok gadis kerempeng.

Ia juga dikaruniai kemampuan merasakan kehadiran mahkluk halus. Bahkan, berkomunikasi dengan mereka. Ini pernah ia ceritakan ketika kami sedang menyusuri malam dalam naungan bayangan dahan-dahan pohon yang tertimpa sorot lampu kota di sepanjang jalan Utan Kayu. Utan Kayu, tepatnya Teater Utan Kayu (TUK) adalah tempat favorit kami menggelar perjumpaan. Entah menonton pertunjukan teater, festival film, tari, maupun sekadar diskusi ngalor-ngidul. Maklum, waktu itu, kami mahasiswa dengan idealisme meluberi volume kepala. Apalagi tahu sendiri, saat itu gerakan reformasi lagi unjuk gigi.

Hampir tanpa absen, ia juga doyan menggabungkan diri dalam diskusi rutin hari Senin di kampusku. Sebuah forum diskusi Senin siang yang dinamai Mazhab Jembatan Serong. Suatu ketika, ia pernah bilang, aku adalah saudaranya. Tepatnya adalah kakaknya. Predikat dadakan ini sempat membuatku merenung lama. Lalu, entah kenapa waktu 8 tahun telah menculik gadis itu ke sebuah daerah yang tidak sembarang orang tahu.

Nah, setelah menemukan nomer kontaknya, segera aku menelponnya. Telepon rumah tidak bisa dihubungi. Lalu kutelepon nomer ponselnya. Ternyata yang angkat bukan dirinya melainkan orang lain yang mengaku saudaranya. Saat hampir putus asa, orang berpita suara sopran itu mengabari bahwa Ovi sudah tidak di Jakarta, melainkan tinggal di Belitung. Orang itu memberiku nomer ponsel Ovi yang baru.

Mendengar kata ‘Belitung’ sontak memoriku langsung berteriak, “Laskar Pelangi!” Tidak salah. Belitung itukan tanah kelahiran Andrea Hirata, pengarang novel Laskar Pelangi. Aku terkekeh renyah sambil mengenang karakter-karakter ‘dodol’ tentang anak-anak Belitung seperti yang diceritakan Andrea Hirata. Nah, hari juga aku menelponnya.

Dag-dig-dug dan penasaran mengiringi bunyi nada sambung ponselnya. Jiwaku seperti keranjingan untuk segera mengetahui kabar dari gadis itu. Akhirnya, babak pembukaan selesai dengan selamat. Kami berdua sama-sama menuai kejutan. Kami pun seperti terlibat dalam sebuah reuni dadakan meski kami terpisah jarak ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Serpihan peristiwa masa lalu berloncatan seperti bunga-bunga api memancar dari batang kembang api di malam tahun baru kemarin. Ia sempat mengobrol soal Laskar Pelangi. Tapi, obrolan itu tidak lama. Maklum pulsa nomer ponselku mendadak berubah wujud menjadi seorang tiran kejam yang melarangku mengobrol lama. Lalu aku akhiri rendezvous online itu dengan harapan kita akan kontak-kontakan lagi.

Intinya, gadis itu sekarang tinggal di Manggar, ibukota kabupaten Belitung Timur. Ia bekerja sebagai pegawai negeri di kantor Dharma Wanita kabupaten. Tiga kali dalam seminggu seusai melepas seragam pegawai negerinya, ia mengisi malam hari dengan bercuap-cuap sebagai presenter di sebuah stasiun radio FM di sana. Saat aku menelepon, ia sedang libur dan sibuk membantu temannya yang sedang punya hajatan nikah. Ada suara latar berupa cuap-cuap ayam kampung saat kami melangsungkan pembicaraan. Membuat imajinasiku semakin mengerti seperti apakah Belitung itu.

Oiya, aku kembali menelepon dirinya untuk menanyakan nama lengkapnya. Maklum terlalu lama hidup di bangsa pelupa, jadi ketularan amnesia. Nama lengkap gadis itu Yunita Oviantari.

read more...

Wednesday, January 09, 2008

Malam Berbagi Gelak

ADA yang mengocok perutku tadi malam. Tepatnya, usai mengantar ibu peri ke dokter untuk mengetahui kabar si peri kecil. Malam dengan sedikit bintang dan jam dinding di atas meja rias menunjuk pukul 22.10 WIB. Kami berbaring di atas kasur sambil memandangi langit-langit kamar yang penuh jejak air hujan.

Entah kenapa, mendadak kami berbagi celotehan tentang pengalaman lucu di masa kecil. Aku mengawali obrolan tentang bioskop. Bioskop pertama yang aku kunjungi adalah bioskop Senopati yang terletak di belakang Benteng Vredeburg atau di pusat perbelanjaan shooping, selatan Malioboro, Yogyakarta. Sayang sekarang bioskop ini sudah tidak beroperasi lagi.

Ada dua film yang pernah aku tonton di gedung ajaib itu, yakni Arie Hanggara (1985) dan Saur Sepuh (1988). Keduanya tidak bakal lekang dari memoriku. Pasalnya, ada pengalaman lucu bercitarasa pahit di sana. Bagi yang sudah hidup di tahun 1980-an, tentu tahu apa itu Saur Sepuh. Film ini diangkat dari sandiwara radio yang terkenal dengan tokoh superheronya bernama Brama Kumbara. Asal tahu saja, radio waktu itu cukup populer. Alasannya bisa ditebak. Tayangan televisi masih super monoton dan membosankan karena dikuasai stasiun tunggal pelat merah, TVRI. Cerita Saur Sepuh begitu membiusku. Tidak heran jika di batok kepalaku lebih terisi nama-nama seperti Brama, Mantili, Lasmini atau jurus-jurus sakti seperti bayu bajra dan sebagainya, ketimbang mata pelajaran yang dibawakan guru-guru dengan membosankan. Saat kabar sandiwara yang sudah difilmkan itu menyusup ke lobang telinga, aku pun sontak merengek pada ayahku untuk lekas menontonnya.

Nah, pengalaman lucu rasa pare itu muncul di sore hari. Waktu itu, aku, ayahku, dan adikku yang masih kecil antri karcis di bioskop Senopati. Jumlah pengantri berjubel. Sementara, jam tayang sudah di ambang pintu. Entah kenapa, aku lupa, aku terpisah dari ayahku. Dan aku pun kehilangan mereka. Aku berputar-putar mencari mereka. Setelah capek menyusup di antara kaki-kaki angkuh di seputar loket, aku pun mematung seperti setangkai bunga lili kusut. Lalu gelembung-gelembung cair mengembang di kedua sudut mataku dan tergelincir pelan di pipi diiringi suara sesenggukan dari arah tenggorokan. Aku menangis. Seorang dewasa datang menyambangiku, memberiku secuil penghiburan, lantas menggandengku menuju petugas informasi. Seorang lelaki dewasa berpakaian hansip-waktu itu hansip tidak hanya masuk kampung tapi juga bioskop-menanyai namaku, nama ayahku, dan mencatatnya di sepotong kertas. Lalu, dengan nada suara yang dibuat kebapak-bapakan, hansip bioskop itu pun menyuruhku duduk manis di bangku tak jauh dari pos. Sambil mengayun-ayunkan kaki di bangku, mataku mengembara ke kerumunan. Mendadak aku melihat bayangan ayahku. Sontak aku minggat dari bangku tanpa sepengetahuan mata sang hansip. Di depan ayahku, aku malah dimarahi. Tanpa lama, kami pun menghayutkan diri di barisan orang menuju dalam gedung karena film segera dimulai.

Sampailah aku di dalam sebuah ‘gua’ raksasa dengan semilir angin AC yang tidak begitu dingin dan sebuah kain putih raksasa terbentang gagah di depan bangku tempat kami duduk. Pintu masuk ditutup. Lamu dimatikan. Secercah cahaya terang meluncur dari belakang dan membuat kain itu menyala. Dan apa yang pertama kali terlihat di kain putih itu? Selarik tulisan berukuran besar menempel dan menyebut nama ayahku.

PAK XXXXX DICARI ANAKNYA
HARAP DATANG DI POS INFORMASI

Sontak, gedung bioskop itu meledak oleh tawa dari para penonton. Sangat gaduh. Mereka berteriak sambil menyebut-nyebut nama ayahku. Aku semakin malu. Perlahan aku melelehkan diri ke bangku empuk bioskop itu. Beringsut malu. Merasa seolah para penonton lain itu tahu kalau kamilah yang disebut di layar putih itu. Ayahku hanya melempar senyum simpul sambil tangannya mengelus-elus rambutku.

Ternyata, hujan tawa itu pun berlanjut di kamar kami. Ibu peri pun tak kuasa menahan gelak. Sebenarnya, ada satu lagi pengalaman lucu rasa pare berkaitan dengan bioskop yang bisa kutuliskan di lembar putih ini. Tapi, cukup satu sajalah. Pengalaman ‘dodol’ lainnya biarlah tersimpan rapi di rak-rak memori kepalaku. Usai meredam gelak, kami berdua pun sibuk dengan urusan masing-masing. Ibu peri memilih membaca antologi cerpen karangan Ratih Kumala berjudul Larutan Senja. Lalu ia tertidur. Aku sendiri memilih membisu di depan laptop sambil berupaya melanjutkan larik-larik cerita untuk dirajut dalam sebuah buku. Kantuk datang, aku pun tidur.

read more...

Tuesday, January 08, 2008

Membaca Philip Pullman

FILM The Golden Compass akhirnya aku tonton juga pada Sabtu siang, 5 Januari 2008 di studio 21 Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mungkin karena The Golden Compass sebagai film anak-anak, bangku-bangku di kanan kiri, depan belakang tempat aku dan ibu peri duduk dipenuhi oleh anak-anak. Riuhnya bukan main. Untungnya, saat film itu diputar, mereka mampu duduk manis menikmati film garapan Chris Weitz dan dibintangi Nicole Kidman itu.

Secara umum, film ini cukup imajinatif sebagai karya fantasi. Fantasinya mirip-mirip Film Harry Potter, Eragon, Lord of The Rings, atau The Chronicles of Narnia. Asal tahu saja, rilis The Golden Compass cukup diiringi dengan gerimis kontroversi. Saat mengendus andanya kontroversi ini, aku sendiri tergelak renyah. Paling-paling wacananya mirip-mirip saat novel The Da Vinci Code karya Dan Brown diluncurkan. Juga mirip Harry Potter buah karya JK. Rowling yang dinilai Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) mengajarkan ilmu-ilmu sihir yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Kristen. Tentu saja kritikan itu memunyai alasan (reasoning)-nya sendiri. Tapi, sebagai pecinta sekaligus penikmat teks-teks sastra, aku sendiri tidak mau terjebak dalam lingkaran kontroversi itu. Aku sendiri mencoba menemukan dan mencecap seni di dalamnya.

Siang ini, sepotong pesan dari seorang teman mampir di lembar putih ruang chattingku. Intinya, teman itu menghimbau agar aku tidak usah menontonnya dengan alasan tidak bagus dan tidak ada pesan moral apa pun. Gelakku semakin renyah saja. Kadang orang buru-buru berkomentar negatif karena sudah pasang prasangka sejak awal. Memprihatinkan lagi, orang sudah menilai negatif tetapi itu hanya kata orang lain. Dirinya sendiri belum membaca novel dan menonton filmnya.

Sembari menonton, aku mencoba membandingkan imajinasiku ketika membaca versi novelnya dengan visualisasi film itu. Alur ceritanya sebagian besar sama dengan yang ada di buku: petualangan Lyra dari Akademi Jordan sampai Bolvangar di kutub utara. Kekuatan fantasi film itu ada di visualisasi para daemon. Tanpa daemon, mungkin, bobot fantasinya itu terlihat kering. Personifikasi binatang baik daemon maupun sosok beruang kutub seperti Iorek menjadi poin penting. Secara materi, aku menilai sama seperti di buku, film ini masih tergolong berat. Apalagi disajikan untuk anak-anak. Aku menangkap isi buku Pullman sarat dengan muatan teologis. Nah, ini menjadi berat untuk anak-anak yang masih mencerna realitas secara pragmatis. Di sana, dikenalkan kata-kata ‘misterius’ seperti Magisterium, Dust, Dunia Paralel, Daemon, Pemisahan, dan sebagainya. Nah, Pullman seakan mencoba mengemas itu dalam cerita anak-anak. Meskipun demikian, untuk sementara ini, aku menilai upaya Pullman ini gagal. Tidak sesuai dengan target marketnya. Tapi, materi berat ini cukup tertolong dengan plot, karakter yang fantastis, seperti karakter daemon anak-anak yang bergonta-ganti wujud, wahana kutub utara yang memukau, kompas emas ajaib, pasukan penyihir pimpinan Serafina Pekkala yang melayang-layang di udara, sosok beruang raksasa yang superhero, dan sebagainya.

Ada beberapa bagian dalam cerita di buku yang tidak divisualisasi dalam film. Mungkin ini sebagai bagian dari politik film itu sendiri. Toh, menurutku, buku dan film, meskipun memuat cerita yang sama, tetaplah dua entitas yang berbeda. Kata ‘gereja’ yang beberapa kali muncul di buku tidak muncul di film. Ending di buku dan di film juga cukup berbeda. Di buku, wacana teologis Pullman lebih kentara dengan menghadirkan sepotong cerita dari Kitab Kejadian menyoal manusia pertama di Taman Firdaus. Di film, bagian ini dihilangkan. Epilog di film juga lebih dipersingkat ketimbang di buku. Epilognya sangat tanggung. Film ini menyisakan banyak hal misterius yang belum terjawab. Karena ini bagian pertama dari trilogi His Darks Materials, dipastikan akan ada film lanjutan yang mengangkat buku kedua The Subtle Knife dan buku ketiga The Amber Spyglass. Oleh karenanya, cerita Pullman tidak utuh jika tidak membaca ketiga bukunya. Apalagi menghakiminya tanpa membaca larik-larik kata dalam trilogi Pullman itu. Meskipun, ini catatan pribadiku, gaya bercerita Pullman tidak serenyah Rowling atau Lewis.

Pesan Moral
Soal opini temanku bahwa cerita Pullman tanpa pesan moral, aku berpendapat lain. Aku tidak begitu memedulikan Pullman mengusung pesan moral tertentu atau tidak. Bisa jadi, orang terjebak mengais-ngais makna tapi melupakan keindahan cerita itu sendiri. Sama seperti orang yang melakukan perjalanan tetapi lantaran terlalu memikirkan tujuan, ia lupa menikmati warna-warninya realitas di jalanan. Nah, soal mengais makna, aku selalu memperlakukan teks sebagai yang berdiri sendiri. Ia sudah terpisah dengan pengarangnya. Seperti dikatakan Rolland Barthes bahwa the author is dead ketika sebuah tulisan dipublikasikan. Teks dalam hal ini buku atau film memunyai kebebasan besar untuk ditafsirkan pembaca. Pembaca pun memunyai kebebasan menafsirkan teks itu tanpa terbelenggu oleh maksud pengarang. Dalam melihat The Golden Compass, aku bersikap seperti ini.

Hasilnya, aku menemukan pesan moral yang sangat bagus dari buku dan film Pullman ini. Mungkin Pullman sendiri tidak memikirkan atau bermaksud seperti yang aku tafsirkan (perlu studi lebih lanjut). Seusai menonton, aku menangkap ada satu kritik sosial dari film itu. Konsep daemon yang dimiliki anak-anak dan senantiasa berubah-ubah aku tafsirkan sebagai jiwa merdeka anak-anak. Hal ini berbeda dengan daemon orang dewasa yang tetap dan tidak berubah-ubah. Daemon yang disimbolkan dengan sosok binatang ini seperti kehendak bebas. Tapi, apa yang terjadi selanjutnya? Jiwa merdeka anak-anak ini dirusak oleh orang dewasa dan oleh institusi-institusi sosial dalam masyarakat termasuk institusi agama (dalam konteks Pullman adalah gereja). Jiwa-jiwa merdeka itu telah dipisahkan dari anak-anak dan menjadikan anak-anak kehilangan kemerdekaannya alias tidak menjadi diri sendiri. Tetapi, perilaku harus disesuaikan dengan aturan-aturan sosial yang kadang membuat orang menjadi sosok-sosok munafik. Aturan itu, menurutku, diwakili oleh terminologi Pullman tentang magisterium. Ingatkan, semakin banyak aturan dengan dalih moral dan kesucian, akan berpotensi melahirkan kemunafikan. Kemunafikan biasanya dilawankan dengan kepolosan anak-anak.

Nah, anak-anak yang dipisahkan dengan daemonnya lewat proses pemisahan, akan mati. Ia tidak hidup. Sekalipun hidup, itu pun kehidupan yang tidak asli. Ini digambarkan dengan jelas dengan sosok Billy Costa, bocah cilik dari komunitas gipsi, yang lunglai setelah dipisahkan dari Ratter, daemonnya (catatan: di buku, karakter ini bernama Tony Makarios). Itu salah satu tafsiranku ketika membaca/menonton karya pengarang kelahiran Inggris itu.

Soal tuduhan ateisme Philip Pullman, aku sendiri tidak buru-buru berkomentar. Aku sendiri bermaksud menjadikan ini menjadi studi atas teks-teks Pullman. Ada yang komentar karya Pullman ini sebagai antitesis karya C.S. Lewis khususnya The Chronicles of Narnia yang kental pesan religiusnya. Memang menurutku, kisah Lewis ini merupakan adaptasi kisah Injil dalam format fabel. Tapi, ada yang menarik dari pernyataan Pullman. Dalam sepotong wawancara dengan The Sydney Morning Herald pada tahun 2003, ia menyatakan “My book are about killing God.” Nah, ini membuncahkan minat pribadiku mengenal Philip Pullman dengan studi lebih lanjut. Sampai buku pertama dan kedua, aku masih mereka-reka titik poin ateisme Pullman. Mungkin terhubung dengan Dust, kebebasan manusia dalam konsep daemon, dunia paralel, dan sebagainya. Aku hanya tidak mau terburu-buru. Aku mau menjadikan ini momentum wisata studi teks-teks Pullman. Mungkin karena daya tangkapku yang terbatas. Tapi, aku tidak mau jadi naif seperti temanku tadi.

Sekarang, di folder komputerku, berderet beberapa artikel seputar Pullman dan karya-karyanya. Dan hari ini, buku Pullman yang lain berada di tangan setelah aku pesan dari toko buku maya, inibuku.com. Judulnya Dulu Aku Tikus (I was a Rat!) dan diterjemahkan oleh Penerbit Gramedia. Dengan begitu, sudah ada 6 novel Pullman di perpustakan pribadiku, yakni 3 buku His Dark Materials, Puteri Si Pembuat Kembang Api, Si Pembuat Jam, dan Dulu Aku Tikus.

Itulah Pullman. Membuatku gelisah. Ia akan hadir di malam-malamku ketika jari-jari ini terlihat begitu sempoyongan untuk segera menumpahkan ide-ide di layar laptoku.

read more...

Sunday, January 06, 2008

Natal di Februari

TIDAK ada bintang berkelip di langit timur. Tidak ada nubuat para nabi. Tidak ada malaikat menampakkan diri di dalam mimpi. Tidak ada cerita-cerita tentang sinterklas dan pit hitam. Tidak ada pohon cemara berhias kelap-kelip lampu gantung. Tidak ada boneka salju. Tidak ada kaos kaki berisi batangan cokelat. Tidak ada suara Charlotte Church mengalun bersenandungkan kidung Silent Night. Tidak ada melodi Ave Maria ala Franz Schubert atau Johan Sebastian Bach menguar di bilik rumah. Tidak ada lonceng berdentang ditingkahi malam yang dingin selain suara detak teratur dari jam dinding yang menggantung di dekat meja rias. Tidak ada sajak Clement Moore yang dibacakan. Inilah adven di rumah kami.

Penantian Natal ini sungguh nyata. Menurut dokter, Natalku akan tiba pada pertengahan Februari mendatang, bulan di mana peri kecilku akan lahir, memamerkan tangis pertamanya, dan menambah hiruk-pikuknya dunia. Beda sekali dengan Natal kemarin, sebuah hajatan berulang setiap penghujung tahun. Riuh dan meriah diiringi oleh hujan, angin taifun, dan banjir di beberapa daerah di nusantara. Nah, inilah pengalaman pertamaku mempersiapkan kelahiran peri kecil.

Mulai Januari, ada satu kegiatan baru menyelip di papan acara yang terpaku di batok kepalaku, yakni belanja barang-barang buat bayi. Sudah dua kali, aku dan ibu peri menyambangi toko bayi Kemanggisan. Toko ini terkenal lengkap dan harganya pun miring. Sekarang, di kamarku, teronggok barang-barang buat peri kecil. Popok. Baju. Celana. Selimut. Lampin. Tisu. Minyak telon. Bedak. Ember mandi. Tempat sabun. Tas bergambar Winnie the Pooh. Sisir. Pampers. Kapas. Sarung tangan. Sarung kaki. Baby oil. Wash lap. Handuk. Hanger. Termometer.

Tiap pagi, dengan catatan tidak gerimis atau hujan, aku menemani ibu peri jalan-jalan menyusuri gang. Alih-alih senam pagi sambil menanti bola raksasa meloncat di horizon timur. Itu pun kalau awan hitam tidak bergerombol menghadang jalan setapak yang sering dilalui bola raksasa itu. Sementara itu, ibu peri tidak pernah absen menegak dua gelas susu merek Prenagen pagi dan sore. Makan sayur mayur, buah, dan lauk sebisa mungkin ikan. Aku sendiri lagi berpikir bagaimana mengatur interior rumah sebersih dan seindah mungkin. Pekan depan, aku menyewa seorang tukang untuk mengecet langit-langit kamar. Maklum atap yang bocor membuat hujan menetes dan meninggalkan bercak hitam di langit-langit. Aku dan ibu peri juga sedang merenung-renung tentang nama yang baik buat peri kecil. Itulah beberapa persiapan yang kami lakukan. Semua itu kami jalani dalam iringan doa yang tak terucapkan bibir, tapi tertulis tajam di hati kami berdua demi keselamatan dan kebaikan peri kecil. Kami berharap peri kecil bisa lahir dengan sehat dan normal. Semoga semesta juga membuka jalan-jalan berkah bagi kelancaran persalinan dan hidup kami sebagai keluarga muda.

Itulah Natal menanti kelahiran peri kecil. Anakku, mungkin tidak ada bintang berkelip di langit mengiringi kelahiranmu lantaran hujan sedang girang membasahi tanah. Tapi, bintang itu berkelip terang di hati ayah dan ibumu. Mungkin tidak ada cemara berhiaskan lampu, bola kristal, dan patung malaikat. Tapi, biarlah suplir-suplir yang menggantung di dekat jendela kamar menari digoyang angin bersama pohon mangga milik tetangga yang pucuknya menjuntai sampai di halaman rumah kita. Mungkin tidak ada lagu Silent Night, Ave Maria, menguar di bilik kecil rumah kita. Tapi, biarlah senandung parau dari mulut ayah ibumu menguar bersama iringan gerimis yang meloncat-loncat di atas genting maupun aspal depan rumah kita. Aku juga minta doamu anakku agar Tuhan memberikan energi yang berlipat-lipat di jari-jari ayahmu ini untuk terus menulis, menari-nari di atas keyboard untuk melahirkan kata-kata ajaib, dan mewujudkan kado istimewa bagimu, yakni buku-buku.

Natal sudah di ujung jalan.

read more...