ADA yang mengocok perutku tadi malam. Tepatnya, usai mengantar ibu peri ke dokter untuk mengetahui kabar si peri kecil. Malam dengan sedikit bintang dan jam dinding di atas meja rias menunjuk pukul 22.10 WIB. Kami berbaring di atas kasur sambil memandangi langit-langit kamar yang penuh jejak air hujan.
Entah kenapa, mendadak kami berbagi celotehan tentang pengalaman lucu di masa kecil. Aku mengawali obrolan tentang bioskop. Bioskop pertama yang aku kunjungi adalah bioskop Senopati yang terletak di belakang Benteng Vredeburg atau di pusat perbelanjaan shooping, selatan Malioboro, Yogyakarta. Sayang sekarang bioskop ini sudah tidak beroperasi lagi.
Ada dua film yang pernah aku tonton di gedung ajaib itu, yakni Arie Hanggara (1985) dan Saur Sepuh (1988). Keduanya tidak bakal lekang dari memoriku. Pasalnya, ada pengalaman lucu bercitarasa pahit di sana. Bagi yang sudah hidup di tahun 1980-an, tentu tahu apa itu Saur Sepuh. Film ini diangkat dari sandiwara radio yang terkenal dengan tokoh superheronya bernama Brama Kumbara. Asal tahu saja, radio waktu itu cukup populer. Alasannya bisa ditebak. Tayangan televisi masih super monoton dan membosankan karena dikuasai stasiun tunggal pelat merah, TVRI. Cerita Saur Sepuh begitu membiusku. Tidak heran jika di batok kepalaku lebih terisi nama-nama seperti Brama, Mantili, Lasmini atau jurus-jurus sakti seperti bayu bajra dan sebagainya, ketimbang mata pelajaran yang dibawakan guru-guru dengan membosankan. Saat kabar sandiwara yang sudah difilmkan itu menyusup ke lobang telinga, aku pun sontak merengek pada ayahku untuk lekas menontonnya.
Nah, pengalaman lucu rasa pare itu muncul di sore hari. Waktu itu, aku, ayahku, dan adikku yang masih kecil antri karcis di bioskop Senopati. Jumlah pengantri berjubel. Sementara, jam tayang sudah di ambang pintu. Entah kenapa, aku lupa, aku terpisah dari ayahku. Dan aku pun kehilangan mereka. Aku berputar-putar mencari mereka. Setelah capek menyusup di antara kaki-kaki angkuh di seputar loket, aku pun mematung seperti setangkai bunga lili kusut. Lalu gelembung-gelembung cair mengembang di kedua sudut mataku dan tergelincir pelan di pipi diiringi suara sesenggukan dari arah tenggorokan. Aku menangis. Seorang dewasa datang menyambangiku, memberiku secuil penghiburan, lantas menggandengku menuju petugas informasi. Seorang lelaki dewasa berpakaian hansip-waktu itu hansip tidak hanya masuk kampung tapi juga bioskop-menanyai namaku, nama ayahku, dan mencatatnya di sepotong kertas. Lalu, dengan nada suara yang dibuat kebapak-bapakan, hansip bioskop itu pun menyuruhku duduk manis di bangku tak jauh dari pos. Sambil mengayun-ayunkan kaki di bangku, mataku mengembara ke kerumunan. Mendadak aku melihat bayangan ayahku. Sontak aku minggat dari bangku tanpa sepengetahuan mata sang hansip. Di depan ayahku, aku malah dimarahi. Tanpa lama, kami pun menghayutkan diri di barisan orang menuju dalam gedung karena film segera dimulai.
Sampailah aku di dalam sebuah ‘gua’ raksasa dengan semilir angin AC yang tidak begitu dingin dan sebuah kain putih raksasa terbentang gagah di depan bangku tempat kami duduk. Pintu masuk ditutup. Lamu dimatikan. Secercah cahaya terang meluncur dari belakang dan membuat kain itu menyala. Dan apa yang pertama kali terlihat di kain putih itu? Selarik tulisan berukuran besar menempel dan menyebut nama ayahku.
PAK XXXXX DICARI ANAKNYA
HARAP DATANG DI POS INFORMASI
Sontak, gedung bioskop itu meledak oleh tawa dari para penonton. Sangat gaduh. Mereka berteriak sambil menyebut-nyebut nama ayahku. Aku semakin malu. Perlahan aku melelehkan diri ke bangku empuk bioskop itu. Beringsut malu. Merasa seolah para penonton lain itu tahu kalau kamilah yang disebut di layar putih itu. Ayahku hanya melempar senyum simpul sambil tangannya mengelus-elus rambutku.
Ternyata, hujan tawa itu pun berlanjut di kamar kami. Ibu peri pun tak kuasa menahan gelak. Sebenarnya, ada satu lagi pengalaman lucu rasa pare berkaitan dengan bioskop yang bisa kutuliskan di lembar putih ini. Tapi, cukup satu sajalah. Pengalaman ‘dodol’ lainnya biarlah tersimpan rapi di rak-rak memori kepalaku. Usai meredam gelak, kami berdua pun sibuk dengan urusan masing-masing. Ibu peri memilih membaca antologi cerpen karangan Ratih Kumala berjudul Larutan Senja. Lalu ia tertidur. Aku sendiri memilih membisu di depan laptop sambil berupaya melanjutkan larik-larik cerita untuk dirajut dalam sebuah buku. Kantuk datang, aku pun tidur.
No comments:
Post a Comment