Belajar tidak harus di kampus. Tidak juga di sekolah. Apalagi kalau sekolah hanya untuk transfer ilmu dari guru atau pun dosen. Lebih-lebih, untuk sekolah saja, biaya sangat mahal. Itu saja belum dengan kurikulum yang memasung dan memberatkan. Nah, bukannya membuat siswa cerdas, tapi justru bodoh dan tidak kritis. Ekstremnya, mendingan sekolah ditutup. Ivan Illich malah menegaskan bahwa sekolah sudah mati, school is dead.
Kami tidak seekstrem Ivan Illich. Yang jelas, kami haus belajar. Dan kesempatan belajar itu tidak kami cari, tetapi kami ciptakan. Lahirlah komunitas studi bernama Rural Community (selanjutnya disingkat RC). Nama RC adalah buah usulan dari Mariana Ari, salah satu anggota komunitas. Kelahiran komunitas ini berkat perkawinan ide-ide kami bersepuluh, yakni Budi Pruwanto, Mariana Ari, Anna, Daniel Awigra, Sakura, Felix IW, Fr. Benny SJ, Nara Patrianila, Olive, dan aku sendiri.
Fokus kajian RC adalah neoliberalisme atau globalisasi. Mengapa kami mempelajari Neoliberalisme? Neoliberalisme semakin nampak sebagai bentuk penjajahan global. Globalisasi yang selama ini digaungkan sebagai proses pembudayaan, pengantasan kemiskinan, penghapus kelaparan, ternyata menjadi fenomena penindasan budaya global, pencetak kelaparan dan kemiskinan global, dan perampasan global. Inilah penjajahan ekonomi. Aktornya adalah korporasi-korporasi multinasional yang bersekutu dengan negara adikuasa dan lembaga-lembaga keuangan dunia, seperti IMF, WTO, dan WB. John Perkins dalam Confessions of an Economic Hit Man menyebutnya sebagai corporatocracy.
Teriakan anti globalisasi bergema di mana-mana. Desember tahun lalu, puluhan ribu pengunjuk rasa antiglobalisasi tumpah di jalan-jalan Kota Hongkong tempat diadakannya sidang WTO. Yel-yel festival jalanan itu menghentak dan menggetarkan langit-langit kota Hongkong.
Nah, kami mau mempelajari fenomena aktual dan dekat dengan hidup keseharian itu, globalisasi. Kami mencoba mempelajarinya dari asal muasalnya, terminologinya, mekanismenya, pemain-pemain utamanya, dampak-dampaknya (budaya, ekonomi, sosial, politik), resistensi-resistensinya, dan sebagainya. Fenomena ini, bagi kami, layak dipelajari karena ini sama saja mempelajari hidup itu sendiri. Giddens sendiri menegaskan, globalisasi bukan sekadar perkara yang ada di luar sana, tetapi juga yang ada di sini. Misalnya, menyangkut identitas diri.
Pada Minggu, 26 Januari 2006, ketika banyak orang sedang mengisi liburan dan berburu ampao di hari Imlek, kelas pertama dimulai. Di sekretariat RC, Jl. Ubud, Mega Kuningan, Jakarta, aku membawakan paperku. Aku mengantar diskusi Studium Generale, studi umum, tentang Neoliberalisme. Paper ini aku beri judul “Ziarah dari Global Village Menuju Global Pillage.” Dari kampung global, menuju penjarahan global. [Artikel keseluruhan bisa dibaca dengan mengklik: Studium Generale]
Paling tidak, komunitas ini senantiasa memacuku untuk on going study. Belajar tak pernah berhenti. Bergumul dengan buku-buku tebal dan artikel-artikel berat, sambil senantiasa menajamkan daya-daya jiwa seperti indra, budi, hati, untuk memandang dunia, menjadi sebuah irama yang menarik dalam hidup studi.
Aku selalu memegang kata-kata James Nacthwey, fotografer perang, yang mengatakan, “Aku tidak menganggap diriku tahu segalanya, tetapi aku belajar dari segalanya.” Toh, belajar pasti bermanfaat, untukku, untukmu, dan untuk dunia....
Dari kiri ke kanan: Mariana Ari, Anna, dan Budi Pruwanto, sedang serius tapi santai dalam belajar globalisasi. [fotografer: Awigra]
[You can read this english version by clicking English Edition]
5 comments:
Nice blogs, nice writing, Peziarahmuda....thank you for dropping by...
menarik sekali. :)
lam kenal, peziarah muda.
met gabung dg blogfam. acc membernya sdh diaktifkan. ditunggu sapa nya di perkenalan.
free isn't fair?
it's just amazing. Highly recommended for those who are interested in globalization.
Post a Comment