Sunday, June 15, 2008

Ibu Peri Menulis

ADA hal yang membuatku surprise minggu ini. Ibu peri menulis. Oya, aku kembali menggunakan sapaan ibu peri seturut permintaannya. Padahal sejak Jagad lahir, aku mau mengganti istilah ‘ibu peri’ dengan mama Jagad. Tapi, tidak begitu masalah. Toh, sama-sama menunjuk satu orang.

Di sebuah petang, usai menghalau rasa capek akibat naik motor dari kantor di Kelapa Gading ke rumah Kebon Jeruk, aku ditanyai oleh ibu peri. “Mas, kalau mau ngirim tulisan di Kompas anak, aku harus menulis berapa halaman?” katanya.

Sontak pertanyaan ini membuatku terkaget-kaget sekaligus heran. Tumben ibu peri melontarkan pertanyaan yang tidak pernah kubayangkan. Ibu peri mengaku sedang membuat sebuah cerita pendek. Ini yang lebih mengejutkanku, yakni ibu peri menulis. Roh apa yang merasuki istriku sehingga membuat jari-jarinya mau menari-nari dan meninggalkan jejak berupa tulisan? Rasa heranku berubah menjadi rasa senang bercampur bangga.

Ibu peri bercerita bahwa ia menulis saat siang tiba. Siang di mana Jagad sedang asyik memeluk guling kecil ditemani oleh boneka anjing dan tertidur dalam iringan musik klasik. Ia merasa tiba-tiba ada ide yang menghujani batok kepalanya. Lama sekali aku tidak melihat ibu peri duduk di depan laptop dan menulis.

Petang itu, ia langsung membuka laptop dan menunjukkan karya yang 90% hampir jadi. Judulnya “Janji Martin.” Menurutku, tulisannya cukup bagus. Idenya cukup cerdas. Tapi, masih perlu memoles dan berlatih terus menghindari kalimat panjang dan bersayap sekaligus sesuai dengan standar ejaan yang disempurnakan.

“Martin, kenapa mainanmu rusak lagi?

"Kemarin boneka gorila. Sekarang robot. Mbak jadi bingung!”
Lagi-lagi nada kesal keluar dari mulut Narsih, pengasuh Martin. Bagaimana tidak bingung, hampir setiap hari ada saja mainan yang dirusak Martin. “Ah, biarin aja. Gak papa. Kalau dilempar-lempar juga gak nangis!” Selalu saja itu alasan yang keluar dari mulut Martin untuk membela diri.

Martin adalah anak tunggal. Ia merasa bebas memperlakukan boneka-bonekanya sesuka hati. Toh, pikirnya, jika rusak papa dan mamanya pasti akan membelikan yang baru. Memang orangtua Martin adalah orang kaya. Setiap Martin merengek minta mainan baru, esok harinya pasti mainan itu sudah ada di kamarnya.

Itulah tiga alinea pembuka dalam cerita pendeknya. Alurnya cukup bisa diterima. Nama Martin, karakter utama dalam cerpen itu, diambil dari nama anak sahabatnya, Bang Boston. Bahkan, ia minta izin dulu menggunakan nama itu.

Ibu peri menunjukku sebagai editornya. Aku pun melakukannya dengan senang hati. Saat kutanya apakah tulisan ini jadi dikirim ke koran atau tidak, ibu peri menjawab mantap ‘jadi!’ Bahkan, ia tampak ngotot agar tulisan itu dikirim ke Kompas Anak. Ia mempunyai dua opsi media, yakni Kompas Anak atau Majalah Bobo.

Kuakui, ada potensi menulis di dalam diri ibu peri. Dulu, saat masih pacaran, kita senang bertukar tulisan di email pribadi. Bahkan, aku dan dirinya sama-sama mempunyai blog. Sayang sekali, karena kesibukkan saat itu, bekerja sebagai internal auditor di Hotel Nikko Jakarta berlanjut sebagai store controller di head office Carrefour di Lebak Bulus, membuatnya tidak mempunyai waktu untuk menulis. Saat masih menjadi internal auditor, aku sendiri belajar banyak tentang tulisan investigasi darinya. Pasalnya, dia lebih jago tentang investigasi keuangan, paper trails, dan sebagainya. Lulusan Akuntansi Unversitas Katolik Atmajaya Jakarta ini mempunyai kemampuan analisis lebih ketimbang diriku. Baru setelah ibu peri melepaskan pekerjaan sementara demi perkembangan Jagad, ia mempunyai kesempatan untuk menumpahkan ide-idenya dalam tulisan.

Malam-malam belakangan ini, sambil menunggu pertandingan bola Piala Euro 2008, aku dan ibu peri sering mengobrol soal tulisan. Bahkan, ia mempunyai stok ide cerita anak yang siap dijadikan tulisan. Bahkan, dengan nada menantang, ibu peri siap ‘mentraktir’ jika tulisan dimuat di koran. Pokoknya laptopku selalu terbuka untuk ia pijit-pijit. Semoga optimisme dan gairah ini tetap terpelihara langgeng. Termasuk ketika ibu peri bekerja lagi. Jujur saja, melihat niat menulis ibu peri, membuat animo menulisku kembali bergairah.

Sebagai bentuk dukungan, aku pun memberikan buku-buku yang bisa membangkitkan ‘napsu’ menulis. Satu buku karangan A.S. Laksana berjudul “Creative Writing” (2006) terbitan Media Kita dan “Chicken Soup for the Writer’s Soul” (2007) terbitan Gramedia.

“Menulis adalah satu-satunya tempat aku bisa menjadi diriku sendiri dan tidak merasa dihakimi. Dan aku senang berada di sana,” kata Terry McMillan, seorang penulis Amerika. Aku pun merasa demikian.

No comments: