SEANDAINYA Rene Descartes (1596-1650) masih hidup sekarang, aku akan melemparinya dengan olok-olok. Pemikir Prancis ini mengawali babak filsafat modern dengan adagium cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Tapi, bagaimana aku mampu berpikir kalau perutku kosong. Aku pernah kesulitan berkonsentrasi mengikuti diskusi kelas gara-gara aku tidak sempat makan pagi. So, aku punya premis bodon. Aku makan maka aku bisa berpikir. Aku berpikir maka aku ada. So, aku makan maka aku ada. Bahasa kerennya, manduco ergo sum. Semoga arwah Descartes tidak kegerahan karena pernyataanku ini.
Membicarakan makanan, mari mengawalinya dari meja makan. Kesadaran akan pangan dan tradisi makan berawal dari meja makan. Dulu, kegemaran bercerita dan bercengkerama dalam keluarga terjadi di meja makan. Makan adalah peristiwa esensial dalam hidup manusia. Tanpa makan, proses metabolisme tubuh mahkluk hidup akan menyurut. Kemungkinan besar, orang akan mati. Fakta pun menunjukkan berapa jamak penyakit dan penderitaan muncul lantaran kelangkaan pangan ini.
Tapi, bicara soal pangan bukanlah sekadar bicara pada apa yang kita makan. Makan tidak hanya berkisah tentang dirinya sendiri. Ia berbicara tentang kehidupan. Majalah TIME volume 169 tahun 2007 mengangkat headline yang cukup menarik. Tajuk dalam coverstory-nya adalah “We Are What We Eat.” TIME menegaskan persoalan makan juga mengekspresikan siapa diri kita, bagaimana kita hidup, dan kondisi dunia tempat kita tinggal. Nah, apa yang tersaji dalam meja makan, bisa menuturkan kepada kita banyak kisah. Ia bercerita tentang gaya hidup, kondisi ekonomi, hidup sosial, status, kultur, sistem politik, demokrasi, kolonialisme, kapitalisme, ketidakadilan sosial, hegemoni budaya, privatisasi, dan sebagainya.
Mari kita lihat bagaimana tempe goreng, sayur lodeh, pecel, kudapan, dan sambal pete berkisah tentang nasib para petani tanah air yang sangat memprihatinkan. Mereka adalah pencerita yang baik. Tapi, sayangnya kita sering emoh mendengarkan celoteh mereka.
Daun sawi, bayam, wortel, berkisah tentang keanekaragaman hayati yang sedang terancam. Periuk nasi kosong bertutur tentang penderitaan kaum buruh. Mie instan memaparkan kelaparan yang tampak begitu telanjang dan terserak di berbagai daerah. Secangkir kopi Starbucks menceritakan gaya hidup orang modern. Gerai-gerai McDonald berkisah tentang hegemoni ekonomi global negara adikuasa pada negara-negara berkembang. Ayam Kentucky bertutur tentang penyakit mematikan akibat konsumsi berlebihan makanan sampah (junk food). Struk belanja berlabel Carrefour bisa berkisah tentang para pedagang kecil yang semakin terjepit oleh pusat-pusat perbelanjaan yang mengepung dari segala arah. Air yang kita minum mengungkap fakta privatisasi sumber-sumber air oleh korporasi asing dan air menjadi barang mahal di negeri sendiri.
Mungkin akan sangat menarik bila celoteh dari sawi, wortel, kopi, ayam, air, dan sekutunya itu dijadikan novel. Mereka dibangkitkan menjadi karakter-karakter yang hidup. Mirip dengan novel Animal Farm garapan George Orwell (1903-1950). Orwell melancarkan kritik pada totalitarianisme Joseph Stalin dengan fiksi binatang. Dikisahkan ada sekelompok binatang di sebuah ladang merencanakan pembangkangan sipil (civil disobedience). Bertahun-tahun mereka hidup dalam penindasan manusia bernama Tuan Jones. Mereka dipaksa kerja rodi. Ayam-ayam bertelur tanpa pernah melihat anak-anaknya. Sapi dipaksa menghasilkan susu tanpa menyusui anak-anaknya. Demikian juga yang dialami kuda, itik, domba, dan sebagainya. Mayor tua, si babi pintar, mengobarkan pemberontakan. Mereka mengusung semboyan egalitarianisme, keadilan, pembebasan, toleransi, dan kemerdekaan.
Sebuah karya cerdas Orwell. Sastrawan kiri ini membenci segala bentuk totalitarianisme negara. Animal Farm pertama kali diterbitkan oleh Harcourt Brace & Company di Inggris pada tahun 1946. Dunia sedang dilanda krisis akibat Perang Dunia.
Nah, pesan Animal Farm bisa diterjemahkan lagi dalam persoalan pangan. Kolonialisme pangan sedang terjadi. Membusuk di sana-sini. Tak heran, persoalan pangan kontemporer ini sebagai persoalan kemanusiaan yang tidak bisa dianggap remeh. Mari bercerita tentang makanan yang kita makan. Cerita untuk melawan kolonialisme wujud baru. Toh, kata adalah senjata. Demikianlah Si Pejuang Gerilya Zapatista mengamini.
Mau memahami dunia? Tengoklah meja makan Anda! “Food is not just what we eat. It is an expression of who we are, how we live, and the world we inhabit,” cetus TIME.
Wednesday, August 01, 2007
Cerita dari Meja Makan (I)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment