Monday, October 06, 2008

Pada Sebuah Halaman

Pernah melihat burung-burung dara jejingkrakan bergerombol di sebuah pelataran memperebutkan remah-remah makanan dari para pelancong? Aku pernah melihatnya! Mungkin kamu juga. Tapi, di televisi. Itu pun di sebuah daerah di benua dingin, Eropa. Potret itu juga pernah aku lihat di kalender dinding. Juga di halaman perjalanan sebuah majalah. Aku tertarik pada pemandangan itu. Sepertinya burung-burung itu punya rasa aman yang tinggi. Tidak terusik oleh mahkluk berjalan tegak dan berasio itu. Manusia pun tidak mengusik gerombolan mahkluk bangsa aves itu. Sebuah persahabatan yang indah!

Aku melihat pelataran itu berenergi magis. Menyerap siapa saja untuk datang ke situ. Para pelancong dari berbagai arah mata angin. Duduk santai. Bermandi matahari musim panas. Baca buku. Berciuman. Tiduran sambil menanti senja. Menikmati siluet di gedung-gedung tambun berusia ratusan tahun. Mengayun-ayunkan kaki telanjang di sebuah kolam. Berceloteh. Menari. Main biola. Mencuci muka dengan air yang mengalir dari lubang penis sebuah patung bocah bersayap. Bersepedia ria. Meliuk-liukkan tubuh dalam sepotong akrobat. Dan sebagainya. Dan sebagainya. Nah, begitulah aku menganalogkan halaman depan rumah kami.


Tepatnya halaman di depan garasi rumah kami. Selama hampir hampir tujuh tahun mendiami rumah bernomer 23 di sepotong gang Haji Solihun itu, aku memperhatikan ada suatu yang aneh di halaman depan rumah kami. Sebenarnya, bukan halaman. Tapi, jalan yang menghubungan sebuah ruas gang dengan sebuah pasar tradisional. Jalanan yang tiap pagi dilewati oleh istri-istri pengangguran dan barisan pembantu rumah tangga. Meski begitu, itu halamanku. Jalan sekaligus halaman. Maklum, susah mencari rumah berhalaman di ibukota. Kecuali kalau itu disulap oleh para kontraktor menjadi hunian mewah yang semakin menggeser rumah-rumah warga kecil. Tiap pagi dan sore kami menyapu dan menyiraminya dengan air. Biar adem dan teduh, kata kakak perempuanku suatu hari. Apalagi, kalau garasi bersih, rezeki akan datang mengalir sendiri ke rumah itu.

Halaman itu seperti zona ajaib. Punya kekuatan magnet. Menyerap siapa saja. Bagai Segitiga Bermuda yang menyedot kapal-kapal di lautan Atlantik ke palung misterius. Mereka doyan berhenti persis di depan garasi. Minimal satu kali dalam sehari. Paling sering para pengendara sepeda motor yang berhenti hanya untuk menerima sepotong telepon, mengirim pesan pendek, atau mengontak seseorang yang ku tak pernah tahu di mana ia berada. Ada lagi tukang asinan keliling yang senang duduk-duduk di depan sambil istirahat dan menghalau panas matahari yang membakar udara siang. Ada tukang siomay yang menggelar dagangannya tiap sore.

Tempat itu juga sering jadi tempat kencan. R-e-n-d-e-s-v-o-u-s. Tak jarang kudengar celotehan dua orang, entah dua-duanya laki-laki, entah yang satu laki dan satunya perempuan, dari bilik kamarku. Sementara kedua sepeda motor mereka di parkir miring tepat di depan garasi. Sampai kini, aku tak tahu apa isi celotehan mereka. Mungkin tentang bisnis. Proyek baru. Rumah kontrakan. Kebon anggrek. Jual tanah. Bisnis Adenium. Ah, tak tauhlah!

Aku kadang bertanya. Apa yang menarik dari sepotong halaman beraspal yang kanan kirinya ditumbuhi rumput liar itu? Pernah ada dua orang ibu-ibu dari pasar terdengar ngomel-omel. Mulut mereka meracau tak keruan. Suara gaduh pun menguar melalui lorong garasi dan masuk ke kamar lalu membuat siang jadi tambah gerah. Ada lagi para pengendara sepeda motor yang suka memutar arah persis di depan. Seolah-olah halaman itu seperti putaran lap balapan Formula 1.

Lebih lucu lagi ketika halaman itu tiba-tiba ditanami tiang-tiang penyangga terpal. Meminjam istilah Desi Ratnasari “Tenda Biru.” Hah, halaman depan rumah dijadikan pelaminan bagi tetangga yang mau nikah. Padahal rumah tetangga ada 500 meter di belakang rumahku. Tapi, kenapa aku si tuan rumah tidak diberitahu atau sekadar izin pinjam halaman. Ini sedikit menyembulkan sedikit prejudice pada saudara Betawi. Tenda ini pun memaksa aku memindahkan si kecil pindah sementara ke rumah kakak. Maklum pesta itu akan dihujani oleh petasan. Yak, daripada gara-gara petasan si kecil jadi tidak mau minum susu atau mendadak amnesia pada bapak dan ibunya. Berabe dah!

Ada juga yang kurang ajar memarkir mobilnya persis merapat di depan pintu garasi. Otomatis pintu garasi tidak bisa dibuka. Padahal seberang masih ada space khusus buat parkir. Alhasil, aku pun marah-marah pada sopir bodoh nan malang itu. Lebih kurang ajar lagi ketika masa Lebaran tiba. Dipastikan, tempat itu akan menjadi ajang menyulut petasan. “Blaar!” lalu kumbang-kumbang tak kasat mata pun berterbangan di liang telinga.

Istriku justru mengajakku bersyukur. Ternyata, halaman depan rumah menjadi tempat nyaman bagi banyak orang. Katanya lagi, coba kalau hati kita seperti halaman depan rumah itu, pastilah banyak orang akan menyediakan diri untuk mampir dan mengecap sejumput kedamaian dari sepetak halaman hati kita. Tapi, hati kita lebih sering dipagari beton tinggi. Tertutup bagi orang lain. Angker. Beku. Kesepian.

He, he, he. Iya sih!

3 comments:

Anonymous said...

Aku numpang lewat dan tertarik untuk mampir. Blog Anda pun tempat yang enak untuk mampir dan dolan, rindang, teduh, dan nyaman.

krismariana widyaningsih said...

lama nggak nengok "kebon tulisanmu" mas... siang ini aku mampir bentar.

TAMAN30 said...

kata katanya indah,enak dibaca.