PENAKU masih basah, Roy. Hanya saja, tintanya lumer di lembaran-lembaran lain. Tahu tidak, belakangan ini aku terserang insomnia. Susah sekali mengatupkan kedua kelopak mataku untuk sepotong mimpi. Dulu, kala insomnia datang berkunjung, secangkir nutrisari panas rasa jeruk nipis selalu menemani malam panjangku. Sekarang, hanya teh panas minus gula dalam iringan suara hujan menghantam genting rumah, dengkur berat ibu peri, dan detak teratur jam dinding di atas meja rias.
Pekan lalu, aku harus nongkrong di bangku kubikel kantor sampai tengah malam lantaran deadline. Lebih tepatnya, deadline dua edisi majalah sekaligus, edisi khusus dan edisi reguler. Ya, beginilah nasib buruh di pabrik kata-kata. Tugasnya tak lain adalah menjentikkan jari-jari di tuts keyboard sampai lupa malam sudah hampir pudar dan jari-jari ini sudah cukup sempoyongan. Tariannya pun sudah tidak selincah hari-hari sebelumnya. Istirahat memang perlu.
Usai deadline, ide-ide menulis terus berloncatan di malam hari. Ibu peri pun mengerti diri. Malahan selalu menanyakan kenapa aku tidak segera membuka laptop seusai mandi, mematut diri, dan makan malam. Sesekali perempuan berperut melembung lantaran akan melahirkan peri kecil itu menyuguhkan segelas jeruk hangat hasil perasannya sendiri, melarutkan sebutir vitamin c dalam segelas air bening atau menggorengkan tiga lembar mendoan panas.
Jujur saja, Roy. Menulis di malam hari mempunyai sisi ekstase tersendiri. Tidak sekadar mencoreti lembar putih layar monitor. Tapi, seperti tercebur dalam palung tanpa dasar. Di sana, harapan, masa depan, kesepian, kehangatan, keprihatinan, kepedulian, kegelisahan, keragu-raguan, terang, gelap, sedih, dan rupa-rupa perasaan lain larut jadi satu adonan. Tuhan pun melarut bersama malam-malam penuh harap itu. Dengkur ibu peri yang kelelahan membawa peri kecil yang semakin besar di perutnya justru membuat tarian jari-jari ini semakin lincah. Apalagi peri kecil yang doyan pamer sepak kaki di perut ibunya. Saat itu, sepertinya aku sedang menulis masa depan. Masa depan kami. Aku tidak tahu kapan jari-jari ini berhenti menari. Aku hanya berharap Tuhan masih memberi energi belimpah agar jari-jari ini tidak lelah menari, tidak cepat tua, keriput, lalu mati. Semoga jari-jariku masih bisa mengalirkan kata-kata ajaib.
Terimakasih Roy atas komentarmu pada dua tulisanku yang lahir di malam insomnia dua hari lalu. Semoga, saat dirimu mondar-mandir di halaman putih ini, dirimu menemukan kebaruan. Andaipun tidak , aku harap kamu mengerti, karena ujung penaku tidak pernah basah. Hanya saja tintanya lumer di lembaran-lembaran lain. Selamat menulis juga, Roy!