TIDAK ada bintang berkelip di langit timur. Tidak ada nubuat para nabi. Tidak ada malaikat menampakkan diri di dalam mimpi. Tidak ada cerita-cerita tentang sinterklas dan pit hitam. Tidak ada pohon cemara berhias kelap-kelip lampu gantung. Tidak ada boneka salju. Tidak ada kaos kaki berisi batangan cokelat. Tidak ada suara Charlotte Church mengalun bersenandungkan kidung Silent Night. Tidak ada melodi Ave Maria ala Franz Schubert atau Johan Sebastian Bach menguar di bilik rumah. Tidak ada lonceng berdentang ditingkahi malam yang dingin selain suara detak teratur dari jam dinding yang menggantung di dekat meja rias. Tidak ada sajak Clement Moore yang dibacakan. Inilah adven di rumah kami.
Penantian Natal ini sungguh nyata. Menurut dokter, Natalku akan tiba pada pertengahan Februari mendatang, bulan di mana peri kecilku akan lahir, memamerkan tangis pertamanya, dan menambah hiruk-pikuknya dunia. Beda sekali dengan Natal kemarin, sebuah hajatan berulang setiap penghujung tahun. Riuh dan meriah diiringi oleh hujan, angin taifun, dan banjir di beberapa daerah di nusantara. Nah, inilah pengalaman pertamaku mempersiapkan kelahiran peri kecil.
Mulai Januari, ada satu kegiatan baru menyelip di papan acara yang terpaku di batok kepalaku, yakni belanja barang-barang buat bayi. Sudah dua kali, aku dan ibu peri menyambangi toko bayi Kemanggisan. Toko ini terkenal lengkap dan harganya pun miring. Sekarang, di kamarku, teronggok barang-barang buat peri kecil. Popok. Baju. Celana. Selimut. Lampin. Tisu. Minyak telon. Bedak. Ember mandi. Tempat sabun. Tas bergambar Winnie the Pooh. Sisir. Pampers. Kapas. Sarung tangan. Sarung kaki. Baby oil. Wash lap. Handuk. Hanger. Termometer.
Tiap pagi, dengan catatan tidak gerimis atau hujan, aku menemani ibu peri jalan-jalan menyusuri gang. Alih-alih senam pagi sambil menanti bola raksasa meloncat di horizon timur. Itu pun kalau awan hitam tidak bergerombol menghadang jalan setapak yang sering dilalui bola raksasa itu. Sementara itu, ibu peri tidak pernah absen menegak dua gelas susu merek Prenagen pagi dan sore. Makan sayur mayur, buah, dan lauk sebisa mungkin ikan. Aku sendiri lagi berpikir bagaimana mengatur interior rumah sebersih dan seindah mungkin. Pekan depan, aku menyewa seorang tukang untuk mengecet langit-langit kamar. Maklum atap yang bocor membuat hujan menetes dan meninggalkan bercak hitam di langit-langit. Aku dan ibu peri juga sedang merenung-renung tentang nama yang baik buat peri kecil. Itulah beberapa persiapan yang kami lakukan. Semua itu kami jalani dalam iringan doa yang tak terucapkan bibir, tapi tertulis tajam di hati kami berdua demi keselamatan dan kebaikan peri kecil. Kami berharap peri kecil bisa lahir dengan sehat dan normal. Semoga semesta juga membuka jalan-jalan berkah bagi kelancaran persalinan dan hidup kami sebagai keluarga muda.
Itulah Natal menanti kelahiran peri kecil. Anakku, mungkin tidak ada bintang berkelip di langit mengiringi kelahiranmu lantaran hujan sedang girang membasahi tanah. Tapi, bintang itu berkelip terang di hati ayah dan ibumu. Mungkin tidak ada cemara berhiaskan lampu, bola kristal, dan patung malaikat. Tapi, biarlah suplir-suplir yang menggantung di dekat jendela kamar menari digoyang angin bersama pohon mangga milik tetangga yang pucuknya menjuntai sampai di halaman rumah kita. Mungkin tidak ada lagu Silent Night, Ave Maria, menguar di bilik kecil rumah kita. Tapi, biarlah senandung parau dari mulut ayah ibumu menguar bersama iringan gerimis yang meloncat-loncat di atas genting maupun aspal depan rumah kita. Aku juga minta doamu anakku agar Tuhan memberikan energi yang berlipat-lipat di jari-jari ayahmu ini untuk terus menulis, menari-nari di atas keyboard untuk melahirkan kata-kata ajaib, dan mewujudkan kado istimewa bagimu, yakni buku-buku.
Natal sudah di ujung jalan.
No comments:
Post a Comment