Thursday, October 18, 2007

Dikawal 15 Ribu Malaikat

LAMBAIAN tangan ibu peri di depan garasi raib saat mobil yang membawaku berkelok pada sepotong gang. Jam digital di ponsel menunjuk angka 01.30. Pagi yang gelap dan tidak lagi dingin. Mobil kijang inova bernomer polisi B 2699 JR itu membawaku lari dari kepenatan Jakarta. Pulang bersama mobil mudik gratis sajian SariWangi. Mobil warna biru metalik ini segera menjumput mas Kris, kakak iparku. Berlanjut Eko di Klender, serta Purjono plus calon istri di Bekasi. Dua jam lebih waktu dihabiskan untuk jemput-menjemput ini.

Inova dikenyangkan dulu dengan full tank isi premium seharga Rp 217.000. Siap melaju untuk jarak jauh. Barang-barang dikemas. Bagasi inova terlalu kecil untuk dus-dus kumal itu. Eko memasukkan 1 dus gede isi barang. Laptop merek Compaq ia taruh di depan bangku. Bukan alasan rajin menulis di kampung, tapi alasan keamanan di kos. Pur sibuk menata 4 dus. Aku kenal betul isi dus-dus itu. Pasti di sana ada minuman kaleng Pocari Sweat, botol-botol M-150, kopi susu kemasan bantal, popcorn, gulaku, tepung terigu, sirup marjan, indomie, dan sebagainya. Maklum, seluruh barang-barang itu juga aku dapatkan dari kantor. Untuk kenyamanan, ada kesepakatan, seluruh barang bawaan ditaruh di jatah bangku masing-masing. Aku sendiri cuma bawa 1 tas isi beberapa potong pakaian, 1 tas pinggang, dan 1 tas kresek isi camilan. Prinsipku, mudik harus seringkas mungkin dan nyaman untuk menikmati perjalanan. Pur yang paling banyak bawa barang, harus merelakan jatah bangkunya untuk dus-dus kumal itu. Ia dan calon istrinya harus berdesakan di bangku belakang. Aku dan Eko ada di bangku tengah. Kakak iparku sengaja memilih di depan sekaligus berperan sebagai navigator bagi Iwa, sang sopir asli Ciamis itu.

Jalur Selatan menjadi pilihan. Pukul 3 dini hari. Tol Cikarang sudah macet total. Dari radio mobil, tersiar kabar hari itu sebagai puncak arus mudik. Kelap-kelip lampu mobil berderap seperti kunang-kunang yang migrasi di subuh hari. Kami memutuskan menghindari jalan bebas hambatan itu. Iwa membawa kami ke jalur motor di pinggir tol. Kijang inova segera beradu dengan para pengendara sepeda motor. Dini hari, jalanan masih lancar. Tapi, pukul 7 kurang 4 menit, inova benar-benar berhenti. Macet total. Dua jalur dipenuhi dengan sepeda motor yang meraung-raung. Bola raksasa yang terbang di langit bertaburan awan hitam mulai memuntahkan panasnya. Menyengat. Merangsang butiran kristal bening keluar dari pori-pori para pemudik. Debu menguar di jalanan aspal mirip sungai kering itu. Aneka bunyi klakson besahut-sahutan. Mirip kampanye. Orang-orang kampung berhamburan keluar. Duduk di pinggir jalan. Seperti menonton festival atau kirab kereta kencana keraton yang dikeluarkan dari istana setahun sekali. Persis seperti melewati ruas jalan menuju fly over Tanah Abang setiap sore. Macet-cet!

Sepeda motor mengepung mobil kami. Wajah-wajah lesu, letih, beringsut samar di balik helm penutup kepala mereka. Beberapa menyerakkan motor mereka di pinggir jalan untuk sepotong jeda. Lautan kaum komuter itu menarik diamati. Ada yang merelakan diri berdesakan di pick up terbuka beratapkan langit. Ada yang nekat memboncengkan anaknya di belakang kemudi. Ada yang bawa dus-dus besar berisi oleh-oleh ibukota. Ada yang bawa sapu dan kain pel seolah di kampung minus perkakasan pembersih ini. Ada yang bawa istri dan kedua anaknya sekaligus. Pemandangan yang menjadi ritual di hari libur besar ini.

Aku sendiri sungguh menikmati perjalanan ini. Semua itu sudah masuk hitungan risiko. Itulah Jakarta. Ibukota. Sebagian warganya adalah orang-orang pengembara dari berbagai pelosok. Berbagai sudut. Berbagai desa antah berantah. Aku menyebutnya dengan ksatria bermotor. Mungkin ada orang melihat yang dilakukan para ksatria itu sebagai kebodohan. Tapi, bagiku, mereka adalah para pengelana sejati. Mengelana untuk mengisi hidup. Meski sederhana. Meski tidak menjadi orang terpandang dengan harta mentereng. Mungkin hanya seorang buruh, karyawan biasa, tukang sapu, office boy, sales, pekerja rumah tangga, dan sebagainya. Mereka mengelana demi mengisi periuk mereka. Meski tidak seberapa, mereka merelakan diri menghambur dalam lautan semut udik itu untuk berbagi sedikit rezeki dengan sanak kerabat. Meski cuma sapu, kain pel, segepok uang, sirup marjan, tepung terigu, mainan, dan sebagainya. Salah sendiri kenapa gula-gula itu hanya dikonsentrasikan di ibukota saja. Coba kalau gula-gula itu ditaruh di kota-kota lain. Mungkin Lebaran tidak semacet ini.

Aku jadi mengerti apa yang disampaikan ustad Jaffar di resto Bebek Bali Senayan, tiga hari sebelum mudik. Ustad yang sudah 30 kali pergi ke tanah Arab itu, mengatakan mobil yang kami tumpangi akan dikawal oleh 15 ribu malaikat. Dan, aku paham 15 ribu malaikat pengawal itu tak lain adalah ribuan para ksatria bermotor itu. Lalu, paras berjenggot dan bersorban putih itu menari-nari di batok kepalaku. Para kaum udik dan urban itulah pengawal perjalanan kami. Mereka adalah sahabat-sahabat dalam perjalanan. Inilah Lebaran!

1 comment:

Anonymous said...

Wow....salam kenal yah....saya juga salah satu pemenang Mobil Mudik Sariwangi...Nama Saya Dibyo,,,kota tujuan Magelang...hehehehe..
Saya mudik tanggal 11 jam 20.00 dari Tebet,,langsung jemput sepupu bersama suaminya di Ciracas,,lalu masuk Tol,,alhamdulilah JKT-Cikampek udah mulai lancar,,jam 23.00 sampai Kota Subang....menjemput calon istri saya...eh pas mau masuk kota Subang,,,nyaris saja Mobil Innova saya B 1199 JI terlibat tabrakan karambol...alhamdulilah dilindungi ALlah dengan 15 ribu Malaikat itu,,si sopir yang menumpang 3 orang keluarganya( Istri,anak dan mertua )berhasil membanting setir ke kanan,,, 10 menit kemudian sampai di rumah calon istri saya.
Jam 23.30 berangkat menuju magelang,,sayangnya di Cijelang macet total...sehingga dialihkan ke jalan Alternatif Majalengka yang melewati jalan seperti sungai kering...sampai Cirebon istirahat makan sahur jam 2.30.. tapi akhirnya kami membatalkan Puasa karena kami yakin 1 syawal jatuh pada hari Jumat..seperti halnya di Mekkah. Di jalan Tol palimanan Kanci Macet total..sehingga mobil kami menyeberang pembatas Tol melawan arah,,karena di buka semua jalur menuju Kanci...
Bersambung yahhhh....