PAGI tadi, aku bangun dengan mata berat. Kelopak mataku susah untuk dibuka. Jam meja berbentuk bola warna jingga sudah mengingatkan waktu pagi pukul 7. 15. Mataku seperti gorden jendela yang talinya tersendat pada besi karatan. Susah dibuka. Aku terlambat bangun.
Penyebabnya sepele. Bukan lantaran aku begadang bersama malam. Bukan pula ikutan ronda keliling kampung. Bukan melamun di atas loteng menantang angin pembawa kembung. Bukan menjaga tong sampah di teras rumah dari serbuan tikus dan kucing liar. Bukan karena ada seseorang yang membunyikan ponselku dan mengajakku curhat di malam hari. Bukan karena ngelembur bersama secangkir kopi untuk sepotong tulisan. Bukan itu semua! Tapi, gara-gara petasan meletus tepat di depan rumah pada pergantian hari.
“Blaarrrr!!!!” Suara itu mendadak pecah. Membuat diriku dan ibu peri kaget . Membuyarkan alam tidur yang nyaris kami masuki. Nyut-nyut berdecak di dadaku. Sontoloyo! Batinku mengumpat. Pertama kali, aku mengira ada anak iseng kebetulan lewat di depan rumah dan melempar petasan. Tapi, karena tiga kali selang lima menitan, petasan meletus lagi di jalan depan rumah, aku meloncat dari kasur. Mengipaskan selimut. Membuang bantal. Membuka gorden jendela. Memastikan siapa tersangka utamanya. Memutar kunci pintu perlahan. Berjalan mengendap-endap. Dan sampailah diriku pada jarak 2 meter dari titik letusan.
Di depan, di balik terali besi garasi, terdengar riuh ocehan anak remaja. Beberapa sibuk menaikkan layang-layang raksasa untuk diterbangkan bersama angin malam. Layang-layang itu berenang-renang di udara dan menimbulkan suara gemuruh seperti suara gasing. Aku duduk berjongkok. Mengintip dari lubang plastik penutup garasi. Seperti seorang sniper yang sedang mengintai objek tembakan. Tak lama, seorang remaja berlari ke depan rumah. Ceplak-ceplek suara sandal jepitnya mencium aspal. Berjingkrak. Parasnya innocent, polos, tak merasa bersalah. Persis seperti para teroris beneran usai mendengar putusan pengadilan. Tangan kanannya memegang sugumpal kertas yang digulung terisi karbit. That is petasan! Giginya menyembul ke depan. Seolah bibirnya tidak kuasa menahan desakan gigi-gigi gede yang doyan pamer. Mirip gigi kuda. Remaja berkaos ijo pupus itu pun berhenti. Celingak-celinguk. Aku tetap tak bergeming. Menunggu saat yang tepat untuk menangkap teroris cilik itu. Lalu, anak itu berlari menjauhi pintu garasi. Dan, blaarrrr!!!! Petasan itu meletus lagi. Telingaku mendadak tuli sejenak. Seperti ada kumbang berputar-putar di liang telingaku.
Keterlaluan! Ingin rasanya segera membuka gembok garasi. Mengejar teroris cilik bergigi kuda itu. Mencekik lehernya. Melemparkannya ke langit setinggi layang-layang itu. Tapi, niatku urung kueksekusi. Ada keraguan. Kejengkelan. Plus ketakutan. Tapi, ini tidak bisa dibiarkan. Ini sudah melanggar ketertiban umum. Akhirnya, aku memilih sembunyi. Lampu teras aku matikan. Perang gerilya dilanjutkan. Mataku terus mengintai gerak-gerik begundal cilik itu. Kunci gembok sudah ditangan. Siap dimasukkan ke lobang kunci. Ancang-ancang menyergapnya.
Aku heran. Kenapa hanya aku yang meributkan petasan ini. Di mana tetangga-tetanggaku? Harusnya mereka ikut terganggu. Mungkin mereka sudah terlalu jauh jatuh dalam sumur mimpi. Mungkin mereka sedang asyik bercinta sehingga lupa ada serangan tak diundang. Lalu, lebih aneh lagi, di mana si engkong, tetangga persis samping rumah. Engkong yang suka ngomel dan memutar lagu-lagu mandarin keras-keras tiap pagi juga tidak nongol juga. Hatiku sedikit terpingkal. Jangan-jangan, si engkong sudah pingsan sejak letusan pertama. Atau, jangan-jangan jiwanya sudah meloncat ke ceruk malam bersamaan dengan letusan itu. Ah, saatnya tunjukin kepedulian!
Tanpa lama, teroris cilik itu datang lagi. Berlari sambil menjingkatkan kaki-kaki pendeknya. Aku siap-siap. Bocah itu sudah berada di depan pintu garasi. Sejenak celingkukan. Tampak ia meletakkan sesuatu berbentuk tabung putih. Lalu ia lari. Aku pun segera membuka pintu gerbang. “Hei brengsek!” Belum sempat menyergap, petasan kelima itu meletus. “Blaarrrr!!” Dengan sedikit terhuyung seperti pejuang Vietnam, aku mengejar si pelaku. Kumbang-kumbang pun kembali berterbangan dan mengiang di liang telinga. Aku berusaha menarik napas. Memajang paras garang. b-r-a-v-e-h-e-a-r-t!
“Lo, jangan bikin onar rumah orang!”
“Bukan gue!”
“Gue liat sendiri. Sekali lagi menyalakan petasan di depan rumah gue lagi, urusan jadi serius!” kataku sambil mengacungkan jari telunjuk tangan kananku ke arah ke wajahnya, menyapu pelan ke arah teman-temannya.
Teroris cilik itu diam saja. Bibirnya mengatup. Meski gigi kudanya masih mengintip. Lalu aku membalikkan tubuhku. Berjalan tegap di antara para pecundang. Merasa diri sebagai pemenang perang malam itu. Di bahuku seolah menempel tiang kecil dengan bendera kemenangan berkibar. Suara kibaranya lebih dahsyat ketimbang bunyi dengung gasing layang-layang itu.
Aku kembali ke kamar dengan sedikit lega campur dongkol. Mataku susah dikatupkan. Hati sudah terlajur kesal dengan ulah anak-anak itu. Jam digital ponselku menunjuk pukul dua pagi. Rasa kantukku seperti kaburi dari kepalaku bersama bunyi petasan itu. Lalu samar-samar, mikrofon mesjid bergemuruh. Berkoar-koar menyerukan saur dari segala arah. Jalanan mulai menggeliat. Di luar, terdengar teriakan tukang nasi goreng dan tukang sate. Lalu, karena kelelahan, aku pun tertidur. Meleleh di balik selimut. Bangun pukul 07.15 dengan mata berat. Dan rasa kantuk itu kembali ke kepala ini siang ini. Lebih-lebih saat di acara peluncuran iPod terbaru dari Apple tadi.
Tuesday, October 02, 2007
Dasar Petasan!
Apakah malam nanti akan ada perang lagi? O, My God. Jangan pindahkan Baghdad ke sini malam ini!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
waduh....jangan dunk masa kecil" teroris maz...ati" ntar dikejar balik pke petasan tikus..hahahha^^
tapi emang petasan nyebelin..mengancam kehidupan q sahaja..hhuhuhu
Post a Comment