PAGI ini jalanan samping rumah tampak riuh oleh suara anak-anak. Niat untuk pergi ke pasar membeli beras dan pisang sejenak urung. Matahari masih ngumpet di balik loteng. Empat gadis cilik mengerubungi sebuah tongkat panjang. Satu orang memegangi sebuah kain warna merah putih. Mereka berceloteh riuh tak keruan. Tampaknya mereka beradu argumen bagaimana bendera itu bisa dikibarkan. Satu menyalahkan yang lain dan sebaliknya. Tapi aura keceriaan menempel erat di wajah-wajah polos itu.
Tali-tali bendera diikat ditongkat. Dilepas lagi karena kurang pas. Lalu dipasang lagi. Kurang pas lagi. Sekitar 15 menit kemudian, teriakan meledak dari mulut mereka bersama tepuk tangan. Bendera itu akhirnya dapat diikat dengan sempurna. Cekikikan pun berderai. Lalu bendera yang terikat itu diarak di jalanan dan lenyap di kelokan sebuah gang.
Drama singkat pagi itu sangat menarik. Kenangan masa kecil saat 17-an sontak menguar. Sempat sebuah pertanyaan lewat dalam benak. Apa yang ada di dalam benak anak-anak itu tentang arti kemerdekaan? Mungkin keceriaan. Mungkin bendera merah putih yang melambai-lambai. Mungkin lomba makan kerupuk. Lari kelereng. Balapan karung. Upacara bendera. Panjat pinang. Kepolosan. Libur sekolah. Gegap gempita. Macam-macam.
Sepotong rasa prihatin menyelinap di benakku. Mungkin mereka tidak menyadari betapa masih jauhnya cita-cita kemerdekaan itu terwujud konkret di negeri yang memproklamirkan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945 ini. Seorang kolumnis menulis di Kompas hari ini dengan judul “Terlunta di Negeri Merdeka.” Tulisan tentang sisi-sisi ironis di sebuah negeri merdeka. Indonesia.
Sementara itu, dunia anak-anak di negeri ini pun masih jauh dari kondisi ideal. Mungkin keempat gadis cilik pengibar bendera itu tidak tahu kalau teman-temannya di daerah lain sedang mengalami kekerasan. Perdagangan anak-anak dan perempuan masih marak. Anak-anak lain masih dipekerjakan menjadi buruh pabrik murah. Kejahatan seksual pada anak-anak marak terjadi. Remaja putri di Kabupaten Indramayu terancam seleksi keperawanan atas inisiatif bupatinya. Kemanusian anak-anak perempuan itu pun masih dilihat sebelah mata oleh para penafsir agama yang bodoh. Kelincahan mereka terganjal oleh perda-perda beraroma agama.
Apa yang akan terjadi pada mereka dan anak-anaknya 50 tahun mendatang? Apakah mereka masih hidup di lingkungan yang layak? Sementara itu, korupsi semakin menggila. Kekayaan alam dikuras oleh korporasi rakus. Pohon-pohon ditebangi. Musim carut marut. Badai datang tiba-tiba. Udara semakin gerah. Jalanan super mampat penuh jelaga beracun. Tempat tinggal semakin sempit lantaran penguasa gemar menanami vila-vila dan perumahan mewah cum mahal. Mal-mal mengepung dan menjepit dari berbagai arah.
Nah, apakah keempat gadis cilik itu 50 tahun mendatang masih mampu mengikat merah-putih pada sebuah tongkat di samping rumahku dengan wajah ceria? Itu saja kalau rumah itu masih ada dan tidak digusur. Lima meter depan rumah persis sudah berdiri tembok tinggi kokoh melingkari perumahan baru. Villa Kebon Jeruk. Satu rumah besar nyaris selesai dibangun. Bertengger angkuh. Tak tertutup kemungkinan, kelak, perumahan mewah itu akan melebar. Menggusur rumah tinggal kami.
Quid agendum? Apa yang akan kita perbuat? Kalau kita tidak berbuat apa-apa artinya kita ikut andil merampok masa depan anak-anak itu!
Thursday, August 16, 2007
Putri-putri Merah Putih
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Membaca tulisanmu saya cuma bisa diam. Merenungi kata-kata Anda, Pak! Mencoba mengingat apa yang sudah saya perbuat
Post a Comment