Tuesday, January 31, 2006

Sumpang Binangae di Kala Senja…


Pantai Sumpang Binangae di sore hari tampil menawan. Sinar matahari berwarna jingga keemasan memantul jauh dari ufuk Barat. Menjelajah jauh di hamparan lautan Makassar dan menimpa serombongan orangmuda yang duduk-duduk di tanggul di tepi pantai menciptakan siluet. Sementara itu, angin pantai pelan-pelan menyapu wajah kami. Bau pasir pun menusuk hidung dan membangkitkan jiwa untuk melepas segala kepenatan di sore itu.

Batas cakrawala masih tampak tegas. Memanjang dan hilang di telan bayangan gundukan pulau di sudut-sudut pantai. Puluhan kapal jenis bagang berpencar memenuhi pemandangan lepas pantai. Kapal bagang merupakan kapal induk para nelayan untuk mencari ikan. Kapal ini ukurannya lumayan besar. Dari jauh, bentuknya seperti laba-laba, khas dengan jaring-jaringnya. Kapal yang terbuat dari bahan baku kayu ini dilengkapi dengan tali temali kuat. Bagang menjadi andalan para nelayan yang berdomisili di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Biasanya, kapal-kapal ini melaut diiringi dengan kapal-kapal yang lebih kecil dan memanjang.

Tampak pula beberapa nelayan sedang bergerak menuju laut. Suara kapal motor terdengar jelas dan perlahan hilang menjauh. Di ufuk, tampak gundukan pulau Pannikiang yang juga menjadi alternatif objek wisata di Barru. Mega-mega lembut bergerak pelan di langit yang sudah menjadi kemerah-merahan. Rombongan burung-burung pantai dengan formasi ujung anak panah itu terbang pelan nun jauh di langit. Sebuah simbol hidup yang benar-benar merdeka. Burung Lepa-lepa itu pun menambah pemandangan di langit sore itu tambah cantik.

Pemandangan di tepi pantai tidak kalah eksentrik. Bibir pantai yang diberi tanggul dengan beberapa undakan menjadi tempat yang mengasyikkan untuk bercengkerama di sore hari. Banyak orangmuda dan tua duduk-duduk hanya untuk menikmati sore, bersua dengan kerabat, sambil melepas kepergian Sang Mentari yang tak lama lagi beringsut ke samudera Barat. Ada pula beberapa pasangan anakmuda yang mondar-mandir di jalanan tepi pantai menambah geliat hidup kamping nelayan itu di sore hari.

Beberapa menit lagi, sore akan segera berubah menjadi senja dan senja akan tenggelam dalam selimut malam. Sang Fajar tinggal lima sentimenter lagi untuk menyudahi hari itu. Oleh karena itu, kami tidak menyianyiakan kesempatan mengabadikan senja di Sumpang Binangae. Kamera digital segera dibuka dan beberapa shoot menangkap penggalan pantai dalam puluhan frame.

Kami sempat mengobrol dengan seorang lelaki tua yang duduk di tanggul sambil mengelus-elus jenggot putihnya yang tidak panjang. “Duduk duduk santai di sore hari di sini memang menyenangkan ya Pak,” tanya kami membuka perbincangan. “Iya, semenjak tanggul ini dibangun dan jalanan di tepi pantai diaspal, penduduk sini senang untuk duduk-duduk pada sore hari,” kata lelaki tua yang mengaku bernama Ahmad itu.

“Bapak seorang nelayan dan tidak melaut sekarang ini,” tanya kami. “Saya bukan nelayan. Anak saya yang suka pergi ke laut dengan kapal itu. Tapi, banyak nelayan yang meliburkan diri saat-saat ini karena lagi bulan purnama,” kata lelaki kelahiran Soppeng itu.

Kami terus menyusuri jalanan pantai dan tidak menyianyiakan senja itu. Kami seolah berpacu dengan waktu. Di deretan bibir sungai, ada juga beberapa bangku ditata rapi dengan dilengkapi dengan tandon plastik. Tempat untuk pasar kecil. Kami terus berjalan. Beberapa pedagang sudah menggelar jajanannya. Merapikan bangku-bangku tempat refreshing di malam hari. Ada nasi goreng, penjual mie kuah, ayam goreng, coto Makassar, dan sebagainya.

Sepuluh meter dari tempat para pedagang itu, ada sebuah tempat pelelangan ikan bernama TPI Sumpang. Bau amis segera menusuk hidung setelah kami masuk di kawasan becek tempat ikan-ikan dilelang itu. TPI dalam ukuran tidak begitu besar itu dikepung oleh sejumlah kios berderet rapi. Ada kios telepon, voucher, warung makanan, dan sebagainya. Wajah pasar nelayan di pinggir pantai.

Pukul enam lewat, gelap perlahan mulai menyergap pantai. Matahari baru saja amblas ke dalam samudra di horizon Barat. Menyisakan semburat jingga keemasan di langit. Kapal-kapal bagang sudah mulai menyalakan lampu-lampunya. Pendaran lampu bagang pun mulai menghiasai pantai yang mulai gelap.

Sebelum hengkang dari pantai, kami bertemu dengan seorang nelayan. Namanya Muhamad Nur, 36 tahun. Lelaki kelahiran Palopo ini mengaku sudah 20 tahun menjadi nelayan di Barru. “Bapak Nur tidak melaut sekarang,” tanya kami sambil menunjuk sebuah perahu motor yang bertolak dari pantai. “Tidak, kami melaut tiga hari lagi,” katanya.

Nur biasanya menggunakan perahu bagang untuk melaut. Meski belum mempunyai perahu sendiri, ia bersama 13 temannya melaut dalam satu perahu mirip laba-laba itu. “Sekarang, agak susah cari ikan. Jumlah ikan sepertinya berkurang. Tidak seperti tahun-tahun lalu yang banyak ikannya. Banyak nelayan yang rugi karena hasil tangkapnya tidak sesuai harapan,” kata bapak anak dua ini.

Nur dan kawan-kawannya memulai bertolak dari pantai pukul lima sore dan pulang pukul lima pagi. Tapi, biasanya bisa pula sampai berhari-hari. Tergantung hasil tangkapan, ketersediaan bahan bakar, maupun kesepakatan anggota kapal. Setelah melihat kondisi air laut, pukul 10 malam, mereka memutar jaring. “Dua atau tiga jam kita tarik. Biasanya untuk memutar dan mengangkat jaring ini kami lakukan bersepuluh,” kata Nur.

Lautan menjadi tantangan tersendiri bagi nelayan. “Tantangannya, musim Timur begini biasanya angin tidak begitu besar. Curah hujan pun berkurang. Pasa masa-masa ini, kami biasanya melaut. Kalau banyak angin dan hujan, kami tidak melaut. Saya memilih pulang ke kampung halaman di Palopo. Ini terjadi pada akhir dan awal tahun. Bulan keempat, kami sudah kembali ke sini,” imbuh Nur.

Kurangnya hasil tangkapan menjadi keprihatinan Nur sendiri sebagai nelayan. Apalagi hasil tangkapan itu untuk menghidupkan asap dapur keluarga dan menyekolahkan dua anaknya yang duduk di Sekolah Dasar dan satunya masih berumur tiga tahun itu.

“Untungnya tidak tentu tergantung hasil tangkapan. Rata-rata Rp 500 ribu per malam. Ini masih dibagi untuk 13 orang. Biasanya kalau dapat 10 juta kita bagi dua menjadi lima juta. Lima juta untuk orangnya bagan dan lima juta untuk anggota. Lima juta dibagi menjadi 14 anak dan masing-masing orang bisa mendapatkan Rp 300 ribu per bulan,” kata Nur sambil sesekali melempar pandangan jauh ke laut.

Pantai sudah gelap. Malam sudah mulai menyempurnakan dirinya. Di kejauhan gemerlap lampu-lampu kapal bagang menghiasai lautan. Terpantul pelan bersama gelombang yang menimbulkan riak dan suara ombak pantai yang khas. Lampu-lampu berkekuatan 250 watt dan berjumlah 70 buah di setiap kapal bagang itu seakan berlomba dengan bintang-bintang yang sudah mulai bertaburan di angkasa. Pertanda sudah malam...

No comments: