Di sebuah milis, seorang kawan mengeluh lantaran dirinya mendapat ramalan yang kurang baik di Tahun Anjing ini. Sepanjang tahun ini, kesehatannya diramal dalam kondisi rapuh, alias rentan penyakit. Ia sendiri sudah mulai merasakan flu dan kesakitan di tangannya. Ia tampak begitu gelisah. Tak heran, jika ia minta didoakan agar lekas sembuh dan tetap hidup dengan kesehatan yang prima.
Menjelang dan sesudah Imlek kemarin, beberapa media massa menerbitkan artikel seputar ramalan di Tahun 2006, khususnya peristiwa yang akan terjadi secara nasional di Negeri ini. Banyak ragam ramalan. Dan, banyak orang yang cari-cari ramalan tentang hidupnya masing-masing. Tak pelak, Fengshui, ramalan bintang (zodiak), paranormal, dukun, dan berbagai jenis ‘orang pintar’ diserbu banyak orang. Obrolan tentang ramalan ini pun seru dan ramai terjadi di milis-milis, ruang chatting, obrolan makan siang, dan sebagainya.
Bagiku, fenomena ini sangat menarik. Letak menariknya justru pada orang-orang yang berambisi untuk diramal. Mereka tentu senang dianggap dirinya modern dan bukan orang kuno. Bagaimana orang-orang modern masih mempercayai adanya nasib atau takdir dan melakukan ramal meramal? Realitas ini tidak dapat disangkal. Masih banyak orang yang percaya pada nasib atau garis hidup.
Anthony Giddens, sosiolog asal Inggris, mengatakan bahwa paham nasib memang tidak lekang begitu saja di alam modernitas ini. Keyakinan pada hal-hal gaib, konsep takdir, dan kosmologi, masih saja hidup. Tapi, hal-hal itu, sudah berubah menjadi semacam tahayul, yang setengah dipercaya orang dan diikuti dengan agak malu-malu. Misalnya, para penjudi, para spekulan di pasar saham, masih punya ritual yang secara psikologis mengurangi rasa ketidakpastian dalam hidup. Tak jarang, mereka berkonsultasi pada para astrolog.
Modernitas menyuguhkan beragam ketidakpastian. Takdir adalah sebuah kepastian. Oleh itu itu, takdir atau nasib sudah usang di alam kontemporer ini. Penggantinya adalah konsep risiko. Konsep ini melekat pada masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Risiko juga mengacu pada bahaya yang secara aktif diperkirakan dengan kemungkinan yang akan terjadi. Risiko membutuhkan praktek kalkulasi.
Bagiku, bencana tsunami, tanah longsor, flu burung, banjir bandang, jatuh pailit bagi perusahaan, merupakan risiko dan bukan takdir. Bahkan, Giddens menilai risiko di dunia modern adalah buatan manusia sendiri (manufactured risk). Risiko eksternal sudah tergeser oleh risiko buatan. Risiko yang tampaknya eksternal (bencana alam) seperti tanah longsor, banjir, pemanasan global, adalah buatan. Ini terkait dengan perbuatan manusia, seperti pembabatan hutan serampangan, perusakan ekologi, efek rumah kaca, dan sebagainya.
Aku sendiri bukan orang yang mempercayai takdir. Jujur, aku juga senang baca zodiak dan ramalan. Tapi, sekadar iseng-iseng saja. Kalau ramalannya baik, ya senang saja. Kalau buruk, forget it! Aku lebih meyakini bahwa manusia dilahirkan dengan kebebasan. Dia sendiri yang menentukan masa depannya. Justru, hadiah paling agung dari Sang Pencipta untuk manusia adalah kebebasannya.
Kalau ada nasib, untuk apa manusia berdoa dan mohon pertolongan Tuhan? Dan untuk apa manusia bekerja dan berbuat baik? Toh, apa pun yang kita kerjakan, kita akan menemui apa yang sudah tersurat. Bagiku, takdirku hanya ada dua, yakni aku dilahirkan dan menuju kematian. Dalam bahasanya Heidegger sebagai keterlemparan dan ada menuju kematian (Sein zum Tode). Atau seperti yang dikatakan Giovanni Pico Della Mirandola, “Kita dilahirkan untuk menjadi apa yang kita kehendaki.” Nah, tuh...
Wednesday, February 01, 2006
Cemas di Tahun Anjing
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment