Tuesday, January 31, 2006

Memotret Silaturahmi Lima Gunung

Matahari tampak masih condong di Timur. Udara dingin dan angin pegunungan terasa menyapu pelan tubuh saat kami mulai menaiki salah satu lereng Merbabu. Kota Muntilan, Magelang, sudah semakin jauh dari kami. Dusun demi dusun sudah dilewati dengan sepeda motor yang naik turun bukit. Jalanan yang meliak-liuk dan curam menambah atmosfer pertualangan siang itu.

Setengah jam, sepeda motor itu membawa kami sampai tempat tujuan. Desa Petung namanya. Suasana riuh itu membuat Dusun Petung, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah menjadi berbeda dari biasanya. Dusun yang terletak di lereng Gunung Merbabu itu menjadi tempat Festival Lima Gunung yang rutin digelar tiap tahun, Minggu (14/8). Festival ini merupakan pagelaran seni budaya dan ajang kebersamaan dari masyarakat lima gunung, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Menoreh, dan Sumbing. Festival yang berlangsung ke-4 kalinya ini digelar dari pagi sampai larut malam.

Saat penulis memasuki kampung, suasana Petung tampak eksentrik. Di pinggir jalan, dipasang instalasi seni terbuat dari jerami dan anyaman daun kelapa atau bleketepe. Warga bercampur dengan pengunjung, wartawan, sudah tumpah ruah di jalanan, siap menyerbu arena festival. Para among tamu tampil dengan pakaian antik dan unik. Dengan kostum berupa ikatan jermai, tubuh yang diberi cat warna hitam putih, kerincingan diikatkan di kaki, dan ketongan kecil di tangan, para among tamu menyambut warga dengan ramah.

Persiapan festival dimeriahkan dengan tampilan warok bocah Dusun Dayugo Merbabu pada pagi menjelang siang. Dilanjutkan dengan kuda lumping Gedog dari Dusun Krogowanan, ritual lima gunung, Bendrongan Dusun Sajen pimpinan Joyo Salim, dan dilanjutkan dengan kolaborasi seniman Ismanto-Wirawan dengan kostum hijau-hijau menggambarkan mahkluk penunggu Merapi.

“Ini sudah dilakukan empat kali. Ini menjadi bentuk silaturahmi dan kekeluargaan antar gunung. Mereka saling mengisi dalam komunitas bersama. Selain itu kita juga mengisi ruang untuk kesenian dan kebudayaan,” kata Rakmat Murti Waskito, koordinator Festival saat ditemui Penulis di sela-sela acara.

Menurut Waskito, tradisi kebudayaan ini diprakarsai oleh Sutanto, seniman dan budayawan. Festival pertama dan kedua di Dusun Warangan, yang kedua diadakan di Dusun Gejayan, dan keempat di Petung. Pada festival ini, tema yang mau diangkat diberi judul “Nyanyian Kepundhan.” Kepundhan menurut Waskito merupakan isi perut sebuah gunung. “Semangatnya seperti kepundhan ini. Ambil contoh Merapi. Isinya selalu menyembur terus. Nah, kita seperti itu. Itulah kehidupan, terus ada gerak,” imbuh seniman tari ini.

Waskito juga menunjuk gunungan dalam pewayangan sebagai inspirasi. Di gunungan, ada gambar hewan, rumah, tumbuhan, kalamakara (kepala raksasa). “Itulah kehidupan manusia di alam, semangat dari Nyanyian Kepundhan,” katanya.

Semangat mencintai alam melalui kebudayaan inilah yang menjadi tujuan implisit dari festival itu. “Kita mau memberi gambaran saja untuk menghargai alam. Di Merapi, pasir dieksploitasi. Di Menoreh, marmer dikeruk. Di lereng Merbabu, hutan dibabat. Ada perusakan atau pengolahan yang tidak baik. Nah, lewat kebudayaan, kita mau menyemangati manusianya lagi untuk menghargai alam lagi,” katanya.

Bukan kritik sosial atas perusakan alam semata yang mau dipesankan dalam acara itu. “Sebenarnya ada. Tapi, kita tidak mau mengkritik. Apalagi kalau dikritik tidak ada perubahan juga tidak ada gunanya,” kata Waskito.

Petung menjadi saksi sinergi energi dari lima Gunung. Waskito menyadari sharing energi inilah yang terjadi di dalam Festival itu. “Kelompok-kelompok kita kumpulkan bersama. Semua tumpah ruah dalam satu bentuk kegiatan. Di sana, ada ritual. Nah, ritual itu kan energi. Energi itu kita jadikan satu. Bukan kita mau menyatukan manusianya, menyatukan ide-idenya, melainkan semangatlah yang menyatukan kita. Yang dimaksud di sini tak lain adalah semangat pertanian, semangat desa, khususnya pegunungan,” katanya.

Komunitas-komunitas kesenian di lereng gunung itu sudah mulai tercuim geliatnya. Di luar festival itu, komunitas-komunitas itu masih saling berelasi. Dusun Tutup Ngisor yang setiap memperingati Tahun Baru Jawa (Suro) menggelar acara yang dinamakan Suran. Dalam acara Suran, semua komunitas pegunugan juga diundang. Mereka berdatangan karena saling bertukar informasi. Tanpa harus diundang resmi, mereka mengajukan diri untuk menampilkan kesenian mereka. Demikian juga yang dilakukan desa-desa lain. Dusun Warangan melakukan acara Merdi Desa setiap musim panen tiba.

Sore hari, festival resmi dibuka dengan Nyanyian Jiwa dari Dusun Tutup Ngisor. Nyanyian yang dibawakan dengan kostum jubah putih dan cokelat ini dipimpin oleh Sitras Anjilin, ketua komunitas Cipta Budaya. Dilanjutkan dengan reog dari Gejiwan lereng Merapi, Soreng dari Gejayan Merbabu, kudalumping, Ndayakan dari Dusun Petung, dan jathilan anak. Tak luput, pemukulan gong dilakukan dari perwakilan lima gunung ditambah Sean Fakelar, wakil Hotel Aman Jiwo, mitra penyelenggaraan acara itu.

Saat malam tiba, suasana dusun tambah ramai. Lampu-lampu sentir dengan balutan daun jerami mewarnai jalanan dusun Petung. Malam tambah eksotik. Warga masih antusias mengikuti tontonan gratis itu. Agenda malam dibuka dengan tabuhan kendang dari komunitas kentrungan asal Surabaya. Berlanjut dengan kudalumping anak, wayang wong dan wayang menak dari Tutup Ngisor.

Wayang dimainkan dengan bahasa Inggris. Karena baru pertama kalinya tampil di depan beberapa turis asing, tampilan menjadi kocak dan suasana jadi ‘ger-geran’ (penuh nuansa kocak-red). Lalu, ada tarian kontemporer dari kelompok Waskito yang mengusung tajuk ‘Gua Garbaning Wanita.’ Tarian kontemporer ini dimainkan oleh satu penari dan 30 pemain musik. Menurut Waskito, tema ini memposisikan alam seperti seorang perempuan. Kehidupan pertama ada di dalam rahim perempuan. Rahim itulah alam pertama yang ditinggali manusia. “Memang, semangat perempuan itu luar biasa,” katanya.

Acara masih berlanjut dengan truntung dan Lengger dari Dusun Warangan dan ditutup dengan ketoprak lesung dari Dusun Petung.Festival yang padat acara itu dikuti berbagai kelompok, warga dari beragam latar belakang. Semua orang tumpah ruah dalam kegembiraan bersama. Dari pantuan, banyak dari komunitas budaya itu berasal dari umat Gereja yang bercampur dengan umat lain untuk bersama melestarikan budaya. Tampak Romo Kirdjito Pr, pastor Paroki Sumber dari lereng Merapi datang menyambangi. Semua warga tampak menikmati acara bersama itu. Tak peduli dengan isu penentangan pluralisme yang lagi hangat diperbincangkan.

No comments: