Friday, March 23, 2007

Untukmu Aurel

ENGKAU datang lebih awal hari ini. Biasanya, engkau menyukai malam-malam yang hancur. Tapi, di malam yang setengah matang ini, engkau hadir dan menyapaku. “Kini pun, aku menanti-nanti malam. Bersedekap dalamnya. Menemui dia, sang bisu. Dan mulai bicara dalam bahasa yang tak dikenal manusia.”

Tahukah kamu, saat kau mengirim pesan pendek itu, aku bertanya apakah engkau akan hadir lagi di malam ini. Malam-malam di mana kelopak mata enggan ditutup. Malam-malam, di mana hasrat menggumuli kasur dan bantal jauh dari niat. Malam-malam insomnia, di mana kita bersama-sama merayakan keruntuhannya.

Sebelumnya, aku mau menyampaikan kabar. Kemarin, angin bertiup kencang. Pohon-pohon di depan kantor meliak-liuk seperti diva kesurupan di atas pentas. Mungkin, puting beliung berkunjung di ibukota. Bisa juga badai-badai yang lain yang suka datang tidak diundang dan pergi tidak diantar. Mirip jalangkung. Badai-badai yang berlarian tak keruan arah lantaran bumi semakin panas. Panas karena hutan-hutan digunduli, atmosfer dibekap gas-gas racun dari pabrik-pabrik industri, tanah-tanah dilapisi aspal dan ditanami tian-tiang baja, pojok-pojok jalan dikotori sampah-sampah dari dapur-dapur rumah. Ah, manusia telah merusak rumahnya sendiri. Dan di kaki langit sana, bayangan kematian perlahan melangkah mendekati kita. Derap langkahnya terdengar lirih di balik kesenyapan. Tinggal menunggu waktu.

Badai itu membentur-bentur tubuhku yang sedang menunggangi sepeda motorku sepanjang Jl. Gatot Subroto. Mereka ingin menghempaskan tubuhku di jalanan beraspal. Mereka mau membunuhku. Tapi, mereka urung karena aku memilih menepi dan melambatkan laju motorku. Sementara itu, gelap mulai membungkus seluruh isi kota. Matahari telah pergi tanpa jejak.

Kabarku semacam itu, Aurel. “Malam-malam insomnia beraroma jeruk nipis. Malam di mana peri langit terbang di atas atap rumah. Dialah yang menyampaikan sepotong sapa untuk dirinya di timur sana.” Satu larik kata kutitipkan pada peri langit agar disampaikan padamu, Aurel, karena engkau datang lebih awal hari ini.

Tanpa lama, peri itu hinggap lagi di atas rumah. Membawa sepotong balasanmu. “Aku ingin pergi dan tinggal sendiri. Aku ingin merasa benar-benar berdiri. Kepadanya yang terbang tinggi. Aku iri. Aku iri.”

Aku tidak begitu mengerti mengapa engkau ingin terbang tinggi. Mungkin mencium pelangi. Bersemuka dengan rembulan. Melihat bumi dari bola mata Tuhan. Yang terakhir ini menarik. Apa komentar Tuhan melihat bumi yang jutaan tahun telah ia bentuk dari jemarinya? Ah, aku tidak tahu. Aku hanya bisa membalas dengan selarik lagi. “Pernah saat senja beringsut pelan, aku terjatuh dalam ceruk nurani. Aku ingin sendiri. Mencipta mimpiku sendiri. Terbang menembus langit ketujuh. Menyapa bulan. Merangkaki pelangi dan mengatakan aku jatuh hati. Pada sepi. Pada sunyi.”

Lalu, tubuhku roboh dan meleleh di dalam selimut. Aku tertidur tanpa tahu engkau masih mengirimiku selarik sapa lagi. “Imajinasiku jatuh terserak di gundukan angka-angka dan sakit punggung yang menggila. Selamat tidur, tuan pengembara!”

Itu dulu, Aurel. Aku hanya menulis saja. Ada pepatah Latin, scripta manent verba volant. Artinya, yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin. Dan aku mengharapkan engkau tetap abadi. Abadi laksana ketidakabdian itu sendiri.

4 comments:

HuN_hUn said...

hahaha...baca" lagi ya...

Jujur aq ndak ngerti artinya apa postingan kali ini..hemmhh..dudul d aq..

cyn said...

hmm.. senangnya ada aurel yang bisa menemani malam2 insomniamu ;-)

Anonymous said...

masih muda, sudah begitu dalam. gimana ntar udah jadi musafir tua ya..

salam kenal...

really deep in here :))

Anonymous said...

tulisane kok apik temen! nice 2 meet u