Wednesday, August 29, 2007

Telepon dari Jogja

RABU, 29 Agustus 2007. Ponselku tiba-tiba menjerit tengah malam. Malam saat aku sedang merubuhkan tubuhku di atas sofa hijau untuk melepas lelah. Membuatku jeda sejenak menikmati hiburan dari tabung ajaib. Kulihat nomer ponsel kakak perempuanku yang tinggal di Jogja berkedip-kedip. Tanpa lama, kutekan tombol hijau dan kubiarkan suara itu menguar ke ruangan melalui ponsel yang kuaktifkan speaker-nya. Biar ibu peri, cicak di balik kulkas, trio mickey mouse yang ngumpet di gudang, dan seluruh penghuni rumah turut mendengarkan. Mendengar kabar dari kampung halaman.

“Hey, kamu di mana?” suara kakak perempuanku pecah memulai obrolan.
“Aku di rumah.”
“Baik-baik saja, to?”
“Baik-baik. Setel kendo wae (santai saja).”
“Ini ibu mau bicara.”

Lalu, suara ibuku terdengar pelan. Santun. Sedikit basah. Ia menanyakan kabarku hidup di tanah rantau Jakarta. Ia juga bercerita singkat tentang kampung halaman. Tentang bapak yang sibuk dengan kios bensin depan rumah. Maklum, setelah pensiun dari tentara, bapak butuh kegiatan mengisi waktu senggang. Tentang nenek yang hidup sendirian di rumah setelah 7 bulan ditinggal mangkat kakek dan sibuk mengusir sedih setelah sebulan lalu ditinggal mati putra tercintanya lantaran hepatitis B. Tentang si bungsu yang belum kapok meneggak anggur dan membawa kegundahan tersendiri tiap malam menjelang. Sudah biasa. Sudah belasan tahun itu menjadi santapan sehari-hari ibu setiap malam. Ibu yang terbiasa duduk dan tidur di emperan saat larut malam. Menunggu si bungsu pulang. Sementara, tangannya memilin butir-butir rosario dari kayu cendana. Doa tak kunjung putus. Sekarang ini adalah hari-hari yang jauh lebih baik ketimbang hari-hari di tahun-tahun sebelumnya.

Ibu adalah seorang perempuan kuat. Punya jiwa besar dan hati rela berkorban. Gejolak-gejolak hidup di masa uzurnya telah menjadikannya semakin kuat. Ibarat emas yang terus digesek dan menjadi logam mulia. Ibuku adalah spiritualitas hidup itu sendiri. Sebuah oase yang tidak pernah mengering karena gempuran kemarau panjang. Lalu ibuku melontarkan sepotong pesan.

“Jangan lupa banyak doa, yo Le. Ibu sembahyang saka kene!”
(Ibu berdoa dari sini)
“Baik. Sama-sama berdoa.”
Urip mung pisan. Ojo digawe susah. Atine sing seneng!”

Tak lama kemudian telepon ditutup. Aku terpaku sejenak. Merenungi kata-kata akhir dari obrolan itu. Urip mung pisan. Ojo digawe susah. Atine sing seneng! Artinya, hidup cuma sekali. Jangan dibuat susah. Hati yang bahagia! Duh, pesan yang menyemangati dan penuh makna. Jujur saja, kata-kata serupa pernah dilontarkan dari bibir yang sama sekitar 15 tahun silam. Saat itu, ibu dan beberapa kerabat melawatku pada sebuah hari kunjungan asrama.

Malam itu seperti malam doa yang panjang bagiku. Kelelahan seakan luruh. Meluncur ke bawah melalui sofa hijau dan melebur ke lantai. Semoga saja, malam penuh energi itu juga menjadi malam bagi ibu peri, cicak di balik kulkas, trio mickey mouse yang ngumpet di gudang, dan seluruh penghuni rumah. Aku sendiri belum bertanya pada mereka. Lalu aku pun kembali menikmati hiburan malam dari tabung ajaib.

2 comments:

Anonymous said...

Bagi para pejuang, doa seperti air minum yang ada di gembes. Letaknya di samping karena memang gembes bukang barang yang harus diperhatikan selayaknya apa saja yang ada di depan. Namun ketika para pejuang beristirahat setelah lelah bertarung, dia selalu membutuhkan air minum. Dia menoleh ke samping. Kawan seperjalanan memang selalu berada di samping.
Untuk kemudian ada tenaga untuk bertempur kembali.
Doa memang seperti air minum, baru sangat dibutuhkan ketika kelelahan, dan istirahat. Ketika sedang bertempur mustahil ingat ada gembes berisi air minum tergantung di pinggang.

Guitarku said...

Ajari aku menulis ....

www.sayap.wordpress.com