BUKU harian kumal itu aku temukan di antara tumpukan buku di perpustakaan pribadiku. Kumal dan berdebu. Kulihat tahun penulisannya, 1993. Artinya, usia buku itu sudah 14 tahun atau aku masih berusia 17 tahun saat menulisnya. Cukup lama. Sebuah dokumentasi pribadi yang menarik. Larik demi larik aku baca. Sontak, kejadian-kejadian silam berloncatan kembali di batok kepalaku. Membuatku tercenung. Diam. Mengingat-ingat. Berderai senyum dan tertawa.
Buku itu aku tulis di tahun pertama hidup di asrama di Magelang, Jawa Tengah. Asrama yang 99% dihuni oleh mahkluk berkelamin laki-laki. Asrama yang mengajari kami bangun pukul 4.30 pagi, mengepel gang-gang asrama, sembahyang pagi, dan menulis sebelum sarapan. Kebiasaan menulis buku harian inilah yang membuatku ketagihan menulis. Tak disangkal, hidup memang sebuah rangkaian cerita.
Selasa, 9 November 1993, seperti tertulis dalam buku harian itu, aku merayakan ulang tahunku ke-17. Katakanlah, sweet seventeen. Tidak ada pesta cokelat di sana. Tidak ada kue tart. Tidak ada nyala lilin untuk sebuah tiupan. Tidak ada kartu ucapan. Tidak ada kecupan. Rupanya, aku sedang sakit dan harus berbaring di valet, ruang khusus untuk merawat siswa sakit.
“Hari ini, hari ulang tahunku. Ibuku dan ayahku bergembira karena kedatanganku di bumi ini. Hari baru ini aku buka justru dengan berdoa di kapel Josep di valet karena aku sakit...”
Ternyata, aku sakit sejak 8 November 1993. Penyakitnya masih sama seperti yang sering aku alami sekarang, yakni diare, maag, dan kembung. Penyakit yang oleh para kolega disebut dengan penyakit dunia ke-III. Pada hari itu, aku menulis:
“Dari pagi, aku di valet. Aku tidak masuk sekolah. Perutku sakit sekali. Diare, maag, kembung. Aku sering pergi ke belakang. Bahkan, belum sampai tujuan, itunya sudah go out...Saya tahan ini sambil deg-degan. Jangan-jangan, ketahuan teman...”
Lucu sekali. Aku tertawa sendiri saat membacanya. Di catatan 9 November, ternyata aku orang yang nekat. Buku itu bicara seperti ini:
“Hari ini pula, aku berangkat sekolah walaupun badanku terasa dingin. Dan saat itu ada ulangan sejarah dunia. Namun, semoga saja dapat nilai baik. Tidak luput pula aku disalami teman-temanku.”
Banyak cerita dalam buku harian itu. Kebanyakan cerita sudah di luar daya ingatku. Cerita pergulatan di masa-masa awal masuk asrama, berpisah sama keluarga, bertemu dengan kawan baru. Cerita tentang suster ngesot, suster berwajah rata, tanpa mata, hidung, dan mulut, yang gemar bergentanyangan di gang-gang asrama. Tentang Jojo, anjing bulu cokelat penjaga asrama yang gemar menjerit keras saat lonceng kapel berdentang. Tentang guru olahraga yang gemar melontarkan kata-kata jorok. Tentang teman-teman yang drop-out lantaran nilai Bahasa Latin. Tentang seekor ulat hijau yang teronggok dalam sayur sawi, menu makan siang. Dan banyak cerita lainnya. Dari buku kumal itu, semakin kusadari kekuatan sebuah tulisan. Tulisan mampu membangkitkan kesadaran akan masa lampau. Masa lampau yang suka dilupakan orang. Mungkin dari sinilah, arti keabadian sebuah tulisan yang diamini oleh mendiang Pramoedya Ananta Toer.
Buku itu aku tulis di tahun pertama hidup di asrama di Magelang, Jawa Tengah. Asrama yang 99% dihuni oleh mahkluk berkelamin laki-laki. Asrama yang mengajari kami bangun pukul 4.30 pagi, mengepel gang-gang asrama, sembahyang pagi, dan menulis sebelum sarapan. Kebiasaan menulis buku harian inilah yang membuatku ketagihan menulis. Tak disangkal, hidup memang sebuah rangkaian cerita.
Selasa, 9 November 1993, seperti tertulis dalam buku harian itu, aku merayakan ulang tahunku ke-17. Katakanlah, sweet seventeen. Tidak ada pesta cokelat di sana. Tidak ada kue tart. Tidak ada nyala lilin untuk sebuah tiupan. Tidak ada kartu ucapan. Tidak ada kecupan. Rupanya, aku sedang sakit dan harus berbaring di valet, ruang khusus untuk merawat siswa sakit.
“Hari ini, hari ulang tahunku. Ibuku dan ayahku bergembira karena kedatanganku di bumi ini. Hari baru ini aku buka justru dengan berdoa di kapel Josep di valet karena aku sakit...”
Ternyata, aku sakit sejak 8 November 1993. Penyakitnya masih sama seperti yang sering aku alami sekarang, yakni diare, maag, dan kembung. Penyakit yang oleh para kolega disebut dengan penyakit dunia ke-III. Pada hari itu, aku menulis:
“Dari pagi, aku di valet. Aku tidak masuk sekolah. Perutku sakit sekali. Diare, maag, kembung. Aku sering pergi ke belakang. Bahkan, belum sampai tujuan, itunya sudah go out...Saya tahan ini sambil deg-degan. Jangan-jangan, ketahuan teman...”
Lucu sekali. Aku tertawa sendiri saat membacanya. Di catatan 9 November, ternyata aku orang yang nekat. Buku itu bicara seperti ini:
“Hari ini pula, aku berangkat sekolah walaupun badanku terasa dingin. Dan saat itu ada ulangan sejarah dunia. Namun, semoga saja dapat nilai baik. Tidak luput pula aku disalami teman-temanku.”
Banyak cerita dalam buku harian itu. Kebanyakan cerita sudah di luar daya ingatku. Cerita pergulatan di masa-masa awal masuk asrama, berpisah sama keluarga, bertemu dengan kawan baru. Cerita tentang suster ngesot, suster berwajah rata, tanpa mata, hidung, dan mulut, yang gemar bergentanyangan di gang-gang asrama. Tentang Jojo, anjing bulu cokelat penjaga asrama yang gemar menjerit keras saat lonceng kapel berdentang. Tentang guru olahraga yang gemar melontarkan kata-kata jorok. Tentang teman-teman yang drop-out lantaran nilai Bahasa Latin. Tentang seekor ulat hijau yang teronggok dalam sayur sawi, menu makan siang. Dan banyak cerita lainnya. Dari buku kumal itu, semakin kusadari kekuatan sebuah tulisan. Tulisan mampu membangkitkan kesadaran akan masa lampau. Masa lampau yang suka dilupakan orang. Mungkin dari sinilah, arti keabadian sebuah tulisan yang diamini oleh mendiang Pramoedya Ananta Toer.
No comments:
Post a Comment