Judul : My Forbidden Face
Pengarang : Latifa
Penerbit : Fresh Book, 2006
Halaman : 232
TIDAK ada yang bisa dibiarkan dalam sebuah penindasan. Ketika kekuasaan dan ideologi menindas dan suara-suara perempuan dibungkam, Latifa, gadis 16 tahun asal Afganistan, memilih jalan pemberontakan. Bukan dengan laras senapan, tetapi dengan kata. Persis seperti yang diamini oleh Subcommandante Marcos, pejuang Zaptista Mexico, bahwa kata adalah senjata.
Seperti halnya Anne Frank yang menggambarkan kekejian Nazi Jerman dalam buku diarinya, Latifa mencoba melukiskan mimpi-mimpi buruk kaum perempuan di bawah Rezim Taliban. Cerita dimulai pada 27 September 1996, hari di mana bendera putih Taliban berkibar di atas Kabul.
Lima tahun selanjutnya merupakan masa gelap bagi perempuan Afganistan. Taliban melarang dan membatasi gerak kaum hawa itu. Perempuan dibatasi untuk bekerja, tidak boleh sekolah, tidak bebas berkenalan di ruang-ruang publik, dan dilarang keluar rumah tanpa ditemani kerabat laki-lakinya.
Taliban mengekang kebebasan media. Latifa dan keluarganya sering mencuri dengar siaran berita dari BBC dan VOA. Taliban memasang aturan keras: tidak ada binatang piaraan, tidak ada musik, tidak ada televisi, tidak ada foto, nol senjata, tidak ada buku-buku berbau Barat, tidak ada pendidikan bagi perempuan, dan kelas-kelas agama hanya untuk anak laki-laki.
Catatan Latifa ini sangat revolusioner. Sebuah pemberontakan lewat kata. “Aku berharap ini akan menjadi kunci bagi perempuan lain, yang mulutnya terkunci dan mengubur kesaksiannya dalam hati atau memori,” katanya.
Di awal bukunya, Latifa dengan tegas mempersembahkan catatan pemberontakkannya ini bagi para perempuan. “Aku mempersembahkan buku ini untuk semua gadis dan perempuan Afganistan, yang telah mempertahankan kedaulatannya hingga napas terakhir, untuk perempuan yang hak-haknya dicabut, dan untuk mereka yang hidup dalam ketidakjelasan meski berada di Abad-21, untuk mereka yang dieksekusi di depan umum tanpa pengadilan dan tanpa belas kasihan, di depan anak-anak mereka dan orang-orang yang mereka cintai,” seru Latifa.
Kekerasan demi kekerasan semakin menambah pilu wajah perempuan di sana. Para laki-laki telah diberi pisau, pistol, senapan, kalashnikov untuk dimainkan seperti mainan anak-anak. Ritme generasi telah dipermainkan seperti buah catur, para pejabat saling berebut kekuasaan, dan perang antarsuku kerap terjadi seperti turnamen olahraga nasional. Sementara, perempuan-perempuan dipaksa mengenakan burqa dan terpenjara.
Berhadapan dengan realitas itu, Latifa menggugat. Situasi memaksannya mengasingkan diri dan terpisah dengan kerabat dan tetangganya di Kabul. Sampai akhirnya, bendera-bendera Taliban sebagai lambang pudarnya hegemoni ideologi yang tidak adil. Latifa tetap memimpikan perdamaian dan demokrasi. “Aku berdoa semoga buku-buku menggantikan senjata, pendidikan akan memimpin kami untuk saling menghargai satu sama lain, semoga rumah-rumah sakit akan memenuhi misi mereka, sehingga kebudayaan kami bangkit kembali dari pilar-pilar berdebu dan museum-museum yang terbakar.”
Tapi, Latifa menyadari bahwa berdoa saja tidak akan cukup. “Suatu saat, segera setelah Taliban terakhir menggantungkan sorban hitamnya dan aku bisa menjadi perempuan merdeka di sebuah negeri yang merdeka, aku akan menjalani kehidupanku di sana, dan menjalankan kewajibanku sebagai warga negara, seorang perempuan dan aku berharap kelak menjadi seorang ibu,” katanya. Dan suatu hari, seorang perempuan Eropa mengutip nyanyian buat Latifa: “Perempuan adalah masa depan laki-laki.”
Buku ini layak dibaca bagi kaum perempuan dan siapa saja yang mau menimba inspirasi kritis terhadap segala bentuk penindasan hak-hak perempuan baik yang secara gamblang (fisik) maupun yang lembut dan tersembunyi (ideologi, kotbah, dogma, tradisi). Buku ini bisa menjadi amunisi untuk melakukan segala bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan jender di segala bidang, termasuk di panggung agama!
Tuesday, September 26, 2006
Perempuan Pemberontak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment