Tuesday, January 31, 2006

Love Changes Everything...

Bus Sinar Jaya melaju kencang membawaku dan Eko, sahabat kantor, meluncur ke Semarang, Rabu malam (4/1). Aku bertekad untuk menghadiri pernikahan Nara Patrianila, sahabat kantor, esok harinya di Gereja St. Theresia Bongsari. Di bus, aku meyakini kami pasti datang terlambat. Dari Terminal Pulo Gadung saja kami berangkat sekitar pukul 21.30. Pagi hari, kami masih dioper ke bus lain di Pekalongan. Dari Pekalongan kami langsung menuju Semarang. Di Semarang, laju bus tersendat lantaran banjir musiman di Semarang. Hari sudah terang, padahal misa pemberkatan dilangsungkan pukul 10.00. Lagu “Semarang kaline banjir” serasa melantun pelan dalam hari. Pantes!

Namun, ada semangat luar biasa yang menggelora dalam hatiku. Pokoknya, intensiku cuma satu, yakni mengucapkan selamat pada Nara dan Christin tepat di hari pernikahannya. Nara, sosok teman yang daripadanya aku belajar banyak. Dalam sepenggal dialog, pernah aku melontarkan pertanyaan. “Apakah kamu tidak takut dengan keputusan itu. Khususnya, dalam kondisimu selama ini?” kataku. Jawab Nara, “Aku tidak takut. Takut hanya membuat hidupku tidak berbuah, tidak jernih, dan tidak membuatku untuk kreatif berusaha.”

Itulah Nara, sahabat inspiratifku. Ia adalah kakak angkatanku satu tahun di Seminari Mertoyudan. Dia orangnya tegas dan visioner. Dialah yang menyarankan aku membaca novel Paulo Coelho berjudul “Sang Alkemis.” Novel ini berkisah tentang Santiago, bocah kecil yang berjuang untuk mewujudkan mimpi dan legenda pribadinya. Kalau kita fokus dan punya intensi kuat untuk mewujudkan mimpi, niscaya mimpi itu akan terwujud. So, aku mau berpartisipasi merayakan keputusan besar seorang muda bernama Nara.

Pukul 09.30, kami tiba di terminal Purboyo, Semarang. Langsung, kami menyerbu toilet untuk mandi dan berganti pakaian. Sesudahnya, kami mencari kendaraan menuju Bongsari. Karena jalanan banjir, banyak bus yang berganti arah. Terpaksa, kami naik ojek dengan negosiasi harga yang cukup alot. Motor tukang ojek segera membawa kami, menembus genangan air, menuju gereja.

Akhirnya, jam menunjuk hampir pukul 11.00, tanda kami telat satu jam. Tapi, kebanggaan sampai di tempat lebih besar ketimbang rasa bersalah karena terlambat satu jam. Kami langsung menempati bangku gereja. Mata kami langsung menatap ke altar, tempat Nara dan Christin. Patung Yesus yang tergantung di salib seakan menjadi saksi akan keputusan agung dua orang muda itu. Aku terdiam dan merenung. Aku turut bahagia atas keberanian itu.

Ada sosok lain yang menjadi bahan permenunganku juga, yakni Aria Dewanto SJ, Jesuit muda yang memberkati perkawinan Nara. Dia juga kakak angkatanku di Jesuit. Penampilannya sangat muda, tegas, smart, dan berwibawa. Benar-benar beraura seorang Jesuit. Dia juga sosok yang berani melahirkan keputusan besar. Keberaniannya membuat hidupnya berbuah. Dan, aku bisa merasakan itu saat berjumpa dengannya.

Di akhir misa, Jesuit muda ini mempersembahkan lagu berjudul “Love changes everything.” Katanya, “Cinta mengubah segalanya, yang tidak mampu menjadi mampu...” Lalu, “Cinta tidak selalu membuat kita sama, tetapi selalu mengembangkan kita satu sama lain...”

Aku disuguhi permenungan mengenai keberanian melakukan pemilihan besar. Seni memilih inilah yang selama ini diajarkan padaku di Jesuit. Cintalah yang menggerakkan. Cintalah yang melahirkan keberanian. Ketakutan bukan ruang yang cocok untuk cinta. Sebuah spiritualitas heroik...

Dan saat itu, aku memilih seperti Maria, duduk diam dan merenungkan dalam hati...aku teringat pula Natali...lalu kukirim SMS padanya...

No comments: