Tuesday, September 26, 2006

Hukuman Mati

SEORANG perempuan Afrika kedapatan hamil di luar nikah. Artinya, ia berzina. Di negerinya, ini berarti si perempuan harus dirajam sampai mati.Hukuman pun dilaksanakan. Badan perempuan itu dikuburkan, tinggal kepalanya di atas tanah. Kepala ini lalu dilempari batu oleh penonton di sekitarnya. Meski perempuan itu berteriak-teriak kesakitan dan minta ampun, hukuman mati harus dijalankan. Batu-batu terus ditimpukkan, sampai suara tangis dan permintaan ampun tidak terdengar lagi. Kepala itu terkulai, berdarah, mati.

Itulah salah satu penggalan pembuka sebuah esai yang ditulis Arif Budiman di Harian Kompas tiga tahun silam. Gambaran di atas adalah gambaran pelaksanaan hukuman mati yang kejam. Itu pulalah yang menjadi pembuka tulisan ini tentang fenomena yang masih panas, yakni eksekusi mati pada yang dianggap tersangka kerusuhan Poso, yakni Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Pro kontra mewarnai kasus ini. Masih juga berderet tersangka kejahatan lain yang menunggu eksekusi mati. Lalu, ada apa dengan hukuman mati?

Hukuman mati sudah lahir dalam budaya-budaya kuno. Budaya Ibrani mengenal praktik ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi.’ Artinya, kematian harus dibalas dengan kematian. Di Yunani kuno, hukuman mati menimpa Socrates. Bapa filsafat itu dipaksa minum racun maut karena didakwa meracuni orang muda untuk berpikir kritis dan melawan pemerintah. Bentuk hukuman mati berkembang seturut zaman. Sekarang dikenal dengan kursi listrik, suntikan mematikan, tembak mati, dan sebagainya.

Di Indonesia, ada praktik hukuman mati yang fenomenal. Rentang waktu 1945-1978, Kusni Kasdut dan Oesin bin Oemar telah dieksekusi mati. Pada 1987, Liong Wie Tong dan Tan Tian Tjoen dieksekusi mati setelah mendekam di bui selama 25 tahun. Pada 1995, Karta Cahyadi dieksekusi mati. Berlanjut dengan warga asing seperti Ayodya yang sudah terkapar akibat timah panas polisi. Terakhir menimpa Tibo Cs.

Lepas dari persoalan politik, hukuman mati adalah buah dari paham utilitatirianisme. Paham ini mensahkan tindakan apa pun bila tindakan itu memberi konsekuensi dan akibat yang lebih baik dan menguntungkan bagi lebih banyak orang. JF. Stephen dan J. Stuart Mill yang mengamini paham ini. Tapi, paham ini layak dikritisi. Fakta menunjukkan bahwa angka kejahatan tidak menurun dengan praktik hukuman ini.

Selain itu, ada alasan yang fundamental untuk menghapus praktik hukuman mati ini, yakni hormat yang tertinggi pada hidup dan hak orang untuk hidup. Kalau hukuman mati dilaksanakan dengan alasan menghormati hidup, justu ini sebuah contradictio in terminis, kontradiksi dalam konsep. Bagaimana kita menghormati hidup dengan cara-cara menghancurkan kehidupan itu? Tidak ada penghormatan pada hidup dengan jalan-jalan kematian. Hidup dan mati adalah hak prerogratif Si Pemberi Hidup. Selain itu, hukuman mati adalah bukti cara pandang sempit pada hakikat manusia itu sendiri. Manusia memunyai kemampuan reflektif, ia bisa belajar dari kesalahan dan memperbaiki kesalahannya.
Manusia senantiasa memunyai tujuan pada dirinya sendiri. Ia tidak bisa diperlakukan sebagai objek atau sarana. Semulia apa pun. Tidak ada ketertiban umum yang dicapai dengan cara-cara tidak tertib. Tidak ada keadilan yang bisa dicapai dengan cara-cara tidak adil. Demikian juga tidak ada kehidupan yang dibela dengan melenyapkan kehidupan itu sendiri.

Nah, sudah banyak negara yang sudah menghapuskan hukuman mati ini. Mereka adalah Belgia dan Portugal (18670, Belanda (1870), Argentina dan Swedia (1921), Australia (1922-1968), Meksiko (1928), Denmark (1930), Brasil (1946), Italia (1948), Jerman (1949), Austria (1950), Israel (1954), Selandia Baru (1961), Inggris (1965), Vatikan (1969), Canada (19760, dan Prancis (1981). Kapan Indonesia meraibkan hukuman mati?

Hidup dan mati adalah hal eksistensial manusia. Mungkin orang bisa berteriak kencang agar hukuman mati ditimpakan pada gembong penjahat, pengedar narkoba. Tapi, apa kata nurani orang-orang itu, bila yang akan dihukum mati itu adalah ayah, ibu, anak, saudara, atau kerabatnya sendiri? Kegelisahan yang muncul inilah kegelisahan eksistensial. Kegelisahaan yang menyangkut keberadaan manusia dalam ruang kehidupan ini. Ada yang sebenarnya tidak boleh diusik oleh tangan-tangan manusia, yakni kehidupan itu sendiri. Kalau kita mau memperjuangkan hidup, hormati dan peliharalah kehidupan. Bukan malah menghancurkannya! Kesucian hidup terletak pada hidup itu sendiri.

Persoalan-persoalan yang terjadi di dunia ini sebenarnya hanyalah turunan dari tidak dihormatinya kehidupan. Kekerasan, korupsi, perusakan lingkungan hidup, sampai perselingkuhan adalah turunan dari rasa tidak hormat manusia pada kehidupan. Dunia senantiasa dibayang-bayangi dengan kultur kematian. Budaya tandingan harus dimunculkan, yakni kultur kehidupan!

No comments: