AKU lunglai dan tidak berdaya di depan komputerku. Kamarku tiba-tiba seakan disekap oleh kesunyian yang dalam. Senyap laksana kuburan. Aroma kematian menusuk hidung dan berkecamuk di dadaku. Sesekali kulihat jam yang terpaku di dinding. Waktu begitu cepat. Seolah lepas kendali dari jalur biasanya. Detak-detak bunyi jam itu seperti derap langkah pasukan iblis lengkap dengan panji-panji kematian. Semakin lama, derap langkap itu semakin cepat dan keras, menggetarkan langit-langit hatiku.
Aku gelisah memikirkanmu. Kegelisahan itu muncul sejak pengadilan memutuskan hukuman mati untukmu dan dua orang temanmu. Kamu dituduh sebagai biang kerusuhan di Poso. Tidak ada lagi kesempatan bagimu buat bicara. Maut akan segera menyambutmu. Mulutmu tidak akan bisa lagi mengatakan yang benar. Andaikata itu benar, orang tidak bakalan membuka telinganya. Hukum harus dijalankan dan timah panas akan mengantarmu pada kematian. Memang pedih. Kamu juga tidak bisa lagi membawakan oleh-oleh hasil kerja keras untuk istrimu, menggandengnya, atau memeluknya. Kamu juga tidak bisa lagi semeja makan dengan kedua anakmu dan mendongeng cerita-cerita lucu untuk cucumu, kemudian mereka tertidur, kamu mencium kedua dahinya dan mengucapkan selamat malam. Dan kamu tidak bisa lagi bercengkerama bersama kawan-kawanmu, ditemani ubi bakar dan hangatnya sisa sinar matahari yang roboh ke Barat.
Jujur, aku tidak mengenalmu dan kita belum pernah berkenalan satu sama lain. Tapi, sungguh, aku memikirkanmu malam ini. Sebenarnya, aku ingin sekali menulis surat buatmu malam ini. Tapi, bagaimana aku bisa mengirimkannya. Malam semakin memuncak. Di puncak malam itulah kamu akan meregang nyawa. Dan aku tidak bakalan menjumpaimu bahkan semua orang di bumi ini tidak bakalan menjumpaimu. Sosokmu bakal ditelan angin malam. Dan tidak ada seorang pun yang tahu kemana angin malam itu membawamu.
Sungguh aku memikirkanmu. Andaikata aku jadi penguasa siang dan malam, aku pasti akan menghentikan seluruh detak jam di muka bumi ini atau membuatnya berjalan lamban. Aku mau kamu bisa punya waktu untuk menyuarakan kebenaran. Yang aku pikirkan adalah bagaimana supaya kamu tetap hidup, tetap menghirup udara yang sama dengan udara yang aku hirup. Tapi, malam jahanam ini telah memperdayaiku. Aku lunglai. Aku hanya bisa menulis kata-kata di layar monitor laptopku. Dan yang aku tulis ini tidak bakalan kamu baca. Hanya aku, malam, dan debu kamarku yang tahu.
Suara radio memecah malam dan semakin menggetarkan pilar-pilar hatiku. Panggung pengharapanku berderit. Dikabarkan saat jam menunjuk pukul sebelas malam kurang 15 menit, mobil kijang warna hitam meluncur menembus malam. Membawamu menjauh dari LP Palu, tempat kamu dan dua orang sahabatmu merajut pengharapan. Kijang hitam itu bagaikan kereta maut yang membawamu ke tempat pembantaian. Kamu dibawa ke daerah sekitar Bandara Mutiara Palu. Tidak ada yang tahu persis di mana kamu akan dieksekusi.
Malam semakin memuncak. Bagaikan merambah puncak Bukit Tengkorak, tempat Gurumu ribuan tahun silam meregang nyawa. Melepas jiwa ke langit-langit. Melepas jiwa di depan orang-orang bodoh dan orang-orang takut, dan di depan orang-orang yang sangat dicintai-Nya. Dan sekarang, kamu sedang menaiki Bukit Kematian itu.
Aku jadi teringat sosok perempuan Afrika yang pernah aku tulis di pembukaan artikelku untuk menentang hukuman mati. Perempuan itu dihukum karena kedapatan hamil di luar nikah. Ia tidak beruntung seperti Maria saat mengandung orok Tuhan dan menyingkir ke Mesir. Perempuan itu dituduh berzina. Dan menurut hukum, ia harus mati dirajam. Hukuman pun dilaksanakan. Badan perempuan itu dikuburkan, tinggal kepalanya di atas tanah. Kepala itu lalu dilempari batu oleh penonton sekitarnya. Sorak-sorai dan riuh menyertai batu-batu yang menghujam ke kepala perempuan itu. Meski perempuan itu berteriak-teriak kesakitan dan minta ampun, hukuman mati harus dijalankan. Batu-batu terus ditimpukkan, sampai suara tangis dan permintaan ampun tidak terdengar lagi. Kepala itu terkulai, berdarah, dan mati.
Aku takut sekali, kematian perempuan itu juga akan menjadi kematianmu. Dan itu jelas, derap langkah pasukan iblis berpanji kematian semakin dekat. Aku seperti melihat malaikat maut sedang menatapku dari balik bayang-bayang malam. Matanya tajam dan memancarkan kilatan cahaya merah seperti api neraka. Ia mengibarkan senyum kemenangan dari bibirnya yang berasap dan berbau mayat. Sebuah senyum kelicikan. Senyum yang pernah aku lihat di bibir-bibir pejabat dan tokoh-tokoh politik di layar televisi. Senyum sebuah hati yang tamak akan kenikmatan dan menghalalkan darah-darah tak berdosa. Ingin sekali aku mencekik iblis jahanam itu dan melemparkannya di dasar neraka yang paling dalam. Tapi, lagi-lagi aku lunglai. Malam jahanam telah memperdayaiku.
Aku bertanya pada seluruh isi kamarku. Pada buku-buku, kasur, bantal, laptop, lampu, cicak, dan pada udara kamar yang gerah. Mengapa orang, negara, mengklaim diri mempunyai otoritas tertinggi untuk mencabut nyawa manusia? Bukankah nyawanya tidak bisa dikembalikan lagi? Siapa yang bisa mengembalikan nyawanya? Bukankah hidup manusia itu memunyai tujuan pada dirinya sendiri? Ia tidak bisa dijadikan sarana semulia apa pun. Tidak ada keadilan yang dicapai dengan cara-cara tidak adil. Tidak ada ketertiban umum yang dicapai dengan cara-cara tidak tertib. Demikian juga, tidak ada kehidupan yang dihormati dengan cara-cara melenyapkan kehidupan itu sendiri. Hidup manusia itu hak asasi yang paling asasi. Hidup itu sendiri suci dan bermakna. Sejahat-jahatnya orang, hidup di dalam dirinya tidak boleh diusik. Hanya Penguasa siang dan malam yang berhak mencabut hidupnya. Negara tidak bisa. Hukum manusia juga tidak bisa. Hidup manusia ada di atas hukum apa pun. Hukum di dunia ini diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. Sungguh Negeri ini tidak beradab ketika nyawa manusia dijadikan komoditas politik kotor.
Kau tahu! Lagi-lagi aku bertanya pada seluruh isi kamarku. Sebenarnya, seluruh persoalan di muka bumi ini terjadi gara-gara orang tidak lagi menghormati kehidupan itu sendiri. Entah itu kejahatan, politik kotor, korupsi, kekerasan, perusakan lingkungan, sampai perselingkuhan. Itu terjadi karena orang tidak lagi hormat dan sujud pada kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, mengapa kehidupan belum dihormati di Negeriku ini? Seluruh isi kamarku terdiam. Mereka bisu dan tidak ada yang menjawab. Cicak-cicak di langit-lagit pun memilih hengkang dan sembunyi di balik almari. Dan malaikat neraka itu mentertawakanku.
Sampai akhirnya dari kejauhan sana terdengar bunyi letusan. Aku tersadar dari jeratan kegelisahanku. Malam sudah ada di puncak. Pukul 00.15 WITA, timah panas keluar dari laras senapan dan merobek tubuhmu dan dua orang sahabatmu. Mengoyak jantungmu. Darahmu tertumpah di tanah yang berembun. Jeritanmu menggetarkan langit-langit surga tempat Sang Penguasa siang dan malam bertahkta dan merajai semesta raya. Tubuhmu roboh ke tanah membuyarkan debu-debu yang terbalut embun pagi. Debu yang mengingatkan manusia pada asalnya. Semua tertunduk. Malam pun jadi layu. Angin enggan bergerak dan pohon-pohon memilih mematung sejenak.
Aku juga terkulai. Jari-jariku tidak bisa lagi aku gerakkan. Aku bersujud. Aku berdoa. Aku terdiam. Apakah ini kekalahan hidup atas maut? Tidak bagiku. Maut tidak bakalan mengalahkan hidup. Kultur kematian harus ditandingi dengan kultur kehidupan. Aku pun terkulai lama sampai matahari fajar merekah di langit-langit Timur. Fajar yang membangkitkan pengharapan bahwa kehidupan bakalan menang atas kematian. Fajar yang membawa api pengharapan akan keadilan yang tidak bakalan padam oleh angin dan malam jahanam.
Fajar itu mengundangku untuk terus bergerak tiada lelah memperjuangkan langit dan bumi yang baru di Negeri ini, sebuah Negeri yang benar-benar sujud dan hormat pada kehidupan...
@ 2006, buat Tibo, Domingus, Marinus, dan keluarga yang ditinggalkannya.
[referensi waktu eksekusi: media yang pertama kali aku baca/dengar]
Friday, September 22, 2006
Kue Kata Buat Tibo Cs
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment