Friday, July 07, 2006

Judas Returns



Hampir dipastikan
Injil Yudas tidak ditulis oleh Yudas sendiri

SOSOK kontroversial sejak 20 abad silam kini muncul lagi. Setelah The National Geographic melansir The Gospel of Judas, wacana tentang si pengkhianat Kristus itu pun menyeruak. Bahkan, edisi Indonesia dari Injil Yudas itu sudah diterbitkan pada Juni ini. Di tengah hiruk pergunjingan itu, kejelasan dan pengetahuan yang benar tentang Injil Yudas diperlukan. Sebagai ruang belajar bersama, Kafe Socrates, forum diskusi garapan Sie Komunikasi Sosial Paroki MBK menggelar diskusi bertajuk Buku Putih Sang Pengkhianat, Membaca Injil Yudas pada Minggu pagi (25/6) di ruang Petrus.

Diskusi yang dihadiri sekitar 50 orang ini mengundang J.N. Hariyanto SJ sebagai narasumber. Sebagai pembuka, pastor yang akrab dipanggil Romo Hari ini memberi paparan umum sepanjang sejarah. Menurutnya, Injil Yudas tergolong dalam Injil Gnostik. Khazanah Gnostik merupakan kumpulan tulisan dalam bahasa Koptik yang ditemukan di Nag Hamadi, Mesir. Gnostik lebih cenderung monisme-pantheisme. Dari dokumen bercorak gnostik itu, dikenal beberapa Injil lain, seperti Injil Thomas, Injil Maria, Injil Filipus, dan sebagainya. Yang terkenal adalah Injil Thomas.

Tidak mudah memahami aliran Gnostik ini. Ini merupakan aliran mistik esoterik yang dipercaya secara sinkretis dengan kekristenan oleh pengikutnya. Gnostik berasal dari ‘Gnosis’ (Yunani), artinya ‘pengetahuan’ yang diwahyukan pada manusia. Ada tawaran pengetahuan mengenai realitas Ilahi. Mengapa Gereja tidak mengakui injil Gnostik ini? Romo Hari membeberkan perbedaan paham antara ajaran Gnostik dan ajaran Kristen. Misalnya, ajaran Kristen mengatakan dunia merupakan karya cipta Allah secara aktif. Allah berkehendak dunia terjadi. Gnostik bicara, dunia merupakan luberan Allah tanpa dikehendaki. Iman Kristen mengajarkan, Yesus sungguh Allah dan sungguh manusia. Gnostik mengajarkan Yesus sebagai manusia super. Ajaran Kristen mengatakan, iman adalah anugerah Allah yang terbuka pada siapa saja. Gnostik bilang, itu sebagai anugerah eksklusif orang-orang terpilih.

Ajaran Kristen mengatakan, karena kehendak Allah untuk memulihkan hubungan dengan manusia yang berdosa, perlulah Allah bertindak untuk keselamatan manusia. Sementara, Gnostik mengajarkan Allah tidak mempunyai kehendak dan tidak berkepentingan dengan keselamatan manusia. Di Kristen, salib adalah solidaritas Allah terhadap manusia, supaya manusia mengalami keilahian. Di Gnostik, badan adalah halangan manusia menuju ke Allah sehingga perlu ditinggalkan. Di Kristen, manusia adalah Citra/Gambar Allah dan ikut serta bertanggung jawab terhadap ciptaan yang lainnya. Sedang Gnostik, manusia hanya salah satu cipratan hasil emanasi Allah, tidak mempunyai tanggung jawab terhadap cipratan lainnya.
Nah, Injil Yudas masuk dalam kategori Gnostik. Bagaimana Injil ini ditemukan? Sumber mengatakan Injil Yudas ditemukan dalam wujud papirus pada 1950-an. Berdasar hitungan radiokarbon, papirus ini berasal dari tahun 220-340. Ada ahli menyimpulkan, ini sebagai terjemahan naskah asli berbahasa Yunani pada 130-180. “Dengan ini, hampir dipastikan, Injil Yudas tidak ditulis oleh Yudas sendiri,” kata Romo Hari.

Akhirnya, pada tahun 1970-an, petani udik asal Mesir menemukan salinan Injil itu di Al Minya. Lebih dari 25 tahun naskah kuno itu beredar di pasar gelap barang antik, sebagai barang dagangan, dalam kondisi yang terus memburuk, sampai lembar-lembar papirusnya robek-robek dan rontok, sebagian menjadi fragmen kecil dalam ukuran milimeter. Baru pada tahun 2001, naskah yang sudah lusuh itu pun jatuh ke tangan ahli. Mereka berhasil merestorasi dan mengartikan pesan di dalamnya. National Geographic melangsir Injil Yudas versi Inggris pada 29 Juni 2006 bersama buku berjudul The Lost Gospel.

Sejarah Gereja mencatat Injil Yudas disebut oleh St. Irenius dari Lion sebagai bidaah dalam Adversus Haereses pada 180 Kandungan Gnostik Injil Yudas diperkuat oleh Origenes dan Epiphanes. “Sejak saat itu, Gereja menolak Injil ini. Irenius sudah lama beraksi. Jadi, tidak ada usaha menutup-nutupi. Seolah-olah ada, tapi disembunyikan selama ribuan tahun. Kalau orang membaca tulisan Irenius, akan tahu betul. Masalahnya, orang tidak suka membaca yang kayak ini,” kata Romo Hari.

Sebagai bagian Gnostisisme, Injil Yudas memandang kematian Kristus tidak ada artinya. Yesus sebagai korban salib menjadi kabur. Sosok Yudas dijadikan pahlawan. Ada interpretasi yang berbalikan dengan Injil yang diakui Gereja selama ini. Injil Yudas mengatakan, Yudaslah yang menjadi murid yang paling disukai Yesus. Dialah yang paling tahu tentang jati diri Sang Guru. Yesus mengatakan, para murid selama ini salah jalan. Yudas digambarkan sebagai murid yang baik dan taat pada perintah Yesus. Oleh karenanya, Yesus sendirilah yang menyuruh Yudas untuk menyerahkan diriNya untuk disalibkan. Ini bertujuan agar Yesus terbebas dari yang fana ini untuk menggenapi karyaNya.

Dengan pengkhianatan itu, Yudas justru melakukan pengabdian tertinggi. Melebihi murid-murid yang lain. Dalam Injil ini, dimuat berbagai dialog antara Yesus dengan Yudas. Yang unik dari Injil ini dan tidak ditemukan dalam keempat Injil yang diakui Gereja adalah Yesus yang tertawa.

Kafe Socrates tambah meriah saat dibuka ruang interaktif. Beragam pertanyaan dan tanggapan ditumpahkan di sana. Seorang peserta mengatakan, “Kehadiran Injil Yudas dan Da Vinci Code menjadi peluang bagi kita semua untuk mau belajar sejarah Gereja sendiri.” Romo Hari menanggapi, “Tapi, tidak semua orang mau membaca dan belajar. Inilah persoalannya.” Seorang lagi menimpali, “Ini juga harus didukung oleh bacaan-bacaan yang tersedia. Bagaimana kita mau membaca, kalau bacaannya tidak tersedia.” Diskusi yang berjalan hampir 2,5 jam itu ditutup dengan pengumuman edisi Kafe Socrates bulan depan yang tidak kalah menarik. “Diskusi semacam ini sangat baik untuk belajar bersama,” kata Romo Hari.

1 comment:

Efendi said...

hmmm.... ^^ nice article