Ada Ular di Kepalaku
ADA yang bergerak-gerak di kepalaku pagi ini. Tepatnya, setelah kuterima pesan pendek dari Savitri kekasihku yang mengatakan pembatalan rencana pernikahan kami. Kepalaku terasa nyeri. Gatal sekali. Tapi, aku tidak bisa menggaruknya karena rasa gatal itu ada di dalam batok kepala. Rasanya ada mahkluk kecil yang menggeliat kegirangan di dalam otakku. Ia bergerak. Dan setiap mahkluk itu bergerak, rasa nyeri tak tertahankan menggerayangi seluruh kepalaku. Ia terus menggeliat. Ia seperti ular dan aku yakin itu ular. Menelusup ke sana ke mari di dalam rongga kepalaku. Aku meronta kesakitan.
Semanggi
KERETAKU mulai bertolak dari Stasiun Purwokerto. Riuh para penjaja lanting, nopia, nasi bungkus, donat, kopi hangat, pop mie, dan sebagainya mulai meluruh. Meninggalkan aroma khas sebuah gerbong kelas bisnis berpenumpang 64 orang itu. Sisa pengemis buta masih nampak di ujung gerbong. Kemudian hilang ditelan gerbong depan. Gemuruh roda-roda kereta makin kencang. Suara gaduh gesekan antarbesi itu semakin menjadi. Dari balik jendela kaca yang sudah kusam, tampak lampu-lampu yang menggantung di tiang besi dan rumah-rumah di pinggiran rel tampak berlarian ke belakang. Semakin cepat. Angin pagi kembali menelusup membawa dingin.
Bakpao
LELAKI paruh baya itu masih tekun mengelus-elus sepeda motornya dengan kain tipis di halaman depan rumah. Hari ini ia libur tidak narik ojek lagi. Meski tidak ada aturan resmi hari libur tukang ojek, lelaki itu tidak mau kalah dengan orang kantoran. Perolehan tukang ojek tidak seberapa, tapi ia tidak mau memaksa diri terus ngotot bekerja. Setiap hari minggu, ia meluangkan waktu bersama istri yang baru ia nikahi empat bulan silam. Matahari siang mulai merangkak tepat di atas ubun-ubun. Angin siang yang malu-malu bertiup membuat udara seantero rumah menjadi gerah. Sementara, pohon-pohon akasia di kanan-kiri rumah bertembok batu-bata tanpa semen itu sudah lama meranggas, menambah panas suasana. Seorang perempuan tua dengan daster merah menghampiri.
Burung Malam
MATAKU masih menatap langit-langit kamar. Langit-langit yang kotor oleh bercak air hujan seminggu lalu. Sudah larut malam dan aku tak kunjung tidur. Istriku sudah amblas ditelan selimut tebal dengan desis lembut keluar dari mulutnya. Sementara, kedua anakku, Galang dan Siwi, sudah tertidur pulas di kamar sebelah. Aku tidak bisa tidur. Hatiku terasa gundah setiap waktu memuncak pukul 12 malam. Rasanya aku terserang insomnia akut. Insomnia yang muncul lantaran ketakutan kalau-kalau burung malam itu bertengger lagi di atas atap rumah dan menjerit pada saat pergantian hari. Aku memikirkan burung itu.
Soliter Kematian
AKU lunglai dan tidak berdaya di depan komputerku. Kamarku tiba-tiba seakan disekap oleh kesunyian yang dalam. Senyap laksana kuburan. Aroma kematian menusuk hidung dan berkecamuk di dadaku. Sesekali kulihat jam yang terpaku di dinding. Waktu begitu cepat. Seolah lepas kendali dari jalur biasanya. Detak-detak bunyi jam itu seperti derap langkah pasukan iblis lengkap dengan panji-panji kematian. Semakin lama, derap langkap itu semakin cepat dan keras, menggetarkan langit-langit hatiku.
Surat Buat Sakura
AWAL April ini aku masih berada di Tokyo. Aku sengaja duduk-duduk di taman kota dan menulis surat. Langit kota cukup bersih. Angin sore mengayun-ayun ranting pohon Sakura sehingga bunga-bunga warna merah jambu itu berterbangan. Bunga ini bertebaran di mana-mana, mulai taman-taman kota, halaman kuil, hingga kanan-kiri jalan. Beberapa bunga jatuh terkulai lemas di atas kertas suratku. Siluet sore terbentuk saat sinar matahari Barat menerpa kuil-kuil kuno Jepang, tak jauh dari tempatku. Jepang baru saja mengalami pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi. Inilah semi di Negeri Matahari Terbit yang amat memesona.
Lonceng Gereja
LONCENG Gereja itu kembali berbunyi tepat pukul 12 siang. Menggema dan mengguncang dinding-dinding langit. Membuyarkan burung-burung gereja yang lagi enak-enak beristirahat dan memaksa mereka terbang dan hinggap di pepohonan. Lolong anjing menjerit keras melesat ke langit-langit seakan ingin turut berdoa bersama dengan rombongan biarawati yang mendaraskan Doa Malaikat Tuhan di sebuah kapel. Denting lonceng untuk sebagian orang menjadi jeda untuk paling tidak ingat pada Tuhan mereka. Ia mengingatkan orang untuk berpaling sejenak pada realitas tertinggi setelah sepanjang pagi sampai siang dibekap dan dibelenggu oleh kesibukan dan rutinitas.
Tapi, lain cerita dengan diriku. Setiap lonceng gereja itu berdentang, setan-setan neraka seolah meloncat kegirangan dan masuk ke dalam diriku. Ia menguncang-guncang diriku. Menyuntikan cairan amarah ke dalam nadi-nadiku. Memerahkan dan mengubah wajahku penuh dengan muram durja. Mengencangkan otot-ototku dan membujukku untuk segera membunuh pastor jahanam itu. Setiap bunyi dentang membuat napasku tersengal. Paru-paruku sesak dan ingin kulepaskan bersamaan pisau belati ini ke dada pastor brengsek itu.
Thursday, March 01, 2007
Awalan Cerpen-cerpen Itu
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment