Monday, June 16, 2008

Opiniku di Koran Sinar Harapan

SAAT sedang iseng mengelana di lorong-lorong mesin pencari Google, tidak sengaja aku menemukan namaku di website koran Sinar Harapan, koran nasional yang terbit sore hari. Nama itu muncul di rubrik opini tempat artikel opiniku dimuat. Judulnya “Martir-martir Dialog.” Opini itu dimuat pada Kamis, 21 Februari 2008.

Aku sendiri heran kenapa pihak Sinar Harapan (SH) tidak langsung memberitahukan kalau artikelku jadi dimuat. Baru hari ini, 17 Juni 2008, aku menelepon pihak SH. Hari ini pula, pihak redaksi berencana mentransfer honor tulisan itu. Menurut info seorang kawan, tidak semua media langsung memberitahu kepada penulis kalau naskahnya dimuat. Bahkan, pada taraf tertentu, si penulis itulah yang proaktif mencari tahu apakah naskahnya dimuat atau tidak dalam rentang dua minggu setelah pengiriman naskah. Yah, mungkin inilah salah satu risiko menjadi salah satu penulis lepas di negeri ini. Tidak seideal yang dibayangkan sebelumnya. Intinya, tidak menjadi masalah bagiku sekarang. Dengan dimuatnya opiniku di SH justru semakin menantang aku untuk giat menulis kembali. Bahkan, ada energi membuncah untuk meluberi koran-koran lain dengan kata-kataku.

Tulisan “Martir-martir Dialog” aku tulis pada saat pemerintah kota DKI Jakarta lagi gencar melakukan penggusuran para pedagang kaki lima. Dari Barito Blok M sampai pasar keramik Rawasari. Menariknya, peristiwa penggusuran ini dilakukan di awal pemerintahan gubernur DKI yang baru, Fauzi Bowo yang pernah berjanji tidak akan ada lagi penggusuran di Jakarta seperti yang dilakukan pendahulunya Sutiyoso. Aku mengerangkai tulisan ini dalam sudut pragmatisme dan utilitarianisme pembangunan megapolitan Jakarta. Intinya, pembangunan Jakarta cenderung menafikkan suara dan kebutuhan warga sebagai penghuni. Pembangunan hanya demi kepentingan para teknokrat, pemilik modal, dan penguasa. Jakarta memang bukan untuk semua!

Berikut adalah nukilan tiga alenia terakhir opiniku tersebut:

Dengan demikian, pembangunan demokratis yang berbasis kepentingan dari, oleh, dan untuk rakyat hanyalah semu belaka. Dalam proses pembangunan kota ini, para warga jarang dilibatkan sebagai subjek yang aktif untuk turut menentukan arah kebijakan. Ruang partisipatif sudah ditutup seawal mungkin.

Demokrasi memang bukan milik rakyat kecil. Demokrasi cenderung milik para elit, elit pemerintahan, elite teknokrat, dan elit pemilik modal.

Mungkin, Kota Jakarta akan benar-benar menjadi sebuah megapolitan, tapi megapolitan tanpa roh. Sebuah kota yang dibangun jauh dari proses pembangunan yang berkeadilan. Jakarta memang bukan untuk semua!

Tulisan utuhnya bisa dilihat di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/21/opi01.html

No comments: