GODAAN itu datang di toko buku Gramedia Artha Gading. Toko buku yang jaraknya hanya seperlemparan batu dari tempatku bekerja. Perempuan yang pernah terjungkal tanpa sebab di halaman balairung UI di pagi cerah itu memberitahuku bahwa buku Philip Pullman berjudul The Golden Compass ada di rak sastra. Perempuan itu bagaikan Eva di taman Firdaus yang memetik buah apel yang ranum dan membujuk Adam untuk segera menyantapnya. Tanpa pikir panjang, kantong kurogoh, dan kubeli buku itu seharga Rp 50.000. Padahal aku tidak mengagendakan beli buku di hari itu. Maklum, sudah banyak banyak buku baru yang aku beli bulan ini. Lebih-lebih, aku harus mulai mengirit untuk biaya kelahiran peri kecilku nanti. Namun, apa boleh buat, ‘apel’ itu terlalu menggoda.
Aku begitu ngebet dengan karya Philip Pullman itu. Maklum, karya novelis kelahiran Inggris 1946 itu berhasil diadaptasikan dalam film. Film yang dibintangi Nicole Kidman dan Daniel Craig itu dirilis 4 Desember 2007. Menurut catatan, baik buku dan filmnya menuai kontroversi. Banyak kalangan, khususnya orang-orang tertentu di Gereja Katolik menilai buku dan film itu kurang cocok sebagai bacaan sekaligus tontonan bagi anak-anak. Ada yang menilai karya Pullman ini cenderung antigereja dan berisi ajaran ateisme. Aku mulai membaca The Golden Compass sejak 10 Desember 2007 . Kusudahi 486 halaman buku itu pada 12 Desember 2007 pukul 00:17. Alih-alih sebagai midnight dan cerita sebelum tidur.
Sebagai cerita, menurutku The Golden Compass sangat menarik. Ketika membacanya, imajinasiku melalang buana ke sebuah negeri irisan antara dunia real dan dunia dongeng. Mirip-mirip Harry Potter karya JK. Rowling.
Sambil menyusuri larik-larik kalimat di buku itu, aku mencoba meraba-raba mana yang menjadi titik kritik. Mana juga yang menjadi poin yang bisa dijadikan bahan kesimpulan kalau Philip Pullman itu ateis. Beberapa kali dalam novel ini, Philip Pullman menyebut gereja sebagai satu agen misterius yang berupaya mengebiri anak-anak dan memisahkan mereka dari daemonnya. Daemon istilah Pullman untuk menggambarkan jiwa (inner spirit). Di novel itu, daemon dilukiskan secara filmis sebagai mahkluk berupa binatang yang dimiliki setiap orang. Aku sendiri membayangkannya sebagai malaikat pelindung (the guardian angel). Sosok ini pertama kali kukenal lewat guru sekolah mingguku puluhan tahun silam.
Pullman juga menyebut Magisterium sebagai lembaga yang mengatur segalanya. Dalam tradisi Gereja Katolik, Magisterium lebih diartikan sebagai kuasa mengajar. Kuasa mengajar ini yang menjadi hak eksklusif para klerus dalam hierarki Gereja Katolik. Soal ini, akan kutulis di lembar putih terpisah. Pasalnya, aku pernah mengalami teguran keras oleh seorang pastor atas nama Magisterium ketika aku menerbitkan tulisan seputar gereja di majalah internal gereja. Selain itu, Pullman melontarkan terminologi baru, yakni Debu. Debu masih misterius. Di akhir novel The Golden Compass pun, Debu ini masih mengandung ketidakjelasan. Di situ, Debu diartikan sebagai dosa asal (original sin) dan dikerangkai dengan cerita pendek tentang manusia di Taman Fridaus. Tapi, aku rasa pembaca juga masih belum paham. Dan, sang karakter utama, Lyra pun masih mencari-cari apa makna sebenarnya Debu itu.
Aku sendiri punya sepotong kritikan pada Pullman. Bukan pada masalah apakah dia ateis atau bukan. Bukan juga apakah dia menyebarkan ateisme pada anak-anak atau bukan. Tapi, Pullman seakan memaksakan persoalan yang sangat teologis pada anak-anak dan menempatkan itu di akhir novel The Golden Compass ini. Cerita petualangan Lyra Belacqua bersama daemonnya Pantalaimon sejak dari Akademi Jordan di Oxford; kehilangan karibnya Roger Parslow; mengalami pencarian atas Roger; terpaksa memenuhi ajakan Mrs. Coulter ke London; melarikan diri dari Mrs. Coulter dan bertemu teman baru dari kaum gipsi: Tony Costa, John Faa, Ma Costa, Farder Coram; menemukan sahabat baru seekor beruang kutub bernama Iorek Byrnison; mengembara ke Bolvangar tempat anak-anak di penjara; dan sebagainya; diakhiri dengan kupasan teologis yang agak memusingkan khususnya bagi anak-anak. Keindahan dan liak-liuk plot cerita yang bagus sedikit mendapat gangguan di akhir cerita.
Buku pertama dari trilogi His Dark Materials ini berakhir mengambang. Masih banyak teka-teki yang belum mendapat titik terang. Maklum, ini sebuah trilogi. Oleh karenanya, dua hari setelah The Golden Compass terbeli, aku segera membeli buku kedua, The Subtle Knife di toko buku Gramedia Artha Gading. Sehari kemudian, di toko buku Gramedia Taman Anggrek, bersama ibu peri, aku membeli buku ketiga, The Amber Spyglass. Tuntas sudah trilogi itu ada di perpustakaan pribadiku. Dan benar, buku kedua menjadi jawaban atas beberapa teka-teki buku pertama. Dan mungkin yang ketiga karena yang ketiga ini aku belum membacanya.
Film The Golden Compass sudah dirilis sejak 7 Desember 2007. Tapi, di Indonesia, menurut orang tidak dikenal, film garapan sutradara Chris Weitz ini akan diputar perdana pada 5 Januari 2008. Aku menyarankan siapa saja yang mau menonton film itu, membaca dulu novelnya. Dengan begitu, kita mampu membandingkan imajinasi kita ketika membacanya dengan visualisasi cerita itu dalam film. Bagaimanapun juga, novel dan film yang mengadaptasi novel itu tetaplah dua hal yang berbeda.
1 comment:
Dalam beberapa hal, membaca dahulu sebelum menonton fimnya memang baik. Tapi, dalam beberapa hal juga, menonton terlebih dahulu baru membaca, juga asyik kok. Yang penting, tergantung moednya aja!
Post a Comment