Kamis sore (19/1) pukul 16.10, maut pun merobohkan tubuh Sang Uskup itu terkulai mati. Monsinyur Alexander Djajasiswaja Pr meninggal di bangsal RS Carolus Borromeus, Bandung. Kematian Sang Uskup Bandung ini pun segera menyebar ke berbagai media. Termasuk media internet yang aku terima dari milis Sesawi kemarin petang.
Sang Uskup meninggal dalam usia 75 tahun. Jasadnya akan dikubur di dalam tanah pemakaman Mawar Kasih, Banjaran, Bandung esok hari.
Aku tidak kenal Sang Uskup. Tahu sedikit tentangnya. Aku mempunyai sepenggal perjumpaan dengannya. Ini terjadi 12 tahun silam di Rumat Ret-ret Panti Samadi Sangkal Putung, Klaten. Waktu itu, bersama kawan-kawan satu angkatan di Seminari Mertoyudan, aku menjalani retret dengan Sang Uskup sebagai pembimbing. Jauh-jauh dari Bandung hanya untuk membimbing retret kami yang waktu itu masih remaja.
Dalam ret-ret, kami diajari doa syafaat. Doanya lumanyan panjang dan didoakan bersama dan intensif. Sang Uskup mengajari, doa syafaat yang dilakukan bareng dan intensif akan dikabulkan Tuhan. Kami pun berdoa dengan intensi masing-masing. Intensi ini dibacakan saat syafaat dilakukan.
Malam itu, di kapel, kami berdoa. Aku ingat betul doa yang kuucapkan saat itu. Ini tak bakalan kulupakan. Waktu itu, aku mendoakan seorang pembantu rumah tangga (TKW) asal Indonesia yang akan dihukum mati di Arab Saudi karena dituduh membunuh majikannya. Aku lupa siapa namanya. Mendengar kabar mau dihukum mati TKW ini, hatiku benar-benar terusik. Kenapa manusia harus dibinasakan? Aku menyerukan anti hukuman mati. Hidup manusia tetap di atas hukum, bukan di bawah hukum. Hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Persis seperti yang dikatakan Guru Nazaret itu, "Hari Sabat untuk manusia, dan bukan manusia untuk Hari Sabat."
Beberapa hari setelah pulang dari ret-ret, aku bersorak riang. Harian Kompas memberitakan bahwa TKW itu batal dihukum mati. Bahkan, ia akhirnya dibebaskan dari segala dakwaan dan dipulangkan ke Indonesia. Ini sebuah pengalaman rohani yang bermula dari ajakan Sang Uskup untuk berdoa syafaat. Beberapa tahun kemudian, pengalaman ini terbentur dengan berita seorang terdakwa hukuman mati asal Filipina. Lalu lahirlah tulisanku berjudul “Di Bawah Bayang-bayang Kultur Kamatian.” Inti tulisan adalah menentang hukuman mati. Tulisan ini diterbitkan oleh Majalah Rohani, terbitan Kanisus.
Itulah sepenggal perjumpaan dengan Sang Uskup. Masih terbayang jelas, sosok Sang Uskup yang sering mengusap hidungnya dengan sapu tangannya lantaran ingusnya meler terus alias ‘sentrap-sentrup.’
Selamat jalan Uskup, doakanlah dunia dengan doa syafaatmu bersama Para Kudus di Surga. Rest in Peace!
Tuesday, January 31, 2006
Matinya Sang Uskup
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment