Monday, July 14, 2008

Ekologi di Mata Kartunis

SEBUAH siang yang meranggas. Dua sosok manusia, lelaki dan perempuan, tengah telanjang bulat di tengah hutan. Kegerahan. Kedua tangan mereka berupaya menutupi kemaluan masing-masing. Di benak mereka, muncul gambar daun yang bisa digunakan untuk menutupi kelaminnya. Sayang sangat disayang, mereka tidak menemukan selembar daun pun lantaran seluruh pohon sudah ditebang. Hutan benar-benar gundul. Tak tersisa!

Itulah yang diceritakan Muhammad Nasir dalam kartunnya berjudul “Tak Tersisa”. Kartun Nasir ini mengingatkan kita pada kisah manusia pertama di Taman Eden, Adam dan Hawa. Usai mereka jatuh ke dalam dosa, mereka menyadari diri mereka telanjang. Karena malu, keduanya membuat cawat dari daun. Gambar Nasir adalah satir atas Taman Eden, taman yang konon katanya sangat rindang, subur, berlimpah susu dan madu. Tapi, di tangan Nasir, taman itu telah kerontang. Selembar daun pun tidak disisakan. Semua ludes.

Meski terbuka pada multitafsir, kartun Nasir berbicara satu topik, yakni ekologi. Kartu Nasir itu menjadi salah satu kartun yang dipamerkan dalam pameran kartun berjudul “Eko-komunikasi” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), 11-17 Juli 2008. Di samping karya Nasir, puluhan kartun yang dipamerkan itu adalah buah tangan kartunis kondang GM Sudarta, Hanung Kuncoro, Jitet Koestana, Didie SW, dan Tommy Thomdean.

Pameran kartun ini merupakan salah satu kampanye mencintai linkungan hidup yang sudah jamak dilakukan di berbagai belahan dunia. Dengan nada humor, pesan moral bisa disampaikan dengan ringan dan mengena. Kartun bisa mengandung kritikan pedas meski dibalut dengan kejenakaan. Itulah yang disampaikan kurator Efix Mulyadi dalam handbook pameran tersebut.

Bagi Efix Mulyadi, tugas para kartunis tidak jauh berbeda dengan tugas suratkabar, yakni mempersoalkan, mengingatkan, menyentil, memprotes, sekaligus melakukan kritik. “Sepanjang masih ada penggundulan hutan, perusakan terumbu karang, pencemaran sumber air, pemusnahan hewan langka, dan sebagainya, para pekartun tetap mendapatkan energi untuk berkarya,” katanya.

Sementara itu, tema “Ekomunikasi” merupakan paduan dari kata “ekologi” atau “ekosistem” dengan “komunikasi.” Seluruh kartun merupakan refleksi dan keprihatinan para kartunis atas kondisi lingkungan hidup yang kian parah ini. Ini merupakan wujud kejelian kartunis dalam membaca fenomena sosial yang kadang lepas dari pandangan khalayak.

Mari kita tengok karya GM Sudarta berjudul “Tawa Terakhir.” Gambar ini mengingatkan kita pada kisah penyelamatan manusia dari banjir bah oleh Nabi Nuh dengan kapal raksasanya. Di sana, tampil sebuah kapal besar di atas bongkahan es berisikan aneka macam satwa. Di samping bawah kapal, tampak dua lelaki dan satu perempuan tertawa terbahak. Seolah tidak peduli dengan bahaya yang sedang mengancam. Di depan mereka, berdiri seekor beruang kutub dengan tongkat di tangan dan memandang manusia itu tanpa ekspresi. GM Sudarta mengambarkan si beruang dengan lebih arif ketimbang manusia yang nota bena adalah aktor utama perusakan lingkungan. Gambar “Iniah Bumiku?” menjadi gambar lain pencipta ikon Om Pasikom di Harian Kompas dan kini tinggal di Jepang itu. Gambar ini memotret seorang anak kulit hitam dengan badan kurus. Perut buncit berbentuk bola dunia. Tangan kiri memegang semangkuk penuh butiran peluru. Tangan kanannya siap memasukkan sebuah granat ke lubang mulutnya.

Jitet Koestana tampil dengan karya seperti “Revolusi Hijau”, “Rewriting History”, “Semburan Kematian,” dan sebagainya. Revolusi Hijau berkisah tentang ledakan bom atom raksasa di mana cendawan raksasanya berisi jutaan pohon. Dalam gambar ini, Jitet seolah ingin memadukan dua kekuatan yang saling berlawanan, yakni pepohonan sebagai simbol kehidupan dengan bom atom sebagai simbol kematian. Ironisme dalam sebuah kartun. Gambar ini berhasil memenangi medali emas dalam festival kartun Internasional di Seoul pada tahun 1997. Sementara itu, Rewriting History mengambarkan sesosok tentara yang berdiri di sebuah bongkahan kayu, kedua tangan memegang gergaji mesin, dan helm tentara yang ditumbuhi dengan sebuah bunga mekar. Gambar ini menyabet medali emas Cordoba International Cartoon di Argentina pada tahun 2000. Asal tahu saja, lelaki kelahiran Semarang tahun 1967 ini pernah dianugerahi MURI sebagai kartunis peraih penghargaan internasional terbanyak (49 buah). Terakhir ia menyabet Grand Prize dalam 8th Tehran Cartoon International Biennial 2007 dan First Prize dalam 9th Caratiga International Comedy Exibition 2007 di Brazil.

Muhammad Nasir memukau dengan kartun-kartun bertema hutan. Selain gambar “Tak Tersisa”, kartunis kelahiran Kendal tahun 1968 ini tampil dengan kartun “Paru-paru Sakit.” Di sini, Nasir menggambar sebuah pulau berbentuk paru-paru manusia dengan batangan pohon-pohon yang habis di tebang dan dikelilingi lautan biru. Tampaknya, Nasir mau mengangkat kasus ilegal logging yang membuat hutan sebagai paru-paru dunia menjadi sakit. Ada lagi “Hutan Mebel” yang melukis seekor gorila yang kebingungan mencari pohon untuk bergelantungan. Pohon-pohon sudah ditebang dan dijadikan mebel. Gambar lain adalah “Gunung Pencaharianku.” Di sini, keluarga miskin berhasil menaiki gunung sambil membentangkan bendera merah putih. Gunung itu tak lain adalah tumpukan limbah industri, plastik, produk-produk pabrik, dan sebagainya. Ilustrator Tabloid Bola ini pernah mendapat penghargaan Honorable Mention dalam festival kartun The Yomiuri Shimbun (1992), Selection Comites Special Prize festival kartun Manga di Jepang (1995).

Gambar Penguin yang mencopot kulit luarnya karena kegerahan menjadi satu kartun karya Didie SW berjudul “Climate Exchange.” Di situ, tiga ekor penguin sedang kegerahan dengan keringat mengucur dari seluruh permukaan tubuhnya. Si penguin pun mengatasinya dengan mencopot kulit tebalnya. Gambar ini bagi Didie merupakan gambaran perubahan iklim. Bumi kian panas. Es di kutub semakin habis. Cuaca semakin semerawut. Global warming itulah yang dipotret dalam gambar kartunis kelahiran tahun 1970 itu. Efek global warming itu juga muncul dalm kartunnya berjudul “Sisa Kehidupan.” Di sini, seekor induk beruang kutub sedang memandang lemah anaknya di sebongkah salju kecil. Sebongkah salju yang hanya bisa ditempati mereka berdua. Si anak beruang memanggil “mamaaa” seolah ingin minta perlindungan. Sementara es di sekitarnya sudah mencair. Karya Didie lainnya, antara lain “Nyanyian Bumi,” “Carrying a Pace”, “Klimax”, “New Evolution”, “Water Crisis,” dan sebagainya. Didie pun menggondol berbagai penghargaan bergensi, seperti The Best Cartoon of Nippon (1997), 3th Place Surgun Karikaturlery (Turki, 2007), dan 1st Place Tehran Cartoon Biennial 2008.

Tommy Thomdean tampil dengan “The Sinking”. Di sini, terhampar hutan hijau seperti lautan. Di atasnya, sebuah benda mirip kapal dengan cerobong-cerobong industrinya nyaris tenggelam. Tommy seakan mengajak orang mawas diri pada kondisi hutan. Pemangkasan hutan sembarangan tak lain adalah agenda bunuh diri massal. Gambar ini menyabet First Prize Amazon Forest Brazil Cartoon Contest 2007. Tommy juga mengambarkan duka lara akibat lumpur Lapindo dengan gambar yang ia beri judul “Air Mata Sidoarjo.” Di sini, tampak seorang warga yang menangis keras dengan mulut menganganga dan lumpur keluar dari kedua bola matanya. Ada lagi “Menanti” yang menggambarkan sebuah pohon yang meranggas di hutan gundul dan menantikan curahan air dari awan yang berbentuk keran air. Gambar “Well Done!” menggambarkan seorang lelaki berbusana bos pemilik modal dengan mata mendelik, mulut terbuka, gigi runcing, dan lidah menjulur sedang memainkan boneka penebang. Di samping kanan dan kirinya berdiri sambil tertawa seorang berseragam militer dan polisi. Gambar ini seakan menjadi sebuah analisis sosial dari Tommy bahwa kehancuran ekologi disebabkan oleh keserakahan para pemilik modal yang berselingkuh dengan aparat yang sering diasosiasikan dengan bahasa kekerasan. Tommy meraih penghargaan dari3 th Prize Pen Syria Cartoon Festival (2007), 1st Prize Gag Cartoon di World Press Cartoon di Portugal (2007), dan 1st Prize Amazon Forest Brazil Cartoon Contest di Brasil (2007).

Hanung Kuncoro hadir dengan kartun-kartun simpelnya. Ambil contoh “Pembalak Liar.” Gambar ini menunjukkan seorang pembalak liar tertawa puas usai menebangi seluruh pohon. Dengan pongah dan membela diri, ia mengatkan, “Saya jamin! Kebakaran hutan yang sering terjadi di kawasan ini tidak bakal terjadi lagi!!!” Sebuah karikatural yang lucu, satir, dan menohok. Ada lagi karya “Bike to Work” sebagai gambaran kemacetan yang melanda ibukota dan memaksa seorang terpaksa bersepda ke kantor. Itu pun harus memanggul sepedanya lantaran kemacetan total. Asal tahu saja, Hanung Kuncoro adalah pencipta tokoh Si Gundul sebagai maskot bola dalam sepabolaria di Tabloid Bola.

Itulah potret problematika lingkungan hidup di mata para kartunis. Kartun-kartun itu bukan sekadar tontonan yang membuat kita mengelus dada. Lebih dari itu, para kartunis justru ingin mengundang pengunjung pameran untuk tetap optimis. Persis seperti yang dikatakan Efix Mulyadi, seberapa pun tajam pena dan kuas sang kartunis, tetaplah ada celah untuk tersenyum. Ini menjadi sangat penting karena justru ini yang mendorong terbitnya optimisme. Di tengah rusak dan carut marutnya lingkungan, masih ada harapan akan esok yang lebih baik!

Ajakan untuk hidup lebih baik lagi. The other world is possible!


[Tulisan ini pernah dimuat di Koki KOMPAS, 15 Juli 2008
Sumber: http://community.kompas.com/read/artikel/677]

read more...