Pojok jalan Sang Timur, depan gedung paroki dan dekat warung nasi padang, kini lengang. Sosok lelaki, umur 35 tahunan, tidak pernah nongkrong lagi di pojok jalan itu. Sudah dua bulan, saat sosok itu raib abadi alias mati. Maskun, nama lelaki itu. Ia mati karena ginjalnya aus, tak berfungsi lagi. Namun, bayangan Maskun tak juga hengkang dari ingatanku. Bahkan, berkali-kali bayangan itu muncul dengan jelas. Berkali-kali pula, ia menyapaku, “Mas Sigit, mampir!” Membangkitkan rasa bersalahku. Aku pun tak kuasa menyembunyikan ketakutanku.
Rasanya, ingin selamanya kuhindari pojok jalan itu. Memang, pojok jalan itu sering aku lalui kalau aku mau ke redaksi majalah paroki,. Di pojok itu, hampir setiap saat, Maskun nongkrong bersama tukang tempe goreng, dan selalu menyapaku. “Mas Sigit, mampir!” katanya saat aku melaju dengan Honda Supra-X ku.
Aku kenal Maskun sudah lama, meski tidak intensif. Aku kenal dia saat ada pelatihan fasilitator di Forum Kemanusiaan (FK), sebuah komunitas orangmuda yang peduli pada pendidikan anak-anak miskin. Kantor FK berderet dengan rumah Maskun. Tak jauh dari gedung gereja. Sehari-hari, ia menunggui rental play station yang tak sepi diserbu anak-anak dari kampung Satelit. Kampung Satelit terpisah tembok 15 cm dengan kompleks gereja. Namun, keduanya tampak sebagai dua realitas yang kontras. Satelit sarat dengan rumah-rumah padat, bangunan reot, tampak kumuh, dan berwajah miskin. Gedung paroki tampil mentereng dengan pembangunan gedung yang mewah dan berwajah kaya.
Sapaan Maskun sering kuanggap sepi. Toh, bila aku tanggapi sebatas lambaian tangan, sapaan singkat, maupun bunyi klakson motorku. Tapi, jarang sekali aku menyempatkan diri untuk mampir. Namun, pojok jalan ini tidak sebatas kenangan. Ia selalu menggelisahkanku. Membuatku sedikit gemetar. “Apakah aku ikut membunuhnya?” Pertanyaan aneh, tapi ada sejarahnya.
Sebulan sebelum maut menjemputnya, aku dapat kabar dari Enim, temen FK, bahwa Maskun sakit dan dirawat di Rumah Sakit. Enim, gadis berjilbab, menghampiriku suatu hari. Kata Enim, Maskun terancam pulang dari rumah sakit karena kekurangan biaya. Padahal, sakitnya lumayan parah. Aku turut bersimpati. Enim memintaku menolong Maskun. Aktivis perempuan itu memintaku untuk menulis di majalah paroki perihal sakitnya Maskun. Aku menyanggupinya karena di majalah paroki ada rubrik peduli kasih. Rubrik ini khusus diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan bantuan dana dan dukungan moral. Aku pun sering ditugasi mengisi rubrik ini.
Aku bersyukur, dengan menulis di rubrik ini ternyata aku bisa membantu banyak orang. Tulisan yang berdaya guna. Dulu, berkat feature yang kutulis, Rendie, bocah kecil asal Kepa Duri mampu berobat sampai sembuh di RS Graha Medika. Rendie mengalami luka infeksi di bagian perut akibat diserempet bus. Lukanya membusuk, sampai dihiasi belatung. Kemiskinan memaksa keluarga Rendie angkat tangan mengobatinya secara layak. Ayahnya berprofesi sebagai tukang listrik sekolah dan mamanya mengalami gangguan mental. Tapi, feature itu mampu memanggil banyak orang untuk membantu penyembuhan Rendie. Rendie akhirnya bisa sekolah lagi.
Ada Rendie, ada juga Iwan. Iwan adalah salah seorang korban kerusuhan Mei 1998. Tubuhnya cacat akibat dibakar dengan bensin di Cempaka Putih. Sosoknya, aku wawancara persis di lima tahun sejak kerusuhan itu terjadi, 14 Mei 2003. Lagi, featureku mampu menggugah seorang ibu muda yang setelah membaca tulisan itu, ingin bertemu dengan Iwan dan menyerahkan sedekah.
Masih ada sosok Frederick, bayi laki-laki yang mempunyai kelainan jantung. Setelah membaca featureku, banyak donatur menyokong orangtua Frederick yang nota bene tidak mampu membiayai seluruh pengobatan. Frederick kini menjadi bocah sehat dan menggemaskan. Ada lagi, sosok Sin An, lelaki muda, yang kelainan ginjal dan berobat di Cina. Lagi-lagi, tulisan yang kubuat mampu mengetuk orang lain untuk membantu sesamanya. Dengan itu, aku bersyukur. Tenyata, aku pun bisa bersolider dengan orang lain dengan tulisan. Karenanya, aku senang bila mengisi rubrik feature ini.
Namun, lain cerita dengan Maskun. Semula, aku semangat menjanjikan menulis featurenya. Bahkan, sempat aku menghubungi redpelku, meski tanggapannya kurang jelas. Tapi, masa-masa itu adalah masa di mana aku lagi bosan-bosannya berurusan dengan Gereja. Males dan tak mau peduli. Gereja sungguh berwarna negatif di mataku. Lelah juga rasanya beraktivitas di dalam Gereja. Bahkan, tulisan-tulisanku yang bernada kritik malah membuat semakin banyak orang terasa mencibirku. Aku merasa kesepiaan dan rasanya jadi orang asing di negeri sendiri. Namun, mungkin ini hanya perasaanku saja. Kejengkelanku semakin menjadi dengan keputusanku tidak mau berelasi dengan paroki lagi. Termasuk tidak mau berurusan dengan media paroki lagi. Aku mau jeda. Ini terjadi sampai beberapa minggu...
Sampai akhirnya...
Di suatu malam, pukul 23.50, ponselku tiba-tiba berbunyi. Memecah keheningan dan kenyamanan diriku yang nyaris lelap. “Halo, ini mas Sigit ya, temennya Maskun di FK. Ini saya, adiknya Maskun. Cuma mau mengabarkan, Maskun baru saja meninggal. Minta tolong untuk meneruskan kabar ini ke teman-teman FK lainnya ya. Terimakasih,” demikian suara perempuan berbicara di ponselku.
Sontak aku kaget. Rasanya tidak percaya. Kesedihan dan kekecewaan dengan cepatnya menyapu keheningan dan kenyamanan malam itu. Aku baru saja ingat akan janjiku. Janji untuk menulis feature di rubrik peduli kasih tentang sakitnya Maskun. Aku lupa! Benar-benar lupa. Dan kini sudah terlambat untuk menuliskannya. Aku marah besar dengan diriku sendiri. Aku gelisah. Tak tahu apa yang harus kuperbuat. Sepintas pertanyaan menakutkan itu menggelayut dalam hati, “Aku turut andil dalam kematiannya?”
Aku mencoba tenang. Untuk memastikan, aku telpon balik via ponsel yang sedang aku charge.
“Mbak, ini aku temennya Maskun yang tadi. Sekarang, Maskun di mana?” tanyaku.
“Sudah lama, di rumah. Ia meninggal di rumah,” katanya dengan nada sendu.
“ Lalu, kok, kamu tahu nomer teleponku dan apakah teman-teman yang lain sudah dihubungi?” tanyaku.
“Saya lihat di buku telponnya Maskun. Dan di situ, tertulis nomernya Mas Sigit. Saya belum menghubungi temen yang lain. Tolong ya Mas, tolong sampaikan pada teman-teman yang lain...” katanya lagi.
Jawaban ini kembali menusuk hatiku. Aku rasa, akulah kawan pertama yang diberi kabar soal kematian Maskun. Kenapa, perempuan itu memilih nomer ku di buku telponnya Maskun? Kenapa tidak pada nomer-nomer yang lain. Aku merasa Maskun sendirilah yang memilihkan nomer itu. Seolah-olah, Maskun mau menagih janjiku. Sapaan-sapaan di pojok jalan itu, seakan kembali terdengar. Aku jadi gemetar, sedih campur rasa bersalah. Aku tidak bisa tidur.
Aku mulai bermonolog. Kesalahan terbesarku, yakni aku lupa menulis feature buat Maskun. Padahal, aku sudah menyanggupi. Namun, kejengkelannku dengan paroki membuatku lupa semuanya. Lupa pada Maskun, sampai akhirnya sudah terlambat. Maskun sudah terlanjur pergi, tak kuasa melawan sakitnya. Andaikan aku menulis featurenya. Mungkin saja, banyak orang terketuk untuk memberi donor, dan meringankan biaya perawatannya. Maskun tidak perlu mundur dari rumah sakit. Ia pasti akan dirawat dan kemungkinan juga bisa sembuh. Ia akan sembuh, tetap hidup, dan terus menyapaku di pojok jalan saat aku lewat.
Tapi, realitas bicara lain. Maskun mundur dari rumah sakit karena tidak punya biaya. Di rumah, ia menggumuli sakitnya, sampai kematian menghampirinya. Mungkin pula, realitas akan berjalan lain kalau aku tidak lupa menuliskannya. Bukannya aku sombong, tapi perasaan bersalah sempat menjadi momok hatiku. Aku turut membunuhnya? Penyakit itu sedang membunuhnya, dan aku mempercepat kematiannya?
Kalau pun itu kutulis sekarang, jelas tidak ada gunanya. Tulisanku juga tidak mampu membangkitkannya dari kubur. Tulisanku juga takkan mampu menghapus nama yang terpatri di batu nisannya. Semua sudah terlambat. Tinggal sejarah, sejarah penyesalan.
Akhirnya, aku aku angkat tangan. Aku bukan Tuhan. Biarlah kematian menjadi urusan Tuhan, sama seperti ketika kehidupan itu ada. Ada dan tidak ada bukan wewenangku. Aku hanya menyadari bahwa aku ada, dan berusaha memelihara dan mengembangkan ada itu, sampai waktunya ada itu tidak ada lagi.
Aku belajar banyak dari kematian Maskun. Yang jelas, kini aku sadar, menulis itu pekerjaan mulia. Menulis juga panggilan. Menulis bukan suatu yang main-main. Paling tidak, Maskun memberi pelajaran yang tidak bakalan kulupakan.
Sementara itu, pojok jalan itu tetap terlihat lengang. Sepi. Basah oleh hujan yang mengguyur sore tadi...
“Saya lihat di buku telponnya Maskun. Dan di situ, tertulis nomernya Mas Sigit. Saya belum menghubungi temen yang lain. Tolong ya Mas, tolong sampaikan pada teman-teman yang lain...” katanya lagi.
Jawaban ini kembali menusuk hatiku. Aku rasa, akulah kawan pertama yang diberi kabar soal kematian Maskun. Kenapa, perempuan itu memilih nomer ku di buku telponnya Maskun? Kenapa tidak pada nomer-nomer yang lain. Aku merasa Maskun sendirilah yang memilihkan nomer itu. Seolah-olah, Maskun mau menagih janjiku. Sapaan-sapaan di pojok jalan itu, seakan kembali terdengar. Aku jadi gemetar, sedih campur rasa bersalah. Aku tidak bisa tidur.
Aku mulai bermonolog. Kesalahan terbesarku, yakni aku lupa menulis feature buat Maskun. Padahal, aku sudah menyanggupi. Namun, kejengkelannku dengan paroki membuatku lupa semuanya. Lupa pada Maskun, sampai akhirnya sudah terlambat. Maskun sudah terlanjur pergi, tak kuasa melawan sakitnya. Andaikan aku menulis featurenya. Mungkin saja, banyak orang terketuk untuk memberi donor, dan meringankan biaya perawatannya. Maskun tidak perlu mundur dari rumah sakit. Ia pasti akan dirawat dan kemungkinan juga bisa sembuh. Ia akan sembuh, tetap hidup, dan terus menyapaku di pojok jalan saat aku lewat.
Tapi, realitas bicara lain. Maskun mundur dari rumah sakit karena tidak punya biaya. Di rumah, ia menggumuli sakitnya, sampai kematian menghampirinya. Mungkin pula, realitas akan berjalan lain kalau aku tidak lupa menuliskannya. Bukannya aku sombong, tapi perasaan bersalah sempat menjadi momok hatiku. Aku turut membunuhnya? Penyakit itu sedang membunuhnya, dan aku mempercepat kematiannya?
Kalau pun itu kutulis sekarang, jelas tidak ada gunanya. Tulisanku juga tidak mampu membangkitkannya dari kubur. Tulisanku juga takkan mampu menghapus nama yang terpatri di batu nisannya. Semua sudah terlambat. Tinggal sejarah, sejarah penyesalan.
Akhirnya, aku aku angkat tangan. Aku bukan Tuhan. Biarlah kematian menjadi urusan Tuhan, sama seperti ketika kehidupan itu ada. Ada dan tidak ada bukan wewenangku. Aku hanya menyadari bahwa aku ada, dan berusaha memelihara dan mengembangkan ada itu, sampai waktunya ada itu tidak ada lagi.
Aku belajar banyak dari kematian Maskun. Yang jelas, kini aku sadar, menulis itu pekerjaan mulia. Menulis juga panggilan. Menulis bukan suatu yang main-main. Paling tidak, Maskun memberi pelajaran yang tidak bakalan kulupakan.
Sementara itu, pojok jalan itu tetap terlihat lengang. Sepi. Basah oleh hujan yang mengguyur sore tadi...
@ malam, saat terkenang Maskun
No comments:
Post a Comment