Saturday, October 20, 2007

Nyaris 25 Jam

SEORANG sahabat mengirimiku pesan pendek pada 17 Oktober 2007 pukul 10 malam. Dia menulis, "Kemacetan yang saya alami pagi & sore ini di jalur puncak menyadarkan saya bahwa manusia membutuhkan rasa aman ontologis dari yang mengalir (pantha rei) daripada yang tersendat."


Pesan pendek itu seakan mengerangkai seluruh perjalanan mudik. Hidup itu mengalir. Ungkapan dari mulut seorang Herakleitos ini mendapati kebenarannya di sini. Di jalan-jalan yang kami lalui. Sejak ruas jalan Karawang berubah seperti parit yang mampet oleh onggokan sampah, rasa capek dan bosan mulai datang berkunjung. Laksana tamu dari rantau yang malu-malu mengetuk pintu rumah. Jiwa-jiwa dalam raga kita seperti ular laut yang memberontak, mengibas-ngibaskan ekor, mengoyak dinding air, bila dirinya terperangkap dalam kemandegan.

Mobil kami membelok begitu mendapati gang kosong. Menghindari ruas yang sudah diluberi para ksatria bermotor hingga di bibir jalan. Pukul 9 pagi, mobil berpaling ke arah Purwakarta. Raungan sepeda motor, sumpeknya jalan, semakin menguar bersama lanskap pedesaan yang timbul tenggelam di kaca jendela mobil. Lalu 50 menit kemudian, perut sudah mengomel minta diisi sarapan. Tapi, rumah-rumah makan pun masih tutup. Sampai akhirnya, di kompleks pengisian bahan bakar tol Padalarang, kami berhenti. Dengan merogoh kocek Rp 60.000, nasi rames tersaji untuk enam perut. Ditambah dengan tiga sloki berisi kopi panas gratis merek Ali Cafe. Lumayan untuk sepotong jeda pengusir jenuh sambil menikmati hamparan rumput gajah nan gersang lantaran kelamaan mandi matahari.


Usai jeda, mobil melaju lagi. Untuk membunuh rasa bosan, aku membuka lagi bab-bab akhir dari petualangan anggota Laskar Pelangi dalam novel fenomenal buah tangan Andrea Hirata. Sesekali menorehkan larik-larik kata dalam notes kecil sebagai catatan perjalanan. Membaca buku sudah jadi kebiasaan. Lebih-lebih untuk mengakali waktu. Petualangan Mahar, A Kiong, dan Flo yang gandrung pada dunia perdukunan dan membentuk komunitas Societeit de Limpai cukup mengocok perutku. Karakter-karakter dodol yang ditampilkan Andrea Hirata merangsang memoriku mengingat pengalaman masa kecil di bangku sekolah di kampung tempo dulu. Novel best seller yang sedang digarap Mira Lesmana untuk versi sinemanya ini memang sangat menarik. Aku membaca tetralogi dari belakang. Edensor. Sang Pemimpi. Baru Laskar Pelangi. Buku keempat Maryamah Karpov masih aku tunggu.


Sementara itu, lima orang lain dalam mobil memunyai cara masing-masing untuk membunuh kebosanan. Eko beberapa kali mengeluarkan kamera digital merek Nikon untuk beberapa jepretan. Sesekali, ia mengunyah cerita Sidney Sheldon dalam lakon The Sky is Falling. Novel yang ia pinjam dariku ini tampaknya memikat hatinya. Meski Eko tampaknya bukan tipe pembaca yang rakus. Ia lebih suka membaca pelan-pelan. Buktinya, novel yang sama itu masih ia baca saat balik ke Jakarta. Sementara, pembatas bukunya pun masih berada sangat jauh dari halaman belakang. Seandainya dia penyanyi, dia lebih mirip dengan penyanyi goyang patah-patah ketimbang Luciano Pavarotti sang maestro tenor. Eko, teman karibku. Kita pernah bersama-sama bekerja di tiga perusahaan. Perkenalan dengan lelaki asli Sidoarum, Sleman ini, justru terjadi di halaman parkir Hotel Santika Surabaya, empat tahun silam. Di situ, kita berdua sama-sama merasakan pengalaman ditolak saat melamar kerja di sebuah koran nasional.


Pur lebih senang bermain-main dengan kacamata hitamnya. Sesekali memijit-mijit komunikatornya untuk internetan. Benda kecil inilah yang selalu ia gadang-gadang. Laksana permata spinell atau blue velvet yang ia temukan di tengah debu-debu ibukota. Simbol prestasi mengatasi nasib sebagai orang udik. Pur adalah karib yang menarik. Pintar menulis, melobi, dan ngeles orang lain. Ia gemar mengejutkan dengan banyolan-banyolan dadakan. Kata-kata jorok pun kadang tidak kepalang tanggung. Namun, aroma udik juga belum sempurna hengkang dari lelaki asal Solo pencit itu. Tidak lama kemudian, Pur pun meleleh di sofa belakang samping calon istrinya. Matanya sengaja dilipat di balik kacamata hitamnya. Sementara, calon istrinya lebih senang diam. Mungkin saja kepalanya dipenuhi pikiran pernikahan yang segera ia jalani. Tentang urutan acara. Menu makan. Suvenir. Tamu undangan. Pawang hujan. Mungkin juga, termangu dan terheran-heran kenapa dirinya jadi mau diajak nikah sama lelaki yang sudah mendengkur di sampingnya. Semua itu adalah mungkin.


Kakak iparku lebih senang berceloteh dengan Iwa, si sopir. Tentang musik. Tentang kerupuk mlarat. Tentang pengalaman mengemudi. Misi utama kakak iparku pulang kampung adalah mencari pembantu. Maklum, baru saja ia memecat dengan hormat pembantu sekaligus pengasuh anaknya lantaran kerja yang jauh dari becus. Iwa sendiri mengaku baru saja menikahi gadis Betawi. Sekarang, istrinya sedang mengandung tiga bulan. Keduanya tinggal di Kampung Rambutan.


Tanpa sadar, pukul 13.32. Eko, mas Kris, Pur, dan calon istrinya terlelap. Buku Laskar Pelangi masih di tanganku. Iwa sudah mendapati rohnya sebagai pengemudi. Ia ngebut. Berkelok-kelok naik turun bukit Cadas Pangeran laksana pembalap Ferrari Michael Schumacher meliak-liuk di sirkuit Formula 1. Seakan lupa kalau dirinya sedang membawa lima nyawa di mobil itu. Lagu Listen to Your Heart disetel keras-keras. Di kanan jalan ada jurang menganga. Di kaca jendela, langit biru masih setia menemani mega putih yang berarak di jajaran cemara angin dan bambu gunung. Satu menara sutet dan satu pemancar menyembul di antara lautan hijau cemara angin itu. Mobil terus meliak-liuk seperti wahana halilintar.


Pukul 15.15, mobil sampai di Majalengka. Tangki diisi lagi dengan premium Rp 157 ribu. Iwa mengajak ngopi sejenak ditemani tiga porsi sate kambing untuk dimakan rame-rame. Sesampai di Cikijing, senja sudah mulai turun. Meninggalkan jejak jingga keperakan di langit Barat. Lalu, malam tiba. Mobil terus melaju mencapai Rancah. Di Rancah, jalanan rusak seperti sungai dihajar kemarau. Pukul 20:32, mobil mencapai Banjar dengan gerimis menyambut kami yang sebagian masih lelap. Pukul 20:44, kami memasuki Cilacap. Dan pada pukul 1:37, baleho selamat datang di kota Jogja tertampang di pinggir jalan. Akhirnya, pukul 2.30, aku sudah berada di depan rumahku. Wuhhh, perjalanan ini nyaris memakan waktu 25 jam. Cape deh!

2 comments:

Anonymous said...

halo, salam kenal, bagus banget blognya. salut! soal perjalanan mudik, memang seru. Tp sy termasuk yg beruntung. Pagi hari tg 11 di seluruh stasiun TV dikabarkan Cipularang macet total. Tapi, siang hari, ketika sy lewat, kosong..plongg... ke bdg juga jadinya spt biasa aja, malah lebih lancar dr waktu pulang weekend. Berkah deh..:-)

Anonymous said...

Kapan-kapan ajak Ade pulang ke Yogya ya mas...

-Ade-