Malam telah larut. Beberapa waktu lagi, malam akan runtuh, diganti pagi. Hawa dingin menyapu pelan seluruh tubuh. Sesekali terdengar gonggongan anjing kampung saat perempuan tua itu duduk tersimpuh di atas tikar yang sudah usang dan bolong di sana-sini. Wajahnya yang mulai keriput tampil samar-samar karena pendaran cahaya lilin yang sudah tidak utuh lagi lantaran di makan api. Sementara itu, tangannya yang sudah tidak sekuat dulu, memilin pelan satu persatu butir rosario. Rosario yang terbuat dari kayu cendana dan menebar bau wangi itu digenggamnya erat. Seolah tidak ingin ia lepaskan demi sebuah pengharapan yang tiada habis.
Perempuan tua itu bernama Sumijati. Nama permandiannya, Veronica. Di depan perempuan yang akrab dipanggil mbak Sum itu, ada sebuah patung Maria yang sudah tidak utuh lagi berdiri condong di atas meja. Patung itu pemberian anak laki-lakinya 10 tahun silam saat ia berada di seminari dan ia beli saat berziarah ke Sendang Sono. Badan patung Maria telah patah dan pecah sehingga bagian kaki yang menginjak ular sudah tidak ada lagi. Konon, katanya, patung itu pernah jatuh dari almari. Tapi, mbak Sum tidak mau membuang dan menggantinya dengan yang baru. Anak perempuannya yang kini tinggal di Jakarta karena ikut suami, membelikannya patung Maria yang utuh, ukurannya lebih besar, dan menarik. Tapi, mbak Sum tetap berdoa dengan patung Maria yang sudah tidak ada kakinya itu.
Mbak Sum sangat mencintai patung Maria tanpa kaki. Keduanya seperti sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Mereka sudah saling menyatu. Suatu siang, aku pernah menanyakan hal ini. “Ibu, kenapa ibu tetap memakai patung yang sudah pecah itu? Bukannya kakak sudah membelikannya yang baru,” kataku. Dengan sangat sederhana, ibu itu menjawab, “Patung itu sungguh mau mendengarkan ibu!” Mendengar ini, aku belum mengerti apa yang dimaksud ibu itu. Aku sengaja tidak melanjutkan pertanyaanku. Aku rasa saat itu ibu memang begitu mencintai patung itu karena kedekatan emosi. Lumrah, sama seperti ketika aku juga tidak lepas dari t-shirt yang selalu aku kenakan karena ada ikatan emosi dan cerita di balik t-shirt itu. Orang lain pun pasti punya pengalaman serupa. Entah dengan surat, sapu tangan, cincin, dan sebagainya.
Tapi, malam yang hampir runtuh dan akan diganti pagi itu telah membukakan mata hatiku. Lilin yang hampir habis karena lumer itu masih memberikan beberapa cercah cahaya sehingga aku bisa memandangi patung Maria itu dengan saksama. Sementara, mulut mbak Sum terus mengucapkan “Sembah Bekti Kawula Dewi Maria” atau doa Salam Maria.
Tiba-tiba, ada sesuatu pemandangan yang unik dan indah terjadi di malam itu. Pemandangan yang tidak pernah aku jumpai selama hidup. Patung Maria tanpa kaki itu terlihat condong. Patung Maria itu tidak lagi berdiri dengan kakinya, tetapi harus disangga dengan sebuah vas bunga kecil. Karena tidak imbang, maka patung itu condong atau miring. Namun, justru karena miring inilah, patung itu tampak sungguh-sungguh mendengarkan perempuan yang sedang berdoa itu. Aku baru sadar apa yang dikatakan mbak Sum siang itu: “Patung itu sungguh mau mendengarkan ibu!”
Dan lihat, keduanya seperti tampak begitu erat. Pemandangan yang menakjubkan. Meski tanpa kaki, Maria itu tampak cantik sekali, sangat anggun, penuh keibuan dan siap mendengarkan apa saja yang mau dikatakan mbak Sum. Maria juga seolah siap menumpahkan seluruh rahmat dan cintanya untuk mbak Sum. Maria benar-benar diimani sebagai pribadi yang sungguh mendengar dan menjadi sang pengantara rahmat. Mbak Sum telah menemukan telaga rohani yang tiada habis digali. Telaga yang tidak pernah kering lantaran musim kemarau. Telaga yang selalu memberikan pengharapan dalam segala ketidakpastian dan kemustahilan dunia. Maria tanpa kaki itu menjadi tempat mbak Sum bercurhat secara intim dengan ibundanya. Mungkin, Maria tanpa kaki inilah yang selama ini menguatkan iman mbak Sum dalam menghadapi berbagai cobaan hidup yang sedang ia hadapi. Lebih-lebih, menghadapi dan menggeluti persoalan yang menimpa anak bungsunya yang terjerat narkoba yang sampai kini belum sembuh benar.
Maria tanpa kaki, itulah wujud nyata iman mbak Sum yang tak lain adalah ibu kandungku sendiri. Maria yang selalu mencondongkan diri pada setiap orang untuk mendengarkan yang berbisik padanya dalam doa...
* Saat menemukan celah keheningan di tembok kebisingan Jakarta...
[tulisan ini pernah dimuat di Majalah Utusan, terbitan Kanisius]
Wednesday, February 01, 2006
Maria Tanpa Kaki
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment