Sekadar tanya. Sekadar sapa. Mampirlah di http://katakataku.com read more...
Thursday, November 01, 2012
Wednesday, July 15, 2009
PINDAH ALAMAT BLOG (http://katakataku.com)
Sahabat-sahabat blogger dan netter, Musafir Mudah mulai saat ini pindah ke alamat baru di http://katakataku.com. Blog ini tidak akan dimusahkan. Sewaktu-waktu akan di-update kembali.Itu saja. Selamat bertemu kembali di KATA-KATAKU: BLOGGING FOR HUMANITY. Gracias!
read more...
Monday, October 06, 2008
Tamu Istimewa
Tamu istimewa datang berkunjung ke rumahku beberapa hari sebelum Lebaran tiba. Datang sendirian. Tanpa pasukan. Pagi hari saat ibu peri membuka pintu kamar depan dan mematikan bola lampu. Tubuhnya mungil. Lebih tepat lagi kurus. Rambutnya awut-awutan. Tatapannya nanar. Langkahnya limbung seperti pengemis dekil digempur lapar. Mulutnya meracau dalam bahasa yang tidak kukenali.
Rasa kasihan perlahan muncul seperti peluh yang menggembung di pori-pori saat gerah tiba. Mungkinkah dia seorang pengemis yang mengiba-iba. Ataukah dia seorang sahabat yang selama ini kulupakan dan mengetuk-ketuk pintu rumahku agar aku membukanya dan memberinya sepotong roti dan bukan seekor ular atau kalajengking. Mungkin dia adalah Maryam, Ibu Jesus, yang menyaru. Lalu bertandang ke rumahku seperti yang ia lakukan dua ribu tahun silam dengan mengunjungi rumah saudaranya, Elizabeth. Ah, jelas bukan! Mungkin seorang Maryam yang sedang bunting Anak Tuhan dan sedang berjalan dari pintu ke pintu untuk sebuah tumpangan karena jabang bayinya akan segera lahir. Ah, bisa jadi.
Bisa jadi dia seorang musafir yang tersesat. Mendadak dia lupa arah mata angin. Tidak tahu mana utara, mana selatan. Mana barat, mana timur. Atau juga dia Sidharta Gautama yang sedang menguji hatiku untuk sebuah pertolongan. Mungkin juga dia seorang malaikat yang karena melanggar perjanjian dikutuk dan diempaskan ke bumi ini untuk merasakan pahitnya cawan kehidupan. Bisa juga dia salah satu dari leluhurku yang harus menjalani reinkarnasi untuk menebus dosa-dosamasa lalunya dengan laku samsara.
Ah, semua itu bisa jadi. Tapi, di depan mataku, dia hanya seekor anak kucing yang kehilangan induknya dan merana. Badannya ciut. Kerempeng. Matanya belekan. Tulangnya menyembul berlomba dengan daging yang kian kisut. Tatapannya mendorongku untuk melakukan apa yang disebut Levinas dengan tanggung jawab etis. Dua biji bakpia kuserahkan padanya. Maaf tidak ada ikan asin di meja makan atau onggokan daging di kulkas. Tapi, kucing itu memakannya dengan lahap. Usai kenyang, kucing itu pergi dan tidak kembali lagi. Mungkin mengembara ke suatu tempat yang tak pernah kumengerti. Mungkin juga sudah menjelma lagi menjadi Sidharta Gautama.
Ah, ada-ada saja! Bagaimana kalau esok dia datang lagi dalam rupa manusia?
read more...
Pada Sebuah Halaman
Pernah melihat burung-burung dara jejingkrakan bergerombol di sebuah pelataran memperebutkan remah-remah makanan dari para pelancong? Aku pernah melihatnya! Mungkin kamu juga. Tapi, di televisi. Itu pun di sebuah daerah di benua dingin, Eropa. Potret itu juga pernah aku lihat di kalender dinding. Juga di halaman perjalanan sebuah majalah. Aku tertarik pada pemandangan itu. Sepertinya burung-burung itu punya rasa aman yang tinggi. Tidak terusik oleh mahkluk berjalan tegak dan berasio itu. Manusia pun tidak mengusik gerombolan mahkluk bangsa aves itu. Sebuah persahabatan yang indah!
Aku melihat pelataran itu berenergi magis. Menyerap siapa saja untuk datang ke situ. Para pelancong dari berbagai arah mata angin. Duduk santai. Bermandi matahari musim panas. Baca buku. Berciuman. Tiduran sambil menanti senja. Menikmati siluet di gedung-gedung tambun berusia ratusan tahun. Mengayun-ayunkan kaki telanjang di sebuah kolam. Berceloteh. Menari. Main biola. Mencuci muka dengan air yang mengalir dari lubang penis sebuah patung bocah bersayap. Bersepedia ria. Meliuk-liukkan tubuh dalam sepotong akrobat. Dan sebagainya. Dan sebagainya. Nah, begitulah aku menganalogkan halaman depan rumah kami.
Tepatnya halaman di depan garasi rumah kami. Selama hampir hampir tujuh tahun mendiami rumah bernomer 23 di sepotong gang Haji Solihun itu, aku memperhatikan ada suatu yang aneh di halaman depan rumah kami. Sebenarnya, bukan halaman. Tapi, jalan yang menghubungan sebuah ruas gang dengan sebuah pasar tradisional. Jalanan yang tiap pagi dilewati oleh istri-istri pengangguran dan barisan pembantu rumah tangga. Meski begitu, itu halamanku. Jalan sekaligus halaman. Maklum, susah mencari rumah berhalaman di ibukota. Kecuali kalau itu disulap oleh para kontraktor menjadi hunian mewah yang semakin menggeser rumah-rumah warga kecil. Tiap pagi dan sore kami menyapu dan menyiraminya dengan air. Biar adem dan teduh, kata kakak perempuanku suatu hari. Apalagi, kalau garasi bersih, rezeki akan datang mengalir sendiri ke rumah itu.
Halaman itu seperti zona ajaib. Punya kekuatan magnet. Menyerap siapa saja. Bagai Segitiga Bermuda yang menyedot kapal-kapal di lautan Atlantik ke palung misterius. Mereka doyan berhenti persis di depan garasi. Minimal satu kali dalam sehari. Paling sering para pengendara sepeda motor yang berhenti hanya untuk menerima sepotong telepon, mengirim pesan pendek, atau mengontak seseorang yang ku tak pernah tahu di mana ia berada. Ada lagi tukang asinan keliling yang senang duduk-duduk di depan sambil istirahat dan menghalau panas matahari yang membakar udara siang. Ada tukang siomay yang menggelar dagangannya tiap sore.
Tempat itu juga sering jadi tempat kencan. R-e-n-d-e-s-v-o-u-s. Tak jarang kudengar celotehan dua orang, entah dua-duanya laki-laki, entah yang satu laki dan satunya perempuan, dari bilik kamarku. Sementara kedua sepeda motor mereka di parkir miring tepat di depan garasi. Sampai kini, aku tak tahu apa isi celotehan mereka. Mungkin tentang bisnis. Proyek baru. Rumah kontrakan. Kebon anggrek. Jual tanah. Bisnis Adenium. Ah, tak tauhlah!
Aku kadang bertanya. Apa yang menarik dari sepotong halaman beraspal yang kanan kirinya ditumbuhi rumput liar itu? Pernah ada dua orang ibu-ibu dari pasar terdengar ngomel-omel. Mulut mereka meracau tak keruan. Suara gaduh pun menguar melalui lorong garasi dan masuk ke kamar lalu membuat siang jadi tambah gerah. Ada lagi para pengendara sepeda motor yang suka memutar arah persis di depan. Seolah-olah halaman itu seperti putaran lap balapan Formula 1.
Lebih lucu lagi ketika halaman itu tiba-tiba ditanami tiang-tiang penyangga terpal. Meminjam istilah Desi Ratnasari “Tenda Biru.” Hah, halaman depan rumah dijadikan pelaminan bagi tetangga yang mau nikah. Padahal rumah tetangga ada 500 meter di belakang rumahku. Tapi, kenapa aku si tuan rumah tidak diberitahu atau sekadar izin pinjam halaman. Ini sedikit menyembulkan sedikit prejudice pada saudara Betawi. Tenda ini pun memaksa aku memindahkan si kecil pindah sementara ke rumah kakak. Maklum pesta itu akan dihujani oleh petasan. Yak, daripada gara-gara petasan si kecil jadi tidak mau minum susu atau mendadak amnesia pada bapak dan ibunya. Berabe dah!
Ada juga yang kurang ajar memarkir mobilnya persis merapat di depan pintu garasi. Otomatis pintu garasi tidak bisa dibuka. Padahal seberang masih ada space khusus buat parkir. Alhasil, aku pun marah-marah pada sopir bodoh nan malang itu. Lebih kurang ajar lagi ketika masa Lebaran tiba. Dipastikan, tempat itu akan menjadi ajang menyulut petasan. “Blaar!” lalu kumbang-kumbang tak kasat mata pun berterbangan di liang telinga.
Istriku justru mengajakku bersyukur. Ternyata, halaman depan rumah menjadi tempat nyaman bagi banyak orang. Katanya lagi, coba kalau hati kita seperti halaman depan rumah itu, pastilah banyak orang akan menyediakan diri untuk mampir dan mengecap sejumput kedamaian dari sepetak halaman hati kita. Tapi, hati kita lebih sering dipagari beton tinggi. Tertutup bagi orang lain. Angker. Beku. Kesepian.
He, he, he. Iya sih!
read more...
Friday, September 19, 2008
Tarian Cinta Untukmu
Tetaplah tidur. Mimpilah sesukamu. Malam di luar masih berjaga bersama bintang. Matahari pun masih tertidur lelap. Menunggu celoteh televisi menyampaikan renungan pagi. Mengabarinya sebuah hari baru. Tetaplah tidur. Mimpilah sesukamu.
Biarkan aku menjagamu bersama jam dinding di atas meja rias ibumu. Berharaplah bahwa pagi esok datang membawakan seribu matahari. Malam ini, bersama mesin ketik ini, kupersembahkan padamu sebuah tarian cinta. Tidak sekadar salsa. Bukan pula tango. Tapi, tarian cinta yang belum pernah ada di dunia ini. Tetaplah tidur. Mimpilah sesukamu.
Biarkanlah jari-jariku ini menari-nari. Berputar-putar. Meloncat-loncat. Menghentak-hentak. Menguarkan irama pengantar tidur. Berderap. Melesat dari satu abjad ke abjad yang lain. Merangkai seribu satu cerita tentang hidup kita. Tetaplah tidur. Mimpilah sesukamu.
Tentang mendung yang menggantung siang hari tadi tanpa menjatuhkan hujan. Tentang derasnya bunyi sahur dari mikrofon masjid yang menghujani pagi dan membuatmu terjaga sejenak untuk sepotong tangisan lantaran tenggorokanmu kerontang minta diisi susu. Tentang jam dinding di kamar mandi yang melaju lebih cepat lima menit. Tentang Adip, bayi montok seusiamu yang senang kau lempar senyum lesung pipitmu. Tentang engkong tua tetangga kita yang doyan mabuk dan menyetel keras-keras lagu mandarin setiap pagi menjelang.Tentang tukang koran yang datang tiap sabtu minggu dan berteriak lantang dari balik jeruji garasi rumah kita. Tentang Siti, pembantu rumah kita yang menggoreng cumi sampai gosong dan merusakkan topi biru kesayanganmu dengan larutan pemutih. Tentang Pak Ndut, si penjual mie ayam kesukaan ibumu, yang doyan membakar batok kelapa di depan rumah kita dan sebagian asapnya bertamu ke rumah kita tanpa diundang. Tentang nyamuk-nyamuk yang bersarang di kebon anggrek milik pak haji persis di samping rumah kita. Tentang petasan luncur yang meledak tepat di atas atap rumah kita pada malam larut. Tentang sabun curah milik ibumu yang mulai digemari ibu-ibu. Tentang boneka katak yang menggantung dan menari di jendela kamarmu. Tentang malam. Tentang siang. Tentang pagi. Tentang apa saja. Tentang kita. Tetaplah tidur. Mimpilah sesukamu.
Janganlah biarkan kekawatiran menganggu tidurmu. Janganlah takut karena aku akan terus menari untukmu. Jemari ini akan terus meloncat-loncat. Jejingkrakan. Berputar-putar. Berderap. Merangkai seribu satu cerita. Inilah tarian cinta. Tarian kehidupan. Tarian pengharapan. Tarian iman bahwa pagi nanti akan terbit seribu matahari.
Janganlah biarkan kekawatiran mengganggu tidurmu. Meski kamu harus tidur di malam-malam yang gerah karena angin tidak bertiup membawa dingin di kamarmu. Tapi, percayalah, aku akan terus menari. Pekan depan, kamarmu tidak lama lagi akan terasa sejuk seperti pucuk-pucuk Alpen yang dibalut salju putih. Di sana, kamu boleh tidur sesukamu. Biarkan tubuhmu menjadi montok seperti bayi malaikat. Tetaplah tidur. Mimpilah sesukamu.
Janganlah takut meski dunia tidak seideal yang kita mimpikan. Tapi, jangan pernah berhenti bermimpi. Meski kota ini semakin pengap. Panas. Padat. Meski kantong ini semakin tipis dan asat. Meski harga-harga barang kebutuhan semakin melesat. Kamu tidak usah takut.Langit akan terus memberi makan burung-burung di udara. Bumi setia mendandani bunga bakung di ladang. Berdoalah agar tarian ini tidak pernah berhenti. Meski badan lunglai dan jiwa terhimpit lelah. Kita terus menari agar langit terus menghujani rumah kita dengan rezeki. Tetaplah tidur. Mimpilah sesukamu.
read more...
Monday, September 08, 2008
Malaikat-malaikat Berdebu
“I believe in angels
Something good in everything I see
I believe in angels
When I know the time is right for me”
[WestLife]
Tentu kata ‘malaikat’ sudah familiar bagi kuping kita. Konon, dari dongeng, malaikat digambarkan seperti manusia yang mempunyai sayap. Wajahnya rupawan. Bajunya putih beludru. Sayap-sayapnya putih. Halus. Wajahnya penuh aura kesucian. Menyala seperti aurora Borealis di Kutub Utara. Terbang di awan-awan. Tangannya memegang tongkat atau terompet atau sekuntum bunga lili putih atau tulip merah. Siap membantu bagi yang meminta pertolongan padanya.
Tulisan ini menceritakan perjumpaanku dengan para malaikat. Tapi, bukan malaikat bersayap, berjubah putih kemilau, dan berparas rupawan. Wajahnya dekil, berdebu, dan jauh dari cantik atau tampan. Orang tidak pernah tahu kalau mereka di bola mataku adalah malaikat. Mirip-mirip malaikat di filmnya Brad Siberling berjudul City of Angel (1998). Film yang dibintangi Nicolas Cage dan Meg Ryan ini menampilkan sosok para malaikat yang berbusana seperti manusia biasa. Tapi, malaikat yang aku jumpai ini tidak seganteng Nicolas Cage yang memerankan Seth. Aku senang menamainya dengan ‘malaikat berdebu.’ Tulisan ini cukup panjang, sepanjang perjalanan kami menjumpai para malaikat itu. Semoga pembaca menikmati!
Kisah ini terjadi sembilan tahun silam. Berawal di sebuah bibir dermaga di Pantai Kartini, Jawa Tengah. Siang itu cukup gerah. Angin pantai menerpa dan menggulung ombak. Aku dan seorang temanku berdiri tegap menantang angin. Lalu perlahan saling menjauh dan memunggungi seperti dua koboi yang bersiap adu tembak. Terdengar bunyi “sreet” mengiringi resluiting yang kubuka. Lalu, ‘pistol’ masing-masing dikeluarkan dari sarungnya. Dan “Serrrr!” bunyi ‘tembakan’ air amoniak berwarna putih kekuningan ke permukaan air pantai yang sudah membuih. Kami mengencingi pantai!
Itulah prolog pengembaraan kami berdua. Dari bibir pantai kami langsung melanjutkan perjalanan hari pertama. Matahari tegak lurus di atas ubun-ubun. Panas mulai menggerayangi kaki-kaki saat menghantam aspal. Pengembaraan panjang ini kami lakukan saat berada di tahun pertama di sebuah asrama yang dikelilingi hamparan sawah dan di bawah bayang-bayang gunung Ungaran, Jawa Tengah. Kami melakukan berdua-dua. Setiap pasang mempunyai jalurnya sendiri. Kami tidak bawa bekal apa-apa selain buku tulis, puplen, rosario, kitab suci kecil, jeriken air minum, caping, tas, dua stel pakaian, peta, jas hujan, dan sandal jepit. Kami tidak boleh nebeng angkot. Semua harus jalan kaki sampai tujuan. Makan hanya dari sedekah orang. Tidak boleh terima uang. Tidak boleh membocorkan identitas. Itulah sepotong ilustrasi soal pengembaraan kami siang itu.
Jalur kami cukup panjang, kurang lebih 314 kilometer. Dari pantai Utara Jawa sampai Pantai Selatan, tepatnya di Goa Maria Tritis. Kalau jarak ini direntangkan, sebenarnya kami sudah melampaui lebar Pulau Jawa. Pengembaraan ini harus ditempuh paling lama 10 hari.
Hari pertama tidaklah mudah. Kami masih takut-takut bila ingin mengemis makanan dari orang. Dag dig dug bila dikira macam-macam. Takut juga bila tidak mendapat makan sementara perut terus ‘ngomel’ minta diisi. Takut juga bila nanti ada garong, penculik, penembak misterius, setan gunung, atau orang-orang jahat. Takut bila mendadak sakit dan tidak ada sepeser koin pun di saku celana. Ketakutannya pun beragam. Tapi, tahap demi tahap seiring dengan langkah kaki, aku pun mampu membunuh ketakutan itu.
Mencari makan dan penginapan di hari pertama tidak gampang. Kami sering ditolak dengan alasan kami masih muda dan harusnya kami bekerja dan tidak mengemis. Tapi, ada seorang ibu penjual warung yang memberi kami makan. Kami pun tidur di sebuah surau kecil. Dingin tapi damai.
Preman Terminal
Pengalaman unik terjadi saat kami tiba di Sulang. Siang itu mendung. Langit pun sempoyongan membobong air laut yang dibawa angin. Tumpahlah ke bawah. Kami bernaung di bawah pohon waru. Badan mulai menggigil. Mendadak seorang perempuan tua memanggil kami. Menyilakan kami masuk ke rumah bambunya. Di sana, seorang lelaki berjambang lebat, bertubuh kekar, berkulit sawo pekat, menyambut kami. Ngeri juga rasanya berhadapan dengan sosok ‘genderuwo’ itu. Lelaki itu memperkenalkan diri dengan nama Gondrong. Tapi, rasa ngeri ini menguap saat kami terlibat obrolan. Entah kenapa orang itu menaruh hormat pada kami. Kami dikira sebagai santri.
Wih, langsung kami dijamu dengan makanan istimewa. Ayam goreng. Telur puyuh rebus. Dua botol sprite. Nasi liwet panas. Tempe goreng. Dua gelas arak. Perutku pun melonjak girang. Ini melebihi dari yang kami minta. Lalu, lelaki lebih muda muncul dan menyalami kami dengan ramah. Namanya Mamik. Obrolan tambah seru saat Gondrong dan Mamik mengaku diri sebagai preman terminal Sulang. Kakak beradik jadi pentholan preman. Hati mendadak menciut saat mengetahuinya. Melebar lagi saat mereka berpesan, “Tenang mas. Kalau Anda dapat masalah di Sulang, bilang saja saudara Gondrong dan Mamik. Anda tidak bakal diganggu lagi!” Kami pun undur diri dengan tenang. Perut kenyang plus dapat jaminan keamanan gratis!
Cerita unik lain terjadi di hutan jati. Usai menghabiskan satu hari satu malam melintasi Blora, tibalah kami di hutan jati Randublatung. Saat itu, matahari sudah mulai menua. Sinarnya pun mulai redup. Siluet di mana-mana. Malam di ujung jalan. Di depan mata, berjejer ribuan pohon jangkung dengan batang mengelupas, cabang-cabang kering, dan daun-daun mulai menguning disengat panas. Kami sepakat meneruskan perjalanan.
Tapi, ada sesuatu yang membelokkan langkah kami ke sebuah gubuk kecil. Gubuk itu tak lain adalah sebuah posko perhutani. Seorang polisi hutan duduk di depan gubuk sambil memelintir rokok. Usai perkenalan singkat, sang polisi pun mendesak kami bermalam di gubuk. Hutan jati terlalu panjang untuk disusuri. Katanya, kami masih harus menempuh 25 kilometer dari hutan seluas 32 ribu hektare itu. Akhirnya, kami putuskan menginap. Malam pun menyergap. Bohlam 5 watt menerangi ruangan tempat kami ngobrol. Polisi tua itu memberi kami nasi bungkus dengan lauk tempe goreng, sambel, dan kerupuk. Lumayan buat menghalau dingin udara hutan. Di pagi buta kami terbangun oleh kesibukan si polisi mempersiapkan tugas. Kami diberitahu tentang sebuah mata air cilik yang letaknya menjorok ke dalam hutan. Dengan diterangi senter kecil milik si polisi, kami berjalan menyusur jalan setapak. Di bibir telaga mini itulah tangan kami menggayung air dan menyiramkannya ke muka-muka kumal kami. Usai cahaya bola langit menelusup di rerimbunan jati-jati, kami pamit dan meneruskan perjalanan. Polisi itu membekali kami dengan beberapa potong lepet.
Di sekitar Blora, kami juga pernah mampir di sebuah dusun beraroma ganjil. Jalan masuk ke jantung desa sungguh terjal. Lantaran lolongan perut, kami nekat masuk ke dusun aneh itu. Di perkampungan, banyak pasang mata mengawasi kami. Tatapan mereka aneh. Aku mencium bau mistis. Kami menghampiri sebuah rumah. Kami minta makanan untuk makan siang. Seorang ibu ditemani seorang anak kecil memberi kami sepiring kacang rebus dan dua gelas air putih. Ia bilang sayurnya belum matang. Tapi, mendadak aku terkejut. Astaga! Tangan si ibu itu tanpa jari. Sontak hatiku menciut. Apalagi jari-jari kaki anak kecil di sampingnya juga raib. Sepertinya ada virus misterius atau hewan buas yang memereteli jari-jari mereka. Lalu tatapanku menyapu seluruh arah mata angin. Lihat, seluruh orang di sini cacat! Tubuhnya tidak lengkap. Namun, si ibu itu menyilakan kami dengan ramah. Kami pun memakan kacang rebus itu dengan lahap. Kami pun mengucapkan terimakasih lalu sayonara. Orang-orang di dusun itu juga menyapa kami dengan ramah. Aura ganjil itu pun tanggal. Di ujung jalan, kami melihat sebuah papan bertuliskan “Wireskat: Wisma Rehabilitasi Sosial Katolik.” Di bawahnya, ada keterangan bahwa dusun itu dikhususkan bagi rehabilitasi mantan para penderita kusta. “Tuhan sendiri yang membelokkan kaki kita ke dusun itu. Kita memang harus berjumpa dengan orang-orang terbuang itu,” kata temenku sok religius.
Celana Dalamku Hilang
Memasuki wilayah Purwodadi dan Sragen kami sering ditolak. Rumah-rumah besar lebih senang mengunci pintunya rapat-rapat. Wajah kami pun sudah menghitam dan dekil. Di Solo, kami berdua dimarah-marahi oleh tentara. Namun, yang membuat kami terharu adalah saat minta makan pada rumah-rumah kecil. Banyak yang meminta maaf dengan nada tulus karena tidak ada makanan hari itu untuk dibagikan. Di daerah ini, hujan pernah mengamuk. Tapi perjalanan harus dilanjutkan. Dengan jas hujan dan caping kami pun melanjutkan perjalanan. Menembus tirai air. Temanku berjalan di depan. Persis seperti hantu sawah!
Peristiwa kocak terjadi di Wonogiri. Tepatnya di pelataran sebuah gereja Katolik. Hari itu sudah malam. Hujan baru saja menghajar kota mungil itu. Menyisakan gerimis yang tak kunjung habis. Usai mendapat pengganjal perut, kami pun mencari tempat tidur. Emperan gereja jadi tujuan. Sesampainya di sana, kami melepas tas, membuka caping, dan meluruhkan penat ke lantai. Kami pun meninabobokkan diri sendiri. Tapi, sebelum tirai mata tertutup rapat, sekumpulan anak muda mendatangi kami. Aku tahu mereka anak muda gereja. Mereka menginterogasi kami. Tapi, kami tidak boleh membuka identitas kami. Tampaknya mereka sangat curiga dengan penampilan kami. Mereka menanyakan isi jeriken air minum kami. Mereka mengira bensin. Aku maklum karena waktu itu isu pembakaran gereja lagi marak. Lantaran masih curiga, mereka pun memutuskan ronda malam. Mereka menjaga kami. Kami pun terkekeh lirih.
Kami pun tertidur karena lelah. Gerimis belum juga bosan. Tempias membuat tubuh tanpa selimut ini menggigil berat. Dingin pun menusuk ulu. Tapi, lumayan! Kami tidur dengan dijaga oleh sekawanan anak muda, para ‘pasukan berani mati’ dan sang penjaga gereja itu. Sampai akhirnya, bunyi “tak-tak-tak-tak” mendekat. Pagi buta. Suara misterius itu semakin mendekat. Bulu kuduk sontak berdiri. Mengira itu suara hantu dini hari. Kami bangun. Bayangan hitam muncul. Seperti siluet nenek jahat berbadan bungkuk pembawa tongkat maut. “Tak-tak-tak-tak!” Aku merinding. Bayangan itu semakin mendekat pintu gereja. Dan, ow, rupanya seorang nenek tua keriput berjalan pelan dengan tongkatnya menuju pintu gereja. Lalu satu per satu orang muncul dari tikungan dan tenggelam di dalam pintu gereja. Aha, aku baru ingat. Ini jam misa pagi. Lalu kami bergegas cari kran air dan bergegas masuk. Kami pun ikut ibadat pagi. Di dalam, kami celingukan. Kebanyakan orang-orang yang sujud di depan altar itu berwajah uzur dan renta. Aku pun bertanya di mana anak-anak muda sang penjaga gereja tadi malam? Tak satu pun ada di sana! Mungkin capek karena ronda malam.
Sepi membekap erat saat kami memasuki kawasan Pegunungan Seribu. Pegunungan kapur ini membentang dari Pacitan sampai Kebumen. Jalanan lengang. Hanya kami berdua. Kanan kiri menyembul ribuan gundukan bukit. Di atas, mega-mega putih berarak seperti sekumpulan domba sedang merumput di padang biru terbentang. Angin sesekali melesat cepat menghalau panas yang menghunjam ke tanah. Sebuah wahana yang menakjubkan! Sayang, tak ada kamera untuk mengabadikannya. Di bawah bayangan, dua gundukan bukit ada sebuah sungai mengalir lirih. Pelan. Seperti napas tersengal dari dada orang yang sedang sakratul maut. Sebentar lagi kerontang menghajar. Di sungai kecil itu, kami pun mencuci pakaian kami. Termasuk celana dalam. Maklum kami hanya bawa dua stel. Usai mencuci tanpa sabun, kami pun menjemur pakaian kami di atas caping kami. Kami harap matahari akan memanggangnya sampai gosong. Sambil menjemur, kami pun melanjutkan perjalanan. Selepas kawasan pegunungan Seribu, kami pun istirahat. Tapi, aku terkejut bukan main. Celana dalamku hilang! Pasti jatuh di perjalanan. Mau menyisir ulang jelas tidak mungkin. Yah, akhirnya aku hanya mengandalkan satu celana dalam di perjalanan selanjutnya. Bayangkan sendiri!
Lain lagi di Pracimantoro. Di sini, kami berniat minta penginapan di rumah pengurus RW. Tapi, demi keamanan, kami pun dibawa ke kantor koramil terdekat. Di sana, interogasi pun dimulai. Seorang tentara dengan pakaian hijau loreng-loreng mencecar kami dengan puluhan pertanyaan. Kumis tebalnya naik turun seperti sikat kamar mandi menggosok-gosok lubang kakus. Untungnya, kami bisa menyembunyikan identitas kami. Meski hati terlanjur keder. Aku mendadak seperti berada di bangku peradilan militer. Puas dengan serangan pertanyaan, lelaki berotot dengan pistol di pinggang itu mengizinkan kami tidur di kamar posko militer itu.
Angin berhembus melewati lobang jendela koramil membawa hangat. Si bola raksasa mulai merangkak di langit timur. Televisi di pos koramil itu masih berceloteh dengan siaran berita pagi. Kami pun bergegas dan minta pamit pada tentara berkumis seperti sikat kamar mandi itu. Lega rasanya meninggalkan rumah warna hijau itu. Plong! Seperti baru saja bebas dari rumah tahanan.
Pukul dua siang, kami tiba di Wonosari. Matahari marah. Panas membakar udara jalanan. Perut pun minta diisi. Kami melihat sebuah rumah bambu dengan atap mengepulkan asap putih. Pikir kami pasti si empunya rumah sedang masak. Artinya, ada makanan di sana. Kami mengetuk pintu. Seorang ibu setengah baya menyambut. Kami sampaikan maksud kami. Kami lapar dan kami mohon dikasih secuil makanan. Ibu menatap kami. Dalam bola matanya terbersit rasa kasihan mendalam. Tapi, ibu itu minta maaf karena tidak ada makanan siang itu. Yang ada hanya air minum. Itu pun baru dimasak. Kami paham dan melanjutkan langkah.
Saat kami meninggalkan rumah perempuan itu sejauh 500-an meter, mendadak terdengar orang berteriak dari belakang. Ternyata perempuan tadi mengejar kami dengan sepeda mininya. Ia berteriak-teriak sambil menangis. Ia meminta maaf karena benar-benar tidak mempunyai makan siang untuk disuguhkan. Kami heran lalu hanyut dalam haru. Bola-bola kristal cair tanpa henti menyembul di kedua sudut mata perempuan itu. Sebagai pengganti rasa salah, ia membawakan tiga bungkus indomie dan uang lima ribuan kepada kami. Kami pun terima indomie itu. Tapi tidak dengan uang itu. Kami komit untuk tidak menerima uang. Kami mengucapkan terimakasih. Perempuan itu pun pergi sambil terus sesenggukan. Di mataku, terasa ada gelimang air yang mau tumpah. T-e-r-h-a-r-u!
Sore menjelang. Sinar matahari semakin kusut. Bukit tempat Gua Maria Tritis pun sudah di depan mata. Batu-batu karang berlumut berdiri dengan pongah. Menantang untuk segera dirangkaki. Tanpa lama sampailah kami di gua alam di wilayah Giring, Paliyan, Gunung Kidul itu. Kami pun segera merebahkan diri di mulut gua yang mengangga. Seperti berada di mulut raksasa gunung. Lega rasanya. Sukacita besar membuncah dalam hati. Tak peduli kelelahan membekap selama sembilan hari. Akhirnya, kami persembahkan seluruh pengembaraan itu di Lourdes Indonesia itu. Termasuk sandal jepit yang putus talinya di hari terakhir.
Sepertinya seluruh ketakutan hidup di awal pengembaraan ini tidak terbukti sama sekali. Langit telah mengirimkan malaikat-malaikatnya untuk memberi kami makan. Meski mereka malaikat-malaikat berdebu. Malaikat berwajah garang dengan bau acin terminal. Malaikat-malaikat tanpa jari lantaran lepra menggerogoti. Malaikat berumah bambu. Malaikat-malaikat kecil yang kadang hina di mata kita. Malaikat miskin yang memberi pertolongan dari kekurangan mereka. Malaikat yang jarang kita lihat dengan mata telanjang kita. Padahal ia ada di sekitar kita.
Yes, I believe in angels!
NB: tulisan ini pernah diterbitkan juga di Koki KOMPAS rubrik Koki Life
read more...