Tuesday, September 26, 2006

Perempuan Pemberontak

Judul : My Forbidden Face
Pengarang : Latifa
Penerbit : Fresh Book, 2006
Halaman : 232

TIDAK ada yang bisa dibiarkan dalam sebuah penindasan. Ketika kekuasaan dan ideologi menindas dan suara-suara perempuan dibungkam, Latifa, gadis 16 tahun asal Afganistan, memilih jalan pemberontakan. Bukan dengan laras senapan, tetapi dengan kata. Persis seperti yang diamini oleh Subcommandante Marcos, pejuang Zaptista Mexico, bahwa kata adalah senjata.

Seperti halnya Anne Frank yang menggambarkan kekejian Nazi Jerman dalam buku diarinya, Latifa mencoba melukiskan mimpi-mimpi buruk kaum perempuan di bawah Rezim Taliban. Cerita dimulai pada 27 September 1996, hari di mana bendera putih Taliban berkibar di atas Kabul.

Lima tahun selanjutnya merupakan masa gelap bagi perempuan Afganistan. Taliban melarang dan membatasi gerak kaum hawa itu. Perempuan dibatasi untuk bekerja, tidak boleh sekolah, tidak bebas berkenalan di ruang-ruang publik, dan dilarang keluar rumah tanpa ditemani kerabat laki-lakinya.

Taliban mengekang kebebasan media. Latifa dan keluarganya sering mencuri dengar siaran berita dari BBC dan VOA. Taliban memasang aturan keras: tidak ada binatang piaraan, tidak ada musik, tidak ada televisi, tidak ada foto, nol senjata, tidak ada buku-buku berbau Barat, tidak ada pendidikan bagi perempuan, dan kelas-kelas agama hanya untuk anak laki-laki.

Catatan Latifa ini sangat revolusioner. Sebuah pemberontakan lewat kata. “Aku berharap ini akan menjadi kunci bagi perempuan lain, yang mulutnya terkunci dan mengubur kesaksiannya dalam hati atau memori,” katanya.

Di awal bukunya, Latifa dengan tegas mempersembahkan catatan pemberontakkannya ini bagi para perempuan. “Aku mempersembahkan buku ini untuk semua gadis dan perempuan Afganistan, yang telah mempertahankan kedaulatannya hingga napas terakhir, untuk perempuan yang hak-haknya dicabut, dan untuk mereka yang hidup dalam ketidakjelasan meski berada di Abad-21, untuk mereka yang dieksekusi di depan umum tanpa pengadilan dan tanpa belas kasihan, di depan anak-anak mereka dan orang-orang yang mereka cintai,” seru Latifa.

Kekerasan demi kekerasan semakin menambah pilu wajah perempuan di sana. Para laki-laki telah diberi pisau, pistol, senapan, kalashnikov untuk dimainkan seperti mainan anak-anak. Ritme generasi telah dipermainkan seperti buah catur, para pejabat saling berebut kekuasaan, dan perang antarsuku kerap terjadi seperti turnamen olahraga nasional. Sementara, perempuan-perempuan dipaksa mengenakan burqa dan terpenjara.

Berhadapan dengan realitas itu, Latifa menggugat. Situasi memaksannya mengasingkan diri dan terpisah dengan kerabat dan tetangganya di Kabul. Sampai akhirnya, bendera-bendera Taliban sebagai lambang pudarnya hegemoni ideologi yang tidak adil. Latifa tetap memimpikan perdamaian dan demokrasi. “Aku berdoa semoga buku-buku menggantikan senjata, pendidikan akan memimpin kami untuk saling menghargai satu sama lain, semoga rumah-rumah sakit akan memenuhi misi mereka, sehingga kebudayaan kami bangkit kembali dari pilar-pilar berdebu dan museum-museum yang terbakar.”

Tapi, Latifa menyadari bahwa berdoa saja tidak akan cukup. “Suatu saat, segera setelah Taliban terakhir menggantungkan sorban hitamnya dan aku bisa menjadi perempuan merdeka di sebuah negeri yang merdeka, aku akan menjalani kehidupanku di sana, dan menjalankan kewajibanku sebagai warga negara, seorang perempuan dan aku berharap kelak menjadi seorang ibu,” katanya. Dan suatu hari, seorang perempuan Eropa mengutip nyanyian buat Latifa: “Perempuan adalah masa depan laki-laki.”

Buku ini layak dibaca bagi kaum perempuan dan siapa saja yang mau menimba inspirasi kritis terhadap segala bentuk penindasan hak-hak perempuan baik yang secara gamblang (fisik) maupun yang lembut dan tersembunyi (ideologi, kotbah, dogma, tradisi). Buku ini bisa menjadi amunisi untuk melakukan segala bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan jender di segala bidang, termasuk di panggung agama! read more...

Hukuman Mati

SEORANG perempuan Afrika kedapatan hamil di luar nikah. Artinya, ia berzina. Di negerinya, ini berarti si perempuan harus dirajam sampai mati.Hukuman pun dilaksanakan. Badan perempuan itu dikuburkan, tinggal kepalanya di atas tanah. Kepala ini lalu dilempari batu oleh penonton di sekitarnya. Meski perempuan itu berteriak-teriak kesakitan dan minta ampun, hukuman mati harus dijalankan. Batu-batu terus ditimpukkan, sampai suara tangis dan permintaan ampun tidak terdengar lagi. Kepala itu terkulai, berdarah, mati.

Itulah salah satu penggalan pembuka sebuah esai yang ditulis Arif Budiman di Harian Kompas tiga tahun silam. Gambaran di atas adalah gambaran pelaksanaan hukuman mati yang kejam. Itu pulalah yang menjadi pembuka tulisan ini tentang fenomena yang masih panas, yakni eksekusi mati pada yang dianggap tersangka kerusuhan Poso, yakni Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Pro kontra mewarnai kasus ini. Masih juga berderet tersangka kejahatan lain yang menunggu eksekusi mati. Lalu, ada apa dengan hukuman mati?

Hukuman mati sudah lahir dalam budaya-budaya kuno. Budaya Ibrani mengenal praktik ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi.’ Artinya, kematian harus dibalas dengan kematian. Di Yunani kuno, hukuman mati menimpa Socrates. Bapa filsafat itu dipaksa minum racun maut karena didakwa meracuni orang muda untuk berpikir kritis dan melawan pemerintah. Bentuk hukuman mati berkembang seturut zaman. Sekarang dikenal dengan kursi listrik, suntikan mematikan, tembak mati, dan sebagainya.

Di Indonesia, ada praktik hukuman mati yang fenomenal. Rentang waktu 1945-1978, Kusni Kasdut dan Oesin bin Oemar telah dieksekusi mati. Pada 1987, Liong Wie Tong dan Tan Tian Tjoen dieksekusi mati setelah mendekam di bui selama 25 tahun. Pada 1995, Karta Cahyadi dieksekusi mati. Berlanjut dengan warga asing seperti Ayodya yang sudah terkapar akibat timah panas polisi. Terakhir menimpa Tibo Cs.

Lepas dari persoalan politik, hukuman mati adalah buah dari paham utilitatirianisme. Paham ini mensahkan tindakan apa pun bila tindakan itu memberi konsekuensi dan akibat yang lebih baik dan menguntungkan bagi lebih banyak orang. JF. Stephen dan J. Stuart Mill yang mengamini paham ini. Tapi, paham ini layak dikritisi. Fakta menunjukkan bahwa angka kejahatan tidak menurun dengan praktik hukuman ini.

Selain itu, ada alasan yang fundamental untuk menghapus praktik hukuman mati ini, yakni hormat yang tertinggi pada hidup dan hak orang untuk hidup. Kalau hukuman mati dilaksanakan dengan alasan menghormati hidup, justu ini sebuah contradictio in terminis, kontradiksi dalam konsep. Bagaimana kita menghormati hidup dengan cara-cara menghancurkan kehidupan itu? Tidak ada penghormatan pada hidup dengan jalan-jalan kematian. Hidup dan mati adalah hak prerogratif Si Pemberi Hidup. Selain itu, hukuman mati adalah bukti cara pandang sempit pada hakikat manusia itu sendiri. Manusia memunyai kemampuan reflektif, ia bisa belajar dari kesalahan dan memperbaiki kesalahannya.
Manusia senantiasa memunyai tujuan pada dirinya sendiri. Ia tidak bisa diperlakukan sebagai objek atau sarana. Semulia apa pun. Tidak ada ketertiban umum yang dicapai dengan cara-cara tidak tertib. Tidak ada keadilan yang bisa dicapai dengan cara-cara tidak adil. Demikian juga tidak ada kehidupan yang dibela dengan melenyapkan kehidupan itu sendiri.

Nah, sudah banyak negara yang sudah menghapuskan hukuman mati ini. Mereka adalah Belgia dan Portugal (18670, Belanda (1870), Argentina dan Swedia (1921), Australia (1922-1968), Meksiko (1928), Denmark (1930), Brasil (1946), Italia (1948), Jerman (1949), Austria (1950), Israel (1954), Selandia Baru (1961), Inggris (1965), Vatikan (1969), Canada (19760, dan Prancis (1981). Kapan Indonesia meraibkan hukuman mati?

Hidup dan mati adalah hal eksistensial manusia. Mungkin orang bisa berteriak kencang agar hukuman mati ditimpakan pada gembong penjahat, pengedar narkoba. Tapi, apa kata nurani orang-orang itu, bila yang akan dihukum mati itu adalah ayah, ibu, anak, saudara, atau kerabatnya sendiri? Kegelisahan yang muncul inilah kegelisahan eksistensial. Kegelisahaan yang menyangkut keberadaan manusia dalam ruang kehidupan ini. Ada yang sebenarnya tidak boleh diusik oleh tangan-tangan manusia, yakni kehidupan itu sendiri. Kalau kita mau memperjuangkan hidup, hormati dan peliharalah kehidupan. Bukan malah menghancurkannya! Kesucian hidup terletak pada hidup itu sendiri.

Persoalan-persoalan yang terjadi di dunia ini sebenarnya hanyalah turunan dari tidak dihormatinya kehidupan. Kekerasan, korupsi, perusakan lingkungan hidup, sampai perselingkuhan adalah turunan dari rasa tidak hormat manusia pada kehidupan. Dunia senantiasa dibayang-bayangi dengan kultur kematian. Budaya tandingan harus dimunculkan, yakni kultur kehidupan! read more...

Friday, September 22, 2006

Kue Kata Buat Tibo Cs

AKU lunglai dan tidak berdaya di depan komputerku. Kamarku tiba-tiba seakan disekap oleh kesunyian yang dalam. Senyap laksana kuburan. Aroma kematian menusuk hidung dan berkecamuk di dadaku. Sesekali kulihat jam yang terpaku di dinding. Waktu begitu cepat. Seolah lepas kendali dari jalur biasanya. Detak-detak bunyi jam itu seperti derap langkah pasukan iblis lengkap dengan panji-panji kematian. Semakin lama, derap langkap itu semakin cepat dan keras, menggetarkan langit-langit hatiku.

Aku gelisah memikirkanmu. Kegelisahan itu muncul sejak pengadilan memutuskan hukuman mati untukmu dan dua orang temanmu. Kamu dituduh sebagai biang kerusuhan di Poso. Tidak ada lagi kesempatan bagimu buat bicara. Maut akan segera menyambutmu. Mulutmu tidak akan bisa lagi mengatakan yang benar. Andaikata itu benar, orang tidak bakalan membuka telinganya. Hukum harus dijalankan dan timah panas akan mengantarmu pada kematian. Memang pedih. Kamu juga tidak bisa lagi membawakan oleh-oleh hasil kerja keras untuk istrimu, menggandengnya, atau memeluknya. Kamu juga tidak bisa lagi semeja makan dengan kedua anakmu dan mendongeng cerita-cerita lucu untuk cucumu, kemudian mereka tertidur, kamu mencium kedua dahinya dan mengucapkan selamat malam. Dan kamu tidak bisa lagi bercengkerama bersama kawan-kawanmu, ditemani ubi bakar dan hangatnya sisa sinar matahari yang roboh ke Barat.

Jujur, aku tidak mengenalmu dan kita belum pernah berkenalan satu sama lain. Tapi, sungguh, aku memikirkanmu malam ini. Sebenarnya, aku ingin sekali menulis surat buatmu malam ini. Tapi, bagaimana aku bisa mengirimkannya. Malam semakin memuncak. Di puncak malam itulah kamu akan meregang nyawa. Dan aku tidak bakalan menjumpaimu bahkan semua orang di bumi ini tidak bakalan menjumpaimu. Sosokmu bakal ditelan angin malam. Dan tidak ada seorang pun yang tahu kemana angin malam itu membawamu.

Sungguh aku memikirkanmu. Andaikata aku jadi penguasa siang dan malam, aku pasti akan menghentikan seluruh detak jam di muka bumi ini atau membuatnya berjalan lamban. Aku mau kamu bisa punya waktu untuk menyuarakan kebenaran. Yang aku pikirkan adalah bagaimana supaya kamu tetap hidup, tetap menghirup udara yang sama dengan udara yang aku hirup. Tapi, malam jahanam ini telah memperdayaiku. Aku lunglai. Aku hanya bisa menulis kata-kata di layar monitor laptopku. Dan yang aku tulis ini tidak bakalan kamu baca. Hanya aku, malam, dan debu kamarku yang tahu.

Suara radio memecah malam dan semakin menggetarkan pilar-pilar hatiku. Panggung pengharapanku berderit. Dikabarkan saat jam menunjuk pukul sebelas malam kurang 15 menit, mobil kijang warna hitam meluncur menembus malam. Membawamu menjauh dari LP Palu, tempat kamu dan dua orang sahabatmu merajut pengharapan. Kijang hitam itu bagaikan kereta maut yang membawamu ke tempat pembantaian. Kamu dibawa ke daerah sekitar Bandara Mutiara Palu. Tidak ada yang tahu persis di mana kamu akan dieksekusi.

Malam semakin memuncak. Bagaikan merambah puncak Bukit Tengkorak, tempat Gurumu ribuan tahun silam meregang nyawa. Melepas jiwa ke langit-langit. Melepas jiwa di depan orang-orang bodoh dan orang-orang takut, dan di depan orang-orang yang sangat dicintai-Nya. Dan sekarang, kamu sedang menaiki Bukit Kematian itu.

Aku jadi teringat sosok perempuan Afrika yang pernah aku tulis di pembukaan artikelku untuk menentang hukuman mati. Perempuan itu dihukum karena kedapatan hamil di luar nikah. Ia tidak beruntung seperti Maria saat mengandung orok Tuhan dan menyingkir ke Mesir. Perempuan itu dituduh berzina. Dan menurut hukum, ia harus mati dirajam. Hukuman pun dilaksanakan. Badan perempuan itu dikuburkan, tinggal kepalanya di atas tanah. Kepala itu lalu dilempari batu oleh penonton sekitarnya. Sorak-sorai dan riuh menyertai batu-batu yang menghujam ke kepala perempuan itu. Meski perempuan itu berteriak-teriak kesakitan dan minta ampun, hukuman mati harus dijalankan. Batu-batu terus ditimpukkan, sampai suara tangis dan permintaan ampun tidak terdengar lagi. Kepala itu terkulai, berdarah, dan mati.

Aku takut sekali, kematian perempuan itu juga akan menjadi kematianmu. Dan itu jelas, derap langkah pasukan iblis berpanji kematian semakin dekat. Aku seperti melihat malaikat maut sedang menatapku dari balik bayang-bayang malam. Matanya tajam dan memancarkan kilatan cahaya merah seperti api neraka. Ia mengibarkan senyum kemenangan dari bibirnya yang berasap dan berbau mayat. Sebuah senyum kelicikan. Senyum yang pernah aku lihat di bibir-bibir pejabat dan tokoh-tokoh politik di layar televisi. Senyum sebuah hati yang tamak akan kenikmatan dan menghalalkan darah-darah tak berdosa. Ingin sekali aku mencekik iblis jahanam itu dan melemparkannya di dasar neraka yang paling dalam. Tapi, lagi-lagi aku lunglai. Malam jahanam telah memperdayaiku.

Aku bertanya pada seluruh isi kamarku. Pada buku-buku, kasur, bantal, laptop, lampu, cicak, dan pada udara kamar yang gerah. Mengapa orang, negara, mengklaim diri mempunyai otoritas tertinggi untuk mencabut nyawa manusia? Bukankah nyawanya tidak bisa dikembalikan lagi? Siapa yang bisa mengembalikan nyawanya? Bukankah hidup manusia itu memunyai tujuan pada dirinya sendiri? Ia tidak bisa dijadikan sarana semulia apa pun. Tidak ada keadilan yang dicapai dengan cara-cara tidak adil. Tidak ada ketertiban umum yang dicapai dengan cara-cara tidak tertib. Demikian juga, tidak ada kehidupan yang dihormati dengan cara-cara melenyapkan kehidupan itu sendiri. Hidup manusia itu hak asasi yang paling asasi. Hidup itu sendiri suci dan bermakna. Sejahat-jahatnya orang, hidup di dalam dirinya tidak boleh diusik. Hanya Penguasa siang dan malam yang berhak mencabut hidupnya. Negara tidak bisa. Hukum manusia juga tidak bisa. Hidup manusia ada di atas hukum apa pun. Hukum di dunia ini diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. Sungguh Negeri ini tidak beradab ketika nyawa manusia dijadikan komoditas politik kotor.

Kau tahu! Lagi-lagi aku bertanya pada seluruh isi kamarku. Sebenarnya, seluruh persoalan di muka bumi ini terjadi gara-gara orang tidak lagi menghormati kehidupan itu sendiri. Entah itu kejahatan, politik kotor, korupsi, kekerasan, perusakan lingkungan, sampai perselingkuhan. Itu terjadi karena orang tidak lagi hormat dan sujud pada kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, mengapa kehidupan belum dihormati di Negeriku ini? Seluruh isi kamarku terdiam. Mereka bisu dan tidak ada yang menjawab. Cicak-cicak di langit-lagit pun memilih hengkang dan sembunyi di balik almari. Dan malaikat neraka itu mentertawakanku.

Sampai akhirnya dari kejauhan sana terdengar bunyi letusan. Aku tersadar dari jeratan kegelisahanku. Malam sudah ada di puncak. Pukul 00.15 WITA, timah panas keluar dari laras senapan dan merobek tubuhmu dan dua orang sahabatmu. Mengoyak jantungmu. Darahmu tertumpah di tanah yang berembun. Jeritanmu menggetarkan langit-langit surga tempat Sang Penguasa siang dan malam bertahkta dan merajai semesta raya. Tubuhmu roboh ke tanah membuyarkan debu-debu yang terbalut embun pagi. Debu yang mengingatkan manusia pada asalnya. Semua tertunduk. Malam pun jadi layu. Angin enggan bergerak dan pohon-pohon memilih mematung sejenak.

Aku juga terkulai. Jari-jariku tidak bisa lagi aku gerakkan. Aku bersujud. Aku berdoa. Aku terdiam. Apakah ini kekalahan hidup atas maut? Tidak bagiku. Maut tidak bakalan mengalahkan hidup. Kultur kematian harus ditandingi dengan kultur kehidupan. Aku pun terkulai lama sampai matahari fajar merekah di langit-langit Timur. Fajar yang membangkitkan pengharapan bahwa kehidupan bakalan menang atas kematian. Fajar yang membawa api pengharapan akan keadilan yang tidak bakalan padam oleh angin dan malam jahanam.

Fajar itu mengundangku untuk terus bergerak tiada lelah memperjuangkan langit dan bumi yang baru di Negeri ini, sebuah Negeri yang benar-benar sujud dan hormat pada kehidupan...

@ 2006, buat Tibo, Domingus, Marinus, dan keluarga yang ditinggalkannya.
[referensi waktu eksekusi: media yang pertama kali aku baca/dengar] read more...

Paus Bukan Superman

HARI Selasa di Universitas Regensburg, Jerman. Mungkin tak disangka oleh Paus Benediktus XVI, teks pidato ilmiahnya yang ia bacakan saat mengunjungi kampus di Bavaria menimbulkan polemik. Ada bagian dari teks kuliah yang berjudul “Iman, Akal Budi, dan Universitas” itu dinilai melecehkan agama Islam. Tentu saja, reaksi keras dan cepat ke seantero dunia ini tidak lepas dari peran besar media massa yang meliput pembacaan pidato pada 12 September itu.

Pada Minggu (17/8), di kastil musim panas Gandolofo, Italia, Paus menyampaikan permintaan maafnya atas salah paham pidatonya tentang Islam dan kekerasan. Reaksinya pun beragam. Untungnya, masih banyak saudara Muslim yang memahami dan menerima dengan tenang hati permintaan Paus yang bernama asli Ratzinger itu. Kekhilafan memang bisa menimpa siapa saja. Paus mengatakan kutipan dari teks Abad Pertengahan soal jihad tidak mencerminkan pendapat pribadinya. “Saya sangat menyesal atas reaksi di beberapa negara pada beberapa bagian dari pidato saya di Universitas Regensburg,” kata Paus.

Di Indonesia, seperti diberitakan Kantor Berita Antara, Kardinal Darmaatmadja SJ juga menyampaikan permintaan maaf secara resmi menyangkut pernyataan paus yang dinilai melukai umat Islam. "Pimpinan kami telah mengucap `statement` yang melukai, kami ikut minta maaf. Barang sudah terjadi, tak bisa ditarik kembali. Tapi itu disesalkan dengan harapan tidak terulang lagi," kata Kardinal.

Yang menarik dari peristiwa ini adalah sikap maaf itu sendiri. Sangat dihargai jika seorang pemimpin, bahkan pemimpin tertinggi agama sekaliber paus, mengakui kekhilafnya dan mengajukan permintaan maaf di depan dunia. Ini sebuah ungkapan kerendahan hati. Momentum ini juga menunjukkan bahwa petinggi agama pun tidak luput dari kesalahan. Lebih menarik lagi, masih banyak kalangan Muslim yang mau dengan rela hati menerima permintaan maaf Paus tadi. Harapan dunia untuk terus memelihara persaudaraan antarumat beragama tidak pernah padam dan tidak berharap jalinan yang sudah lama dibangun dengan susah payah ini rusak gara-gara perkataan Paus itu.

Dalam sejarah Gereja, ada suatu masa di mana Paus menyatakan dirinya sebagai pihak yang tidak salah dan sesat. Secara formal paus dinyatakan tidak sesat (infalibilitas) dalam Konsili Vatikan I (1869-1870). Dalam Konstitusi Dogmatis "Pastor Aeternus" Konsili tersebut menegaskan bahwa apabila Paus berbicara dengan menegaskan keseluruhan kekuasaan mengajarnya, maka dia berbicara tanpa kesesatan tentang iman dan moral. Karena itu pembicaraan seperti ini bersifat mengikat dan harus diikuti oleh semua orang Katolik. Kuasa ini diberikan karena Allah yang menjiwai seluruh Gereja dan yang menjamin bahwa Gereja secara keseluruhan tidak dapat sesat. Allah telah menjamin bahwa seluruh Gereja tidak akan bermuara dalam kesesatan atau kekeliruan. Sebab itu, instansi tertinggi di dalam Gereja diyakini sebagai instansi yang menjamin kebenaran dan keterarahan perjalanan seluruh Gereja (bdk. Dr. Paul Budi Kleden, SVD, Kuasa Mengajar Paus).

Pada tahun 1832, melalui ensiklik Mirari Vos, Paus Gregorius XVI mengutuk liberalisme dan kebebasan berpikir. Pada tahun 1864, dengan nada yang sama, Paus Pius IX dalam Sylabus Errorum-nya, mengecam cita-cita demokrasi modern, kebebasan berpikir, dan kebebasan beragama. Kebenaran diperlakukan tunggal dan seolah tidak ada kebenaran di tempat lain. Tidak lekang dari ingatan sejarah, Gereja juga pernah menghalalkan tindak kekerasan terhadap siapa saja yang dinilai bertentangan dengan ajaran. Dulu, penganiayaan menimpa ilmuwan Galileo Galilei yang berseberangan dengan ajaran Gereja seputar pusat alam semesta. Demikian juga yang menimpa Giordano Bruno yang harus merelakan dirinya dibakar hidup-hidup di alun-alun kota Roma. Di Abad Pertengahan, beberapa paus menganjurkan pemakaian senjata untuk Perang Salib. Di Abad modern, zaman Nazisme Hitler, dunia juga mengecam Paus Pius XII yang seolah mendiamkan pembasmian ras Yahudi.

Itulah beberapa deret fakta sejarah yang mengatakan bahwa paus pun bisa salah. Ajaran ketidaksesatan paus juga tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Meski begitu, baru pada zaman Paus Yohanes Paulus II secara gamblang Gereja minta maaf atas sikap dan perilaku Gereja yang tidak baik selama sejarah peradaban. Permintaan maaf dari petinggi Gereja Katolik atas kesalahan-kesalahan yang telah dibuat Gereja sungguh sangat kita hargai. Rekonsiliasi dunia terjadi jika pertama-tama ada pengakuan dan permintaan maaf dari pelaku.

Dunia terus melaju. Kesadaran manusia juga berkembang. Gereja senantiasa mempertobatkan diri. Babak baru dalam sejarah Gereja dimulai dengan Konsili Vatikan II (1962-1965). Gereja secara resmi membuka diri pada dunia dan mengakui dan menerima keberagaman yang ada di dunia ini. Melalui Nostra Aetate, Gereja mengakui keberadaan agama-agama non Kristen. Gereja tidak menolak kebenaran yang ada di dalam ajaran agama-agama itu. Mulai saat itu, diakui ada keselamatan di luar Gereja Katolik. Ajaran Nostra Aetate memunyai andil besar dalam dialog-dialog antarumat beragama. Meski pada kenyataannya, dialog-dialog sebenarnya sudah lama dilakukan jauh sebelum Vatikan II, tetapi secara ajaran, Nostra Aetate menjadi gerbang lebar bagi dialog dan persaudaraan antarumat beragama. Dialog ini juga menjadi sarana menyembuhkan dan rekonsiliasi pada luka-luka sejarah seperti di zaman Perang Salib.

Dalam Nostra Aetate, dikatakan Gereja menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa. Diakui Gereja bahwa iman Islam juga sebagai jalan menuju keselamatan.

Semangat dialog antarumat beragama inilah yang digencarkan oleh mendiang Paus Yohanes Paulus II. Tak heran, banyak tokoh-tokoh agama menghargai dan menghormati Paus ini.

Terus menerus membangun dialog dan persaudaraan sejati antarumat beragama jelas menjadi panggilan hidup sebagai orang Katolik pada zaman sekarang. Sebagai keluarga Indonesia, sebenarnya kita harus bersyukur telah memunyai Pancasila yang sangat menghargai keberagaman, kemanusiaan, sekaligus keadilan. Meski sempat tercoreng oleh Rezim Soeharto, Pancasila harus senantiasa kita jadikan dasar juga dalam hidup bersaudara di Indonesia ini.

Di komunitas, kita bisa mengembangkan semangat dialog ini di lingkungan-lingkungan sebagai wujud komunitas basis insani. Dialog bisa berupa ketemu, berbincang, maupun berkegiatan bersama. Ini menjadi panggilan kita semua. Semoga kasus Paus ini tidak menghentikan langkah kita untuk terus membangun persaudaraan universal. Toh, sebenarnya Paus bermaksud melanjutkan dialog-dialog yang sudah berjalan. Dan saatnya merayakan perbedaan! [berbagai sumber] read more...

Tuesday, September 12, 2006

Imagining Argentina

BERITA tentang orang hilang mencuat pada masa-masa kejayaan Rezim Orde Baru di Indonesia. Penghilangan paksa terjadi orang-orang yang dinilai kritis pada kebijakan Soeharto. Tidak hanya para aktivis LSM, tetapi juga mahasiswa, buruh, dan sastrawan. Mereka tiba-tiba hilang dan tidak ketahuan rimbanya sekarang. Bahkan, sekarang orang bisa jadi melupakannya. Inilah penyakit orang-orang kita, mudah lupa.

Nah, situasi yang mirip terjadi di Argentina pada 1976. Buenos Aires dihantui oleh hilangnya orang-orang yang dicap melawan pemerintahan resmi. Para aktivis tiba-tiba diculik. Ibu-ibu kehilangan anak dan suaminya. Anak kehilangan ibu dan bapaknya. Demikian peristiwa yang terjadi setiap hari. Sejarah mencatat ada sekitar 30.000 orang hilang pada masa rezim militer itu.

Mengambil seting Argentina pada 1970-an, Christopher Hampton mensinemakan fakta sejarah itu dalam film berjudul Imagining Argentina. Hampton memfokuskan narasinya dengan tokoh bernama Carlos Rueda (Antonio Banderas), seorang direktur komunitas teater anak, yang berupaya keras mencari istrinya yang hilang, Cecilia (Emma Thompson). Cecilia diculik lantaran tulisan-tulisan kritis dan kontroversial di koran lokal. Ia dituduh subversif.

Carlos dikisahkan sebagai seorang yang memunyai indra keenam. Ia bisa membayangkan apa saja yang sedang terjadi. Ia bisa membaca dan merasakan perguatan hati orang. Ia terus memburu jejak istrinya. Ia memasang foto-foto istrinya di jalan. Ia menanyai semua orang yang ia jumpai. Salah satu di antaranya adalah Jendral Guzman (Anton Lesser) yang dianggap paling bertanggungjawab pada penculikan itu. Tapi nol hasilnya. Cecilia masih raib. Tapi, Carlos senantiasa diberi harapan dengan hadirnya Teresa (Leticia Dolera), putri satu-satunya.

Carlos sadar bahwa kemampuan membayangkan dengan indera keenamnya bisa membantu mereka yang kehilangan sanak-saudara. Termasuk istrinya. Puluhan orang datang pada Carlos setiap hari. Mereka ingin tahu nasib dari kerabat yang hilang. Sampai akhirnya Carlos mencari jalan pencerahan untuk menemukan Cecilia.

Posisi Cecilia mulai terkuak. Namun, malang intelijen pemerintah berada di mana-mana. Carlos ketangkap dan kena pukul. Ia diintimidasi dengan penculikan pada putrinya. Lalu bagaimana dengan nasib Cecilia?

Menonton film ini bagaikan mendengar kisah tentang negeri sendiri. Ketika semua sudah dipasung dan dilarang, imaginasi adalah jalan keluar. Dialah satu-satunya yang tidak bisa dikekang. Di penjara pun, seorang bisa membayangkan kebebasannya.

Film yang menarik dan layak ditonton bagi orang-orang Indonesia. Pasalnya, banyak kemiripan dengan yang terjadi di negeri ini. Orang-orang hilang di negeri ini juga belum diketahui rimbanya. Rezim militer tutup mulut dan mencuci tangan. Orang-orang dilenakan untuk lupa. Nah, film ini mengajak kita untuk melawan penyakit besar negeri ini, yakni lupa. Film ini seolah mengajak kita untuk berperang melawan lupa. read more...

Demokrasi Para Bandit

Judul Buku : Demokrasi Tidak untuk Rakyat
Penulis : Eko Prasteyo
Penerbit : Resist Book, 2005
Tebal Buku : 144 Halaman
Harga : Rp 27.000

DEMOKRASI sudah menjadi kata sakti. Di mana-mana, orang meneriakkan kata demokrasi sebagai sebuah acuan akan tatanan dan pola organisasi yang baik. Semua pihak terpikat dengan cita-cita demokrasi di mana kedaulatan rakyat menjadi suatu yang ditinggikan. Namun, kenyataan berkata lain. Demokrasi yang diperjuangkan selama ini bergulir tiada hasil, di mana rakyat tetap menjadi pihak yang mengalami ketidakadilan. Janji-janji manis demokrasi yang diteriakan pada masa Pemilu hanya berlalu bersama angin kosong saja. Demokrasi tanpa keadilan hanyalah khayalan indah tanpa menilik kenyataan. Pertanyaannya, ada apa dengan demokrasi atau paling tidak ada apa dengan proses demokratisasi di Negeri ini?

Eko Prasteyo dalam buku ini memaparkan mengapa demokrasi yang diterapkan di Negeri ini telah menyimpang dari cita-citanya, yakni kedaulatan rakyat. Sebaliknya, kenyataan mengatakan bahwa rakyat justru semakin mengalami keterpurukan, tidak berdaya, dan semakin termarginalkan. Buku ini seolah hadir sebagai bentuk protes dan ungkapan rasa kecewa karena perubahan politik yang berada di bawah bendera demokrasi telah gagal dalam memenuhi janjinya.

Pertama, janji keberpihakan pada rakyat kian susah dicapai. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan justru semakin terpinggirkan dengan kebijakan pemotongan subsidi, kenaikan BBM, hingga penggusuran pada perumahan rakyat miskin, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Dalam pengambilan kebijakan itu, rakyat semakin tidak dilibatkan. Kedua, menyangkut pranata hukum yang kian buruk kinerjanya. Tidak ada kepastian dan ketegasan hukum. Banyak pejabat tinggi yang menjadi tersangka koruptor tetapi bisa lepas dari jerat pengadilan. Pelanggaran HAM yang melibatkan militer makin kian susah diusut. Ketiga, menyangkut kredibilitas pihak swasta yang tidak terlalu mengagumkan. Sebagian kebijakan publik yang diserahkan ke sektor swasta berubah menjadi penguasaan oleh pasar. Keempat, menyangkut beberapa aktivis pro demokrasi yang mengkomersialkan program demokrasi.

Akibatnya, bukan kepentingan rakyat yang mau dibela melainkan keuntungan pribadi atau pun kelompok. Paparan soal demokrasi dalam buku ini cukup runtut dan mudah diikuti.
Buku ini memaparkan pula kajian tentang bagaimana demokrasi diterapkan di Negeri ini. Demokrasi hanya dijadikan kedok dan senjata kampiun untuk membuai rakyat. Banyak pihak yang memanfaatkan demokrasi hanya untuk mengeruk keuntungannya sendiri. Eko Prasetyo dengan tegas menyebutnya dengan kawanan para bandit. Ambil contoh, Pemilu menjadi ajang kawanan politisi mengumbar janji-janji demokrasi dengan sibuk mengunjungi dan berdialog dengan rakyat. Tapi, setelah pemilu usai dan kekuasaan dipegang, kunjungan dan dialog itu juga terhenti.

Jatuhnya demokrasi pada tangan para bandit disebabkan karena partisipasi rakyat sekadar janji belaka. Olle Torquist, pengamat politik, seperti tertulis dalam buku ini (hlm. 44) mengatakan, “...jikalau demokrasi yang terjadi hanya secara formal dalam artian tidak diiringi oleh partisipasi yang sungguh-sungguh dari rakyat maka hasil yang mungkin terlihat merupakan ‘demokrasi kaum penjahat.

Di depan kekuasaan para bandit itu, peran oposisi sebagai salah satu elemen alternatif kekuasaan demokrasi digambarkan loyo dalam buku ini. Banyak kalangan aktivis yang meneriakkan perlawanan, kemudian terjatuh dalam pelukan pihak donor. Bahkan, yang lebih menyakitkan lagi deretan para aktivis yang dulu menjadi pelopor melawan rezim lama, kini malah duduk dan menumpang dalam partai politik yang dikecam. Tidak hanya aktivis LSM, tapi juga gerakan mahasiswa dan kaum intelektual. Dari liak-liuk perjalanan demokrasi ini, Eko Prasetyo dalam bab IV menyimpulkan bahwa rakyat bukannya dilayani demokrasi, tetapi hanya menjadi pelayan demokrasi. Rakyat hanya menjadi barisan kata yang menjadi berarti ketika ada pesta demokrasi. Rakyat disingkirkan dan dimarginalkan. Partai-partai politik yang menjamur hanyalah siap mengeruk keuntungan daripada melakukan perubahan yang berguna untuk rakyat.

Dalam bab terakhirnya, buku ini memaparkan langkah-langkah dan strategi konkrit bagaimana merebut demokrasi dari tangan para bandit. Inilah yang menjadi nilai tambah buku ini. Maksudnya, buku ini tidak hanya piawai dalam membedah dan menganalisis persoalan, melainkan juga memberi solusi atau langkah alternatif untuk mengatasi persoalan itu.

Ada sepuluh langkah dan strategi. Pertama, lewat jalur pendidikan. Pendidikan merupakan jalan utama untuk memperkuat kesadaran tentang bagaimana implementasi demokrasi kerakyatan itu dibentuk. Kedua, membentuk organ gerakan yang mempunyai visi dan metode yang sesuai dengan syarat-syarat sosial dan kultural. Ketiga, memberdayakan peran advokasi dan pembelaan untuk masuk sekaligus memperebutkan aspek legalitas. Keempat, memberdayakan media terutama dalam memperkuat pencitraan sekaligus pengungkapan informasi akurat tentang nasib rakyat. Kelima, pentingnya mengembangkan jaringan antar kelompok etnis maupun agama. Keenam, sudah saatnya mengembangkan tradisi yang berbasis pada produksi. Ketujuh, mengadakan gerakan pelayanan publik yang kini tidak dilakukan negara. Kedelapan, perlu dikembangkannya tradisi kaderisasi yang berbasis pada masa rakyat riil. Kesembilan, pendokumentasian dan pendataan semua kegiatan dan peristiwa yang terjadi. Kesepuluh, melakukan penggalangan massa untuk aksi turun ke jalan sebagai langkah terakhir.

Secara keseluruhan buku ini cukup mengusik dan menarik. Mengusik karena mempertanyakan kembali jargon-jargon demokrasi yang mengusung kedaulatan rakyat tetapi pada kenyataannya justru rakyat semakin ditinggalkan. Menarik karena buku ini secara tidak langsung memaparkan sebuah hasil analisis sosial dan pengamatan yang jeli pada sejarah demokratisasi di Indonesia. Oleh karena itu, buku ini layak dibaca oleh siapa saja, termasuk para aktivis pejuang demokrasi, pemerintah, maupun rakyat jelata. Paling tidak, dengan membaca buku ini, kita bisa tahu demokrasi seperti apa dan demokrasi untuk siapa? read more...