Menyusuri dunia para filsuf tidak selamanya membuat diriku berkerut kening. Tak selalu pusing, tapi bisa juga tertawa. Sebut saja Arthur Schopenhauer (1788-1860). Schopenhauer dikenal sebagai filsuf murung. Ia sering ditimpa kegagalan dan kemalangan.
Suatu ketika, ia diizinkan mengajar di Universitas Berlin. Di sana, filsuf besar Hegel juga mengajar. Karena sombong, ia ingin menyaingi Hegel. Ia menempatkan jam-jam kuliahnya pada jam-jam di mana Hegel juga mengajar. Sayangnya, Schopenhauer kalah peminat. Ia patah semangat dan hengkang dari universitas selamanya.
Ia adalah seorang jomblo sejati, alias selalu gagal dalam pacaran. Tapi, ia adalah orang kaya, tinggal di Frankfurt dan selalu merasa ketakutan. Pistol terisi selalu menjadi teman tidurnya. Di rumah besar lengkap dengan perpustakaan, ia meratap dan menulis. Ia banyak menulis, tapi tulisan tidak laku jual. Agar terkesan laku, ia membeli seluruh oplah bukunya dan menyimpannya.
Shopenhauer hidup sendirian. Ia muak bergaul dengan orang lain. Tambah satu lagi yang lucu darinya, yakni satu-satunya teman setia Schopenhauer adalah seekor anjing putih yang selalu menemaninya jalan-jalan. Pada tahun 1860, ia meninggal akibat sakit paru-paru. Menjelang ajalnya, tulisan-tulisannya baru dikenal dan diedarkan.
Ada sisi lain yang unik dari filsuf-filsuf lain. Karl Marx, filsuf besar yang mempengaruhi dunia ini, harus meninggal dan hanya ditemani oleh delapan sahabatnya saat pemakamannya. Biji gandum memang harus jatuh ke tanah dan mati. Setelah itu, baru tumbuh dan menghasilkan banyak buah. Nah, delapan orang kawan tadi belum ada artinya dengan jutaan orang-orang yang mengaku dirinya Marxist.
Ada lagi Thomas Hobbes (1588-1679). Filsuf yang menggaungkan jargon bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua) ini mengaku dilahirkan sebagai bayi prematur di Malmesbury, 25 Km dari London. Ia dilahirkan saat Inggris dalam kondisi ribut dan mengerikan. Oleh karenanya, dengan jujur, ia mengaku, “Ibuku melahirkan dua bayi kembar: aku dan ketakutanku.”
Kabur dari rumah ternyata tidak hanya dialami remaja zaman sekarang, tapi juga Jean-Jaques Rousseau (1712-1778). Pada usia 16 tahun, putra dari tukang arloji ini, minggat dari rumah. Ia menjadi pengembara di perbatasan Swiss-Perancis. Di sini, ia bertemu dengan seorang janda Katolik. Ia menjadi murid, pacar, sekaligus anaknya. Lalu, demi cinta, ia pindah agama dari Kalvinisme ke Katolik. Untung tidak dianggap murtad seperti di Indonesia.
Namanya juga orang Jerman, ia terkenal kaku dan disiplin. Mirip-mirip Franz-Magnis Suseno, maestro filsafat Indonesia. Namanya Immanuel Kant (1724-1804). Dari hari ke hari, hidupnya berjalan monoton dan tertib. Katanya, setiap hari Kant mempunyai acara yang sama. Nah, karena begitu ketatnya acara Kant, sampai-sampai penduduk Konigsberg tahu bahwa hari itu pukul setengah lima sore saat melihat Kant melewati halaman balai kota, lengkap dengan tongkat kayu dan jas kelabunya.
Nah, itu hanya pecahan dari narasi hidup para filsuf. Tentu, masih banyak yang lain. Toh, menjadi filsuf katanya sama saja menjadi orang gila. Enjoy dengan kisah-kisah ini, silakan saja belajar filsafat...filsafat kadang keras, tapi kadang renyah. Kadang bikin pusing, tapi kali-kali bikin senyum mengembang....
Wednesday, February 01, 2006
Yang Lucu dari Para Filsuf
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
I like it!
Teman saya yang lulusan dari fakultas filsafat di salah satu univ. swasta di Bandung, juga terkenal dengan kenyentrikannya. Ia terkenal dengan ucapannya, "setiap kali saya mengikuti matakuliah studi pembangunan, saya seringkali merasa membawa beban berat di punggung saya, sementara saya harus berjalan ke atas bukit."
Mungkin filsuf-jenius-gila, itu tipis perbedaannya. hehe...
Post a Comment