Sunday, November 25, 2007

Kebiasaan Baru: M-e-n-d-o-n-g-e-n-g

AKU punya kebiasaan baru, yakni mendongeng. Tepatnya, membacakan cerita buat peri kecilku yang masih dalam kandungan. Sudah empat kali ini dongeng dibacakan. Selang-seling dengan ibu peri. Mungkin ini kelihatan aneh. Tapi, seorang pakar anak pernah menasihati akan lebih baik jika anak sedari kandungan dilatih untuk berkomunikasi. Katanya, ini akan memengaruhi psikologi anak itu kelak. Bentuknya beragam. Salah tiganya, mengajaknya ngobrol, menyetelkan musik, atau mendongeng. Nah, ketiganya telah kami pilih.

Ibu peri membacakan dongeng pada siang hari. Saat bola raksasa melarut dalam gelap, sambil meluruhkan sisa kepenatan kerja ke lantai, giliranku mendongeng. Dongeng tentang Anak-anak Lilin menjadi dongeng pertama yang aku bacakan. Cerita ini diambil dari antologi dongeng Gadis yang Menikahi Seekor Singa karya Alexander McCall Smith. Antologi ini diterbitkan dan diterjemahkan oleh penerbit Bentang (2005).

Buku itu merupakan koleksi dongeng-dongeng tradisional dari dua negara Afrika, yakni Zimbabwe dan Botswana. Seperti cerita-cerita rakyat di manapun, buku tadi juga mengisahkan suatu kehidupan yang unik, ajaib, filmis, imajinatif, sekaligus penuh pesan nilai. Menarik memang. Aku sendiri menyukainya. Lebih-lebih ketika membacanya sambil mengeluarkan suara dan sesekali berakting dan berakhir dengan cekikikan sendiri. Senyum simpul pun sering menempel di paras ibu peri saat aku membacanya.

Bicara soal dongeng, aku jadi teringat masa kecilku. Dulu, aku senang didongengi oleh kakak perempuanku. Bahkan, teman kakakku juga sering membacakan cerita untukku jika sedang bertandang ke rumah. Namanya Rusmiyati. Dongeng serial Kancil dengan berbagai topik. Sebut saja kancil dan buaya, kancil dan seruling Nabi Sulaiman, kancil si pencuri ketimun, dan sebagainya. Dongeng begitu hidup dan mencekam. Apalagi temaram lampu teplok menerangi ruangan tempat kami bercengkerama. Maklum, desaku, di sudut Bantul, waktu itu belum kesetrum alias dialiri listrik. Tapi, bila gelap membekap dusun dan suhu dingin tergelincir dari bukit Sempu, terciptalah suasana romantis yang tidak bakal lekang dari ingatanku. Lebih-lebih ditambah dengan suara jengkerik yang beradu nada dengan suara burung hantu yang bertengger di pohon asem, kodok di kebun, dan ditingkahi suara kentongan dari dusun sebelah.

Kadang malam mendadak seperti dipenuhi dementor, hantu-hantu gentayangan di dunia Harry Potter, saat mbak Rus bercerita tentang mahkluk malam bernama kunang-kunang. Si kecil yang terbang sambil membawa lampu berkelip ini senang melintasi kebun depan rumah di sela-sela ranting tanaman ceplok piring dan bunga sepatu. Konon, katanya, kunang-kunang asalnya dari kuku orang mati. M-e-n-y-e-r-a-m-k-a-n. Betapa bulu kuduk mendadak berdiri seperti sapu lidi terbalik saat lilin terbang ini masuk rumah lewat jendela kamar. Tapi, liliput bercahaya ini sudah lama tidak aku lihat. Libur lebaran kemarin pun, aku tidak melihatnya. Di sawah dan di kebun mereka tidak nampak. Mungkin mereka sudah punah. Mungkin lampu yang dibawanya mati atau kehabisan bahan bakar. Mungkin migrasi ke negeri antah berantah. Mungkin sekarang ia hanya ada di dalam ceritaku ini. Toh bumi sudah semakin renta. Banyak yang dulu ada sekarang sudah tidak ada lagi.

Aku dan ibu peri sepakat mengenalkan buku pada peri kecil sejak sekarang. Kami percaya buku akan mengantar kehidupan yang lebih baik. Buku adalah jembatan mencapai mimpi-mimpi.

Borong Buku
Nah, Sabtu, 24 November 2007. Pagi hari, sekitar tiga jam setelah bola raksasa meloncat dari tepian bumi sebelah Timur, aku dan ibu peri bergegas ke Gramedia Book Fair di Gedung Gramedia, Jl. Panjang, Kebon Jeruk. Di lantai 8, digelar bursa buku murah. Diskon 20% untuk semua buku dan obral buku murah, Rp 5.000 dan Rp 10.000.

Tanpa lama, beberapa buku terjerembab dalam keranjang belanja kami. Dengan Rp 161.500, kami membeli 10 buku. Dari 9 buku itu, 3 buah buku buat peri kecil. Ketiganya antara lain Si Gadis Penakut (Enid Blyton), Si Pembuat Jam (Philip Pullman), dan Putri Si Pembuat Kembang Api (Philip Pullman).

Buku Enid Blyton hadir dalam 8 seri. Masing-masing seri berisi 7-8 cerita pendek. Asal tahu saja, buku Enid Blyton inilah yang menjadi buku bacaan masa kecilku selain serial Lima Sekawan maupun Trio Detektif karya Alfred Hitchcock. Serial itu aku dapatkan dari perpustakaan sekolah kakakku nomer dua, SMP Stella Duce, Suryadiningratan. Kini, buku itu sudah mengalami 10 kali cetak ulang.

Aku kira terjemahan buku Enid Blyton perlu di-upgrade lagi. Bahasanya sudah bagus. Tapi, ada hal yang perlu disesuaikan dengan perubahan zaman. Misalnya, dalam cerita Celengan Mia dalam antologi seri Si Gadis Penakut, masih disebut uang Rp 5 dan Rp 20. Nah, angka ini untuk konteks masa kecilku mungkin masih cocok. Tapi, untuk konteks anak sekarang, perlu diadaptasikan lagi.

Novel Philip Pullman sengaja aku pilih karena menurutku menarik. Novel Putri Si Pembuat Kembang Api (The Firework-Maker’s Daughter) memenangi Gold Medal Smarties Prize. Sedangkan Si Pembuat Jam (Clockwork) memenangi Silver Medal Smarties Prize. Buku yang kedua disebut itu dicetak dalam 107 halaman dan kubaca dalam waktu 45 menit. Ceritanya memikat. Mengalir. Kurekomendasikan pada ibu peri untuk segera membacanya. Ibu peri malah melayangkan sepotong pertanyaan, "Apa kamu tidak mencoba menulis cerita anak-anak? Aku kira kamu punya modal itu." Aku diam saja sambil menekuk garis lengkung bibirku ke atas.

Sebenarnya, aku tertarik membeli trilogi Philip Pullman dalam serial His Dark Materials. Ketiganya dalam edisi tebal, yakni The Golden Compass, The Subtle Knife, dan The Amber Spyglass. Tapi, aku sedikit menahan diri. Maklum sekarang aku harus pandai-pandai mengelola isi kantong. Mungkin bulan depan setelah gajian atau mendapat honor ghostwriter, baru aku beli ketiganya.

Sementara itu, ibu peri membeli 4 buku lainnya. Sebut saja Mereka Bilang Saya Monyet dan Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu, Absolute Victory karya Robert Pino, dan When God Winks karya Squire Rushnell. Aku sendiri menambah 3 buku lagi, yakni Dunia di Kepala Alice karya Ucu Agustine, Bulan Jingga dalam Kepala karya Fadjroel Rachman, dan Wawancara dengan J.K. Rowling dari Lindsey Fraser.

Dengan begitu, perpustakaan rumah mendapat anggota baru berupa buku-buku sastra. Aku ingat terus apa yang ditulis seorang karib, Nara Patrianila namanya. Ia pernah menuliskan di sebuah kartu ucapan yang diselipkan dalam kado buku untuk pernikahanku tahun lalu. Ia menulis: cinta bisa dipahami dengan puisi, sastra, dan menikah. Semoga kehadiran anggota baru di perpustakaan rumah ini membuat isi rumah semakin memahami arti cinta. Termasuk aku, ibu peri, peri kecil, cicak di balik lemari, tikus di gudang, kecoak di kolong mesin cuci, dan semuanya yang ada di sini. Cinta dalam arti seluas-luasnya. read more...

Thursday, November 22, 2007

Lelaki Itu Muncul di Kick Andy

TADI malam, aku menonton Kick Andy edisi Andy’s Diary, 22 November 2007. Tontonan setiap Kamis malam pukul 22.00 di Metro TV yang tidak layak ditinggalkan. Sambil membiarkan jari-jariku menari-nari di atas keyboard laptopku untuk sepotong tulisan. Maklum deadline sudah di ambang pintu. Cenut-cenut juga sudah mulai merambati batok kepalaku.

Dalam edisi tadi malam, Andy F Noya, si krebo pemandu acara mengajak pemirsa melihat kilas balik perjalanan Kick Andy. Program ini sangat menarik. Minimal bagiku. Seperti layaknya Oprah, Andy F Noya berhasil menciptakan talk show yang menarik. Dalam. Ringan. Mengalir. Penuh sentuhan human interest.

Kick Andy pun berhasil menghadirkan sosok-sosok luar biasa. Andai pun biasa, bisa digali secara luar biasa. Tepatnya, sesuatu yang biasa yang tidak pernah kita tangkap nilai luar biasanya. Di sana, ada Xanana Gusmao, Jendral Alfredo, Hercules, Andrea Hirata, Suster Apung, para jurnalis perang, dan sebagainya. Beberapa sesi mendapat protes dan kritikan. Apalagi menyangkut tokoh tertentu. Tapi, dengan kalem, Andy mengatakan, “Tontonlah Kick Andy dengan hati, dan bukan hanya dengan otak.” Aku setuju dengan Andy. Hati memunyai matanya sendiri untuk melihat yang tidak terlihat oleh mata kepala dan otak kita.

Tapi, ada satu tokoh yang dihadirkan di Kick Andy yang membuatku menempelkan perhatian lebih erat pada tabung ajaib itu. Tokoh itu adalah Iwan Firman, seorang lelaki keturunan Tionghoa korban Tragedi Mei 1998. Sayang sekali, aku tidak melihat siaran utuhnya pada 10 Mei 2007 dalam edisi “Tragedi itu masih misteri.” Tapi, nukilan singkat ini cukup memutar memoriku. Di studio Metro TV, hadir pula Abdillah. Tema yang diangkat di sana adalah persahabatan dua orang dari dua etnis berbeda.

Nah, rasa-rasanya, aku mengenal dekat orang-orang itu. Kisahnya begitu familiar. Persahabatan dua orang beda etnis. Iwan beretnis Tionghoa dan Abdillah beretnis Jawa. Aku pernah bertemu dengan dua orang ini dalam sepotong wawancara. Cerita di Kick Andy pun mengingatkanku dengan tulisan yang pernah aku tulis di blog ini. Judulnya Merajut Seribu Mimpi yang diposting 19 Februari 2006. Tulisan ini pernah juga diterbitkan di Warta Minggu, buletin milik Paroki Maria Bunda Karmel, Tomang, Jakarta Barat pada 1 Juni 2003.

Aku mewawancari Iwan di rumahnya, di Tanah Tinggi, kawasan Senen. Waktu itu siang hari, 14 Mei 2003, persis 5 tahun saat Iwan mengalami peristiwa naas yang membuatnya cacat, 14 Mei 1998. Aku juga menjumpai Abdillah, penjaga palang kereta api Pos Pintu no. 31, Kembang Pacar, Pasar Gaplok, Senen. Dari cerita dua orang ini, aku menangkap inti persahabatan. Abdillah adalah sosok penyelamat hidup Iwan yang nyaris diakhiri di bantalan rel kereta api itu. Di posko lelaki kelahiran Brebes inilah, aku menemukan foto Iwan ketika masih berfisik normal (lihat di blog). Keduanya sudah bersahabat selama 20 tahun. Sebenarnya, ada satu lagi sahabat Iwan. Namanya Andreas. Tukang siomay keliling inilah yang menjadi sahabat keseharian Iwan. Dialah yang menyediakan makan, menyuapi, bahkan menceboki Iwan.

Nukilan di Kick Andy itu membuatku seperti bereuni dengan tulisanku sendiri. Bereuni dengan tokoh-tokoh dalam tulisan itu. Aku terbawa pada sebuah pengenangan. Mendadak aku terkesiap ketika di akhir nukilan Kick Andy itu, seorang dari penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) bernama Ramayanti memberikan sedekah mewakili Margat T, seorang novelis kawakan.

Rasa-rasanya aku pernah kontak mengontak dengan Ramayanti. Ia juga pernah berkirim surat elektronik sambil membawa pesan dari Marga T sebelum acara Kick Andy itu digelar. Ia mengirim pesan itu ke kotak suratku yang aku pasang di blog ini. Ia menyampaikan kabar bahwa Margat T mencari alamat Iwan Firman untuk memberikan tanda kasih pada korban kerusuhan Mei. Berikut surat dari Ramayanti tertanggal 14 Maret 2007:

Dear Musafirmuda,
Salam kenal. Saya Yanti, editor Gramedia Pustaka Utama. Dengar-dengar Mas kerja di Gramedia Majalah? Masih saudara dong kita? Kami mau minta tolong nih, Mas. Marga T melalui GPU ingin memberikan tanda kasih kepada para korban kerusuhan Mei '98. Kata MT, Mas pernah menulis tentang Iwan Firman? Apakah Mas tahu alamat Iwan dan korban-korban lainnya seperti Andreas Abdillah, Pak Penjaga KA, dan keluarga Almarhum Haji Harun? Trims berat untuk perhatiannya.
Salam,
Yanti


Aku heran aku disangkanya karyawan Gramedia. Maklum, namaku nama pasaran. Lalu, dengan senang hati, aku membalasnya dengan surat tertanggal 17 Maret 2007. Senang juga berkenalan dengan Margat T, penulis serial novel Sekuntum Nozomi itu. Syukur-syukur bisa mencuri-curi ilmu menulisnya. Minimal berbagi energi untuk tetap setia menulis. Mbak Yanti membalas lagi via sepotong surat tertanggal 20 Maret 2007.

Halo Mas,
Trims untuk balasannya. Wah, salah info nih saya, tapi kita tetap saudara di dunia penerbitan, kan. Saya sudah menelepon Iwan dan sudah mendapatkan alamatnya, tapi keluarga Haji Harun sudah pindah dan Iwan gak tahu alamatnya. Saya belum tahu persis kapan tepatnya tanda kasih itu akan diberikan, rencananya sih sekitar pertengahan Mei, tapi kami masih harus mematangkannya dulu karena ada pihak lain yang terkait. Mbak Marga T kebetulan tidak tinggal di Jakarta, Mas, jadi kalau kontak langsung mungkin agak susah. Tapi kalau lewat e-mail sih MT selalu welcome. Alamatnya:
marga_xxx@yahoo.com
Sekali lagi, trims berat atas bantuannya.
Salam,
Yanti


Mungkin ini sebuah kebetulan. Kebetulan yang diagendakan semesta. Bagiku, ini seperti obat penawar lupa. Lupa adalah penyakit orang kita selama ini. Lupa sejarah. Lupa bahwa di sekitar kita ada korban. Korban yang diam dan didiamkan. Korban yang dilukai dengan cara-cara yang nyaris melampaui batasan rasa kemanusiaan kita untuk memahami penderitaan itu sendiri. Ekstrem. Nah, menulis adalah bagian dari sikap melawan lupa. Scripta manent, verba volant: yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan berlalu bersama angin.

Menulis bagiku memunyai misi sosial. Tulisan bisa menggugah solidaritas orang. Mengingatkan orang. Meneguhkan orang. Meski tak jarang, tulisan juga bisa membunuh orang. Aku merasa senang ketika tulisanku membuat orang termotivasi untuk membantu orang lain. Dengan demikian, tulisanku ini memunyai energi. Aku mengamini pesan Thomas Carlyle: tulisan yang lahir dari hati akan menyentuh hati-hati yang lain.

Tapi, jujur saja, aku pernah terpuruk oleh suatu pengalaman buruk. Tepatnya, mimpi buruk yang masih menggantung di batok kepalaku. Mimpi buruk itu tak lain aku pernah merasa terlibat dalam pembunuhan seseorang gara-gara aku emoh menulis. Mimpi buruk ini pernah aku tulis di blog ini. Judulnya Apakah Aku Turut Membunuhnya? (silakan klik).

Berikut petikan awal tulisanku tentang Iwan Firman itu:

“Pria berpostur gemuk dengan luka bakar di sekujur tubuhnya itu tampak gelisah. Sesekali, ia menatap kalender yang digantung di dinding ruangan berukuran 2X4 meter. Tanggal 14 Mei 2003. Matahari siang masih menghujamkan panasnya di Tanah Tinggi, Kawasan Senen. Patung panglima Tiongkok Kwang Kong dan seekor burung robin dalam sangkar seolah turut merasakan kegelisahan pria itu. Sejenak mereka hening. Iwan Firman, seorang korban Kerusuhan Mei 1998, takkan melupakan tanggal itu. Lima tahun lalu, pada tanggal yang sama, Iwan mengalami kekerasan yang membuat fisiknya cacat, tak senormal dulu. Siang itu juga, Iwan berbagi kisah tentang peristiwa horor Mei kelabu. Aku duduk mendengarkan. Membuat coret-coret di notes kecilku.” (Selengkapnya) read more...

Sunday, November 18, 2007

Menonton Butet

MIMPI ibu peri jadi kenyataan. Keinginan kuat menonton monolog Butet Kartaredjasa berlakon Sarimin itu pun kesampaian malam ini. Jumat malam, 16 November 2007. Bayangkan, keinginan nya sampai terbawa mimpi. Mau tidak mau, dengan senang hati, aku menurutinya. Apalagi di dalam rahimnya, ada peri kecil berusia 6 bulan berjenis kelamin laki-laki. Siapa tahu, itu keinginan si kecil mendengar banyolan seniman asal Bantul itu.

Ini adalah kedua kalinya aku bersama ibu peri menonton Butet manggung di tahun 2007. Pertama kita nonton Butet berperan sebagai Ilak Alipredi dalam pementasan Kunjungan Cinta persembahan Teater Koma, Januari 2007. Ibu peri memang doyan nonton teater. Begitu pula aku.

Sampai di Graha Bhakti Budaya TIM pukul 18.00. Masih 2 jam menunggu pentas aktor kelahiran Jogja, 21 November 1961 itu. Di depan loket, kantong dirogoh, uang Rp 100.000 didapat, dan ditukarkan dengan 2 tiket bernomer W16 dan W17. Sayang kepalang sayang. Kita salah pilih kursi. Ternyata kita dapat kursi di balkon. Jeda waktu kami isi dengan nonton film gratis dalam Le Mois du Film Documentaire, festival film pemenang festival yang digelar di Studio 1 TIM 21. Film La traversee (2006) jadi tontonan pemanasan. Karya Elisabeth Leuvrey dan berdurasi 55 menit ini berisi dialog-dialog unik rombongan orang yang menyeberangi lautan antara Prancis dan Aljazair setiap musim panas. Khususnya, antara kota Marseille dan kota Alger.

Sisa jeda waktu kami isi dengan menyambangi gerai buku di pojok TIM. Hasilnya, 2 novel dari trilogi YB. Mangunwijaya terbeli ibu peri seharga Rp 60.000, yakni Roro Mendut dan Lusi Lindri. Buku ke-2 dari trilogi itu masih dicari, berjudul Genduk Duku.

Pukul 20.05, Butet pun manggung diiringi musik dari Djaduk Ferianto. Butet tampil pertama kali sebagai narator. Ia berkisah tentang seorang miskin bernama Sarimin. Mendengar nama ini, orang langsung berasosiasi dengan tukang monyet keliling. Dan benarlah, Sarimin dalam cerita Butet adalah lelaki miskin berumur 54 tahun yang bekerja sebagai tukang monyet keliling.

Tanpa lama, Butet menanggalkan peran narator dan merasuk ke tokoh Sarimin. Suatu siang, Sarimin menemukan sebuah KTP di jalan. Karena buta huruf, ia tidak tahu siapa pemilik kartu identitas itu. Dengan polos, ia pun menyambangi kantor polisi terdekat. Sayang sekali, di kantor polisi yang bertuliskan “Kami siap melayani Anda” itu, Sarimin merana. Ia dibiarkan menunggu oleh polisi yang sok sibuk dengan pekerjaan lain yang lebih besar: m-e-n-g-e-t-i-k. Tik-tak tik-tok, tik-tak tik-tok. Demikian suara mesin ketik manual itu menenggelamkan tugas polisi untuk melayani wong cilik seperti Sarimin.

Sampai akhirnya seorang polisi menjumpainya dan mempersalahkannya. Sarimin didakwa telah mencuri KTP yang ternyata adalah KTP milik hakim agung. Sejak itu, nasibnya berubah seperti bola yang leluasa ditendang ke sana ke mari oleh aparat penegak hukum. Sarimin dipaksa mengaku. Tapi, keteguhan dan kejujurannya mengantarnya ke dalam penjara. Ia bisa dibebaskan asal ia menebus dengan uang. Tapi, uang sepeser pun tidak ada di kantongnya. Kemiskinan terlanjur getir. Butet pun mulai berakting dengan gaya humornya. Parodi dan satir jadi satu. Sesekali ia bermain sebagai polisi. Sesekali ia bermain sebagai seorang pengacara berdarah Batak dan bernama Binsar. Olah suaranya dibilang jago. Meski sesekali keseleo memainkan lidah orang Batak, ia mampu menutupinya dengan banyolan segar.

Kehadiran pengacara menambah hati Sarimin runyam. Ia hanya ingin numpang populer. Bahkan, pengacara bodoh itu melemparkan logika bodoh ke telinga Sarimin: “Karena benar, maka kamu salah.” Logika yang terbolak-balik.

Monolog itu adalah monolog kita sendiri. Rasanya begitu miris memikirkan praktik hukum di negeri ini. Hukum yang tidak lagi memihak pada kebenaran dan keadilan. Tapi, hukum yang bisa dipermainkan oleh uang. Akibatnya, orang miskin semakin menderita oleh sistem hukum ini. Hukum hanya menjadi alat aparat penegak hukum memeras korban. Aku yakin masing-masing dari kita pernah menemui pengalaman seperti Sarimin. Entah di jalan dengan polisi lalu lintas atau polisi pamong praja yang arogan. Ada 1001 pengalaman buruk bersama para penegak hukum ini. Kalau dilihat hanya bikin sakit hati lagi. Anehnya, logika bodoh ini menulari masyarakat. Persis seperti kekerasan yang menular. Rene Girard menyebutnya dengan mimesis, proses tiru-meniru. Tapi, monolog ini mengajak kita untuk menertawakan semua itu. Menertawakan kepahitan. Menertawakan kebodohan. Menertawakan kebebalan. Menertawakan kemiskinan. Menertawakan hidup.

Pukul 22.00, monolog usai. Membuatku merenung. Dunia memang membutuhkan orang-orang yang berani untuk mengatakan benar jika itu benar. Salah jika itu salah. Kutengok peri kecilku di dalam sana. Semoga, peri kecilku nanti bisa tegar dan tidak terjerumus dalam arus dunia yang sarat dengan kemunafikan dan kebodohan. Lalu kita tutup jalan-jalan malam itu dengan menyantap nasi kucing lengkap dengan sate usus dan teh panas di angkringan Cikini.


[sumber foto: www.fotografer.net]
read more...

Thursday, November 15, 2007

Peristiwa 9/11

ANGKA 9 dan angka 11 adalah angka sangat penuh arti. Angka ini pernah dipakai untuk menandai sejarah dunia, Tragedi 11 September 2001. Tragedi 11/9 memutar memori kita pada suatu pagi nan cerah di Manhattan. Pagi saat dua burung besi berisi ratusan penumpang menghantam menara kembar World Trade Center. Pagi naas dan menewaskan lebih dari 3000 orang.

Bagaimana kalau kita balik angkanya menjadi 9/11? Peristiwa 9/11 juga sarat arti. Pada tahun 1989, angka itu merujuk peristiwa runtuhnya Tembok Berlin. Ini sejarah penting bersatunya dua Jerman, Jerman Timur berhaluan komunis dan Jerman Barat berhaluan kapitalis. Sementara itu, jauh di tahun 1799, angka ini mengacu pada Napoleon Bonaparte resmi menjadi diktaktor. Pada tahun 1904, angka ini bicara tentang pesawat yang diterbangkan pertama kali. Pada tahun 1918, Bavaria memproklamirkan diri sebagai republik. Tahun 1932, angin ribut mengosak-asik Santa Cruz del Sur Cuba dan menewaskan 2500 orang. Pada tahun 1970, Presiden Prancis Charles deGaulle mati di usia 79 tahun. Dan sebagainya. Dan sebagainya. Mau tahu lebih banyak, silakan cek di situs scopsys. Iseng-iseng untuk utak-atik tanggal dan peristiwa.

Tapi, peristiwa 9/11 yang bagiku paling berarti adalah peristiwa di tahun 1976. Pada saat inilah, pukul 1o malam dan Jogja sedang dibekap hawa dingin, aku dilahirkan. Aku dilahirkan dari seorang ayah tentara dan ibu seorang pegawai negeri. Bantul, kampung halamanku. Lahir sebagai anak ketiga setelah 2 kakak perempuanku.

Jarang aku merayakan ulang tahun. Minimal traktir mentraktir saja. Itu pun sederhana. Perayaan besar justru terjadi ketika aku berada di asrama Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, 11 tahun silam. Bila hari itu tiba, seluruh isi asrama berpesta. Minimal dengan sajian makan siang khusus. Maklum, pada hari itu, bertepatan dengan hari ulang tahun seorang pembesar asrama. Namanya Bruder Van Dooren SJ. Ia seorang bruder tua asal Belanda dan ditugasi mengajar anak-anak asrama bahasa Prancis. Tapi, saat aku datang, ia sudah terlalu uzur. Ia tinggal wisma Emaus, tempat para Jesuit tua tinggal menunggu keabadian. Parasnya lucu seperti dokter Patch Adam yang diperankan oleh Tom Hanks. Memorinya sedikit aus. Pelupa. Doyan jalan-jalan dengan sepeda unta, beropi koboi, mengelilingi kampung seputar asrama. Ia begitu dicintai anak-anak kampung. Buktinya, banyak anak dan warga kampung yang senang hati mengantar pulang bruder itu karena lupa jalan menuju asrama. Maklum. Sekarang ia sudah meninggal. Tapi, kenangan lucu masih menggantung di batok kepalaku. Aku mau menuliskannya di lembar terpisah.

Kembali ke ulang tahun. Ulang tahun di tahun 2007 ini juga tidak meriah. Malam menjelang ulang tahun, tubuhku justru menggigil diserang demam. Demam yang sebelumnya mampir di tubuh ibu peri. Pagi hari, seperti biasa, kulayangkan sepotong doa tanda syukur. Lalu sarapan bareng bersama ibu peri dengan ketupat sayur yang ia beli di pasar dekat rumah. Liputan. Ngantor. Mentraktir teman-teman kantor kue donat dengan patungan bareng Eko yang berulangtahun sehari sebelumnya. Menulis.

Ucapan selamat berderai baik melalui sms, telepon, langsung, maupun yahoo messenger. Saudara-saudaraku pun ‘berdemonstrasi’ minta ditraktir. Tapi, aku tunda dulu, karena sore hari, aku harus memeriksakan ibu peri ke dokter kandungan. Maklum sudah 6 bulan dan vitamin dari dokter sudah habis. Sayang saja, dokter Raditya sedang cuti satu minggu. Malam hari, bersama ibu peri, aku pergi Video Ezy untuk pinjam beberapa film. Karena petugas rental tahu hari itu ulang tahunku, aku mendapat gratis 2 keping film dan kartu ucapan. Lama aku tidak dapat kartu ucapan ini. Sekali dapat, justru dari rental vcd itu. Bagus. Bagus. Malamnya aku habiskan dengan ngobrol bersama ibu peri sambil memandangi atap kamar tidur. Di luar, hujan jatuh membasahi jalanan.

Baru hari berikutnya, aku menepati janjiku mentraktir saudaraku. Kijang Taruna warna hijau membawa kami ke gerai Djakarta’s Steak di Meruya. Gerai steak sederhana tetapi tidak terlalu jelek. Meski soal rasa masih kalah dibanding Abuba. Tapi, untuk rame-rame, Djakarta’s Steak ini lumayan cocok. Harganya juga ekonomis. Menunya pun beragam. Ada tenderloin, sirloin, T-bone, chicken gordon blue, cruncy, crispy, dan sebagainya. Ada menu tambahan seperti french fries, spaghetti bolognaise, dan aneka minuman. Range harganya cukup membuat kantong tersenyum, Rp 15 ribu s.d. Rp 28 ribu. Kedai tenda ini cukup ramai oleh pengunjung. Sampai kita pun berebut kursi.

Hari berikutnya masih ada ucapan yang mampir di ponsel. Bahkan, Rabu malam, seusai menemui narasumberku di Starbucks City Plaza, aku diberi hadiah tas oleh seorang sahabat dan pembaca blog. Bertempat di outlet roti Seven Grain di Mampang Prapatan, ia menyodoriku kado tas dan sepotong cake dengan satu lilin kecil berulir. Wah, terimakasih kisanak!

Bertambah umur, bertambah tua. It’s a long road! read more...

Wednesday, November 14, 2007

Noni Menikah

SEORANG sahabat baru saja menikah. Namanya Airin Sunandar. Putri sulung seorang dokter gigi ini sering menyebut dirinya Noni. Noni adalah inisial buat tulisan-tulisannya. Noni menikah dengan Anton di Gereja Katolik Bunda Perantara Cideng, Jakarta Pusat, Minggu 11 November 2007. Resepsi dilangsungkan malam harinya di Panti Perwira Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan. Sekitar 500 meter dari sepotong gang tempat favorit untuk melepas malam bersama marina, zombie, atau satu teko bir plethok ditemani kacang goreng bertabur garam.

Entah kenapa, sebulan sebelum pernikahannya, Noni memintaku membuat dan membacakan doa untuk membuka resepsi itu. Setengah tidak percaya. Bagaimana mungkin orang yang jarang ke gereja ini membuat dan membacakan doa? Bisa jadi para malaikat di langit jatuh pingsan. Apa Tuhan tidak terpingkal-pingkal. Tuhan yang selama ini aku sejajarkan dengan larutan panas cappuccino bertabur chocolate granule merek Tora Bika itu. Tuhan yang doyan aku ejek dengan ungkapan: hari tanpa ngopi itu seperti agama tanpa Tuhan. Ejekan yang justru membuat seorang kawan di kantor ingin mendampratku.

Tapi, aku menyanggupinya. Dalam pesan pendek, ia minta agar doanya seromantis mungkin. Waduh! Aku bukan orang yang doyan roman-romanan. Tapi, tidak apa-apa. Alih-alih sebagai persembahan buat seorang sahabat sendiri. Dulu, beberapa bulan lalu, ia juga memintaku membuatkan teks doa. Tapi buat ulang tahun pernikahan papa mamanya. Alamak, dosa apa aku ini.

“Tuhan yang merajai seluruh semesta. Pada malam yang suci dan agung ini, kami menghaturkan sembah sujud penuh ketakziman atas segala peristiwa dan segala perjumpaan yang Kau suguhkan pada kami seperti rintik hujan yang Kau kirim pada tanah malam ini. Malam di mana bulan mengunci diri. Bersamadi dalam sunyi. Merenungi kasih ilahi.”

Tahu tidak, sebelum pembuka doa itu aku daraskan di atas mimbar, aku sempat grogi. Serius. Sesekali aku meminta Helena dan Bernardi, sahabat yang turut resepsi itu untuk menggantikanku. Tapi, mereka tidak mau. Mereka malah mengembangkan bibirnya untuk sebuah senyuman. Seakan mereka mau mengatakan: mampus lo!

Bayangkan saja, pesta nikah ini diadakan secara mewah. Para tamu undangan berpakaian serba parlente. Panti nikahnya begitu agung. Modern. Airin tampil begitu ayu dengan gaun putih. Anton tampil ganteng dengan balutan jasnya. Panti pun disulap wah dan elegan. Ditambah dengan full music seperti light jazz, instrumental, dsb. Nah, apa tidak rusak gara-gara mendengar doa dengan suara slendro (baca: jawa medhok) yang jauh bermil-mil dari suara mikrofonis ini Tapi, quid scriptus, scriptus! Artinya, yang tertulis tetaplah tertulis. Sang pembawa acara pun harus taat pada urutan acara yg sudah tertulis. Apalagi rombongan pengantin sudah manggung. Sorot lampu kamera menghunjam deras ke tubuhku yang berbalut kemeja batik dengan motif bunga-bunga didominasi warna merah. Para undangan sudah memalingkan wajahnya padaku seperti mau mendengarkan seorang presiden hendak mengumumkan kenaikan harga BBM. Dan benar yang terjadi. Saat bibirku mengajak hening sejenak, semua orang hening. Kertas doa yang sudah kucel aku buka. Mikrofon sudah ada 5 cm di depan mulut.

Serius! Mendadak podium berubah menjadi panggung seni. Aku merasa seperti Sapardi Djoko Damono yang hendak membacakan sajak romantisnya. Bak Joko Pinurbo yang hendak membaca syair-syair dalam antologi Di Bawah Kibaran Sarung (2001) atau Pacar Senja (2005). Lalu, aku bermonolog lagi.

“Hanya karena cinta, jari-jari-Mu menari-nari melukiskan ada. Bumi. Pohon. Burung. Angin. Senja. Kupu-kupu. Cakrawala. Matahari. Cemara. Langit. Bintang. Segala dan setiap napas yang berhembus. Karena cintamu, Kau telah mempertemukan rumput dengan embun pagi. Awan di angkasa dengan langit di kaca jendela. Ombak dengan pasir. Bunga tulip dengan lebah madu. Demikian juga Kau mempertemukan dua mempelai ini.”

Noni adalah seorang sahabat yang menarik. Aku mengenalnya sejak berkarya bersama di Warta Minggu, sebuah buletin gereja Katolik di Jakarta Barat. Ia seorang pelahap buku. Bukunya banyak. Apalagi kategori fiksi. Tak jarang, kita sering barter buku cerita untuk dipinjam. Aku selalu senang melihat orang doyan buku. Pasti ada suatu yang berbeda dari cara hidupnya dibanding orang yang tidak pernah atau jarang membaca buku. Selain itu, gadis penyuka kucing ini adalah seorang penulis menjanjikan. Tulisannya ngepop. Mengalir. Enak. Muda. Berisi. Aku tidak bakalan lupa dengan satu cerpennya berjudul Rendesvouz. Cerita pendek yang isinya amat dekat dengan kisah hidupku di masa-masa mengenal seorang cewek bernama Nat yang sekarang menjadi ibu peri. Cewek yang aku kenal di bawah temaran lampu-lampu gantung di Kedai Tempo, Utan Kayu.

Ia juga seorang resensor buku yang baik. Buktinya, beberapa buku anak-anak yang ia resensi diterbitkan di Kompas Minggu di rubrik anak. Kita sering bertukar informasi seputar buku, entah pameran buku, diskusi buku, buku murah, dan sebagainya. Itulah Airin, sahabat yang menarik.

"Bersama semesta, kami berdoa bagi kedua mempelai. Semoga cinta yang diberikan Tuhan secara cuma-cuma, mereka berikan secara cuma-cuma juga satu sama lain. Berkatilah jalan-jalan pejiarahan mereka. Kuatkanlah jika kaki-kaki mereka melemah. Lembutkanlah jika rasa mereka mulai membatu. Ketuklah jika pintu-pintu hati mereka mulai terkatup. Terangilah jika api pengharapan mereka mulai meredup. Ingatkanlah jika mereka mulai menyimpang dari jalan-jalanmu."

Semoga doa-doa itu didengar Tuhan. Buat Noni, selamat melakukan pejiarahan panjang bersama suamimu. Semesta membukakan jalan-jalan rezeki dan bahagia untukmu. Ia akan menyediakan oase-oase penawar dahaga. Hati-hati pula, di jalan banyak fatamorgana. Welcome to another paradise! read more...