Monday, February 06, 2006

Pramoedya in The Blank Cassette

Kecewa. Cukup sedih. Itulah kata yang tepat menggambarkan suasana hatiku setelah kaset untuk merekam orasi Pramoedya Ananta Toer ternyata blank. Kosong. Tanpa kata-kata Pramoedya yang keluar dalam suaranya yang tegas-tegas parau. Hanya suara ‘kemresek’ (berisik ala bunyi hujan) yang ada. “Dasar tape keparat!” umpatku malam ini, malam setelah menghadiri perayaan Ulang Tahun Maestro Sastra itu yang ke-81, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Senin (6/2).

Padahal aku sempat berbangga dan optimis bakalan membuat feature tentang sepenggal kisah Pramoedya dengan bagus. Di malam itu, aku juga sempat merekam komentar beberapa orang tentang sastrawan yang baru saja menerbitkan novel terbarunya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005). Misalnya, Andreas Harsono, orang yang baru saja mengomentari weblogku ini. Dialah jurnalis senior yang sudah melalang buana dan menjadi guru jurnalistik. Dia pernah berguru pada Robert Vare, mantan editor The New Yorker dan juga Bill Kovach, jurnalis kondang dan kurator Newman Foundation. Aku semakin mengenal dan diam-diam belajar jurnalistik darinya lewat blognya,
http://www.andreasharsono.blogspot.com Aku mengutarakan harapanku di web blog bisa bertemu dengannya. Eh, tak lama dan tak disangka, ketemu juga di Teater Kecil.

Aku juga sempat mewawancarai Muhidin M. Dahlan yang mengarang novel “Tuhan Izinkan Aku jadi Pelacur.” Sejauh aku ingat, dia mengaku dua hari lalu bertemu dengan Pramoedya. Dia mengaku mengagumi Pramoedya soal keberanian dan ketekunannya. Pramoedya tekun membuat kliping.

Tak kalah menarik, aku juga sempat mewawancarai Max Lane. Max Lane menjadi penerjemah pertama Tetralogi Pramoedya (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) dalam bahasa Inggris. Bersama istrinya, Faiza Mardzoeki, Max tinggal di Australia dan mengajar tentang Indonesia di Sidney University. Faiza sendiri sedang memproduseri teater yang mengambil salah satu tokoh dalam novel Pram, yakni Nyi Ontosoroh. Rencananya, teater ini akan pentas Agustus mendatang. Untung saja, aku mendapatkan nomer kontak Faiza dan alamat email Max Lane. Segera, malam ini juga, aku menyusun pertanyaan dan akan aku kirimkan ke Max Lane lewat email. Waduh, sayang sekali. Inilah namanya sial. Tapi, aku bisa merekam sepenggal jejak Pram dengan kameraku, plus memoriku.

Pramoedya, dalam ingatanku, tetap tampil seperti sebelumnya. Masih sama seperti ketika berorasi di HUT-nya yang ke-80 tahun lalu. Ia tampil sederhana, penuh senyum. Meski beberapa saat lalu, Pram dikabarkan sakit. Dibalut dengan kemeja putih lengan panjang dan celana training warna coklat susu bergaris putih, Pram masuk ke Teater Kecil. Dengan langkah pelan dan ditemani tongkatnya, Pram melihat-lihat dulu poster-poster bukunya yang di pamerkan.

Ditemani oleh budayawan Taufik Razen, Pram berdialog dengan para audiens yang kebanyakan adalah orang muda. Pram masih lantang. Khususnya, bila berkomentar tentang orang muda. Meskipun, ia senantiasa dibisiki Taufik lantaran pendengarannya sudah kurang. Ia mengulang yang pernah ia sampaikan, bahwa orang muda adalah pembuat sejarah Indonesia. Tapi, ia menyayangkan tidak diperhatikannya sejarah Sumpah Pemuda oleh orang muda. Lebih-lebih, orang muda belum mampu melahirkan seorang pemimpin. Pemimpin seperti apa? Jawabnya tegas, Soekarno. Ini juga dikarenakan tidak dibangunnya sebuah karakter.

Sastrawan kelahiran Blora, 6 Februari 1925 ini mengajak orang muda untuk produktif. Katanya, bangsa ini lebih banyak konsumsinya ketimbang produktifnya. Lebarnya jurang antara konsumsi dan produksi itu telah melahirkan ‘benua’ yang namanya korupsi.

Dialog cukup menarik. Seorang muda menanyakan soal rencana seorang produser memfilmkan novel Bumi Manusia. Pram menjawab bahwa Bumi Manusia boleh difilmkan asal diganti dengan uang Rp 1,5 miliar. Sontak, jawaban Pram memicu reaksi beragam. Aktivis Yeni Rosa Damayanti, berteriak kecewa. Pram dinilainya seperti seorang kapitalis. Yeni protes kenapa karya-karya Pram dinilai dengan uang dan kawatir kalau ada anak-anak Negeri yang ingin mengekspresikan karya-karyanya tidak mampu lantaran tidak punya uang. Pram sendiri menjawab itu sudah menjadi hak cipta dari karya-karyanya. Ia bebas memperlakukan karya-karyanya itu. Dan ia prihatin banyak orang yang tidak peduli dengan karya-karyanya sejak tahun 1965 sampai kejatuhan Soeharto.

Yang lain menimpali dengan ketidaksetujuan dengan Yeni. Katanya, Pram berhak dengan karya-karyanya. Patokan harga tinggi itu layak buat karya besar seperti karya Pram. Ini tidak lepas dari konteks historis Pramoedya sendiri. Toh, katanya, penulis di negeri ini kurang dihargai. Max Lane juga tidak setuju Pram dikatakan bergaya kapitalis. Yang kapitalis justru para produsen film, pengarang tidak. Sementara, Faiza Mardzoeki mengatakan bahwa ia sudah dapat izin gratis untuk menampilkan karya Pram dalam teater dengan tokoh Nyi Ontosoroh. Kata Faiza, ini bukti Pram bahwa Pram cukup membedakan mana yang untuk rakyat dan mana yang bukan. Seorang lagi menambahi bahwa karya Pram pernah diminta produser luar negeri untuk difilmkan. Pram menolak keras. Pasalnya, Pram ingin karyanya difilmkan oleh anak-anak Indonesia sendiri.

HUT mantan penghuni bui Pulau Buru itu juga dimeriahkan dengan pentas seni dari orang muda. Antara lain, Rieke Diah Pitaloka dengan pembacaan puisinya, pentas musik grup Local Ambience, Adit (cucu Pram) grup, dan grup Marginal. Grup Marginal, grup anak muda Punk, tampil meriah karena suporternya tumpah di depan panggung ikut berjoget. Bahkan, grup ini memberi gelar Pramoedya sebagai Datuk Punk, selain julukan Sastrawan 32 batang rokok.

Itulah sekilas laporan pandangan mata tentang Pramoedya. Bagiku, malam itu adalah malam inspirasi. Eksistensi Pramoedya adalah menulis. Apalagi, Sang Maestro pernah berpesan, "Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari..."

[You can read this english version by clicking: english edition]

1 comment:

Yati said...

meski kasetnya blank...dirimu lebih beruntung, bisa bertemu dengannya langsung, mendengarnya, melihatnya....:) salam kenal!