Wednesday, August 23, 2006

Bumi yang Dilukai

ADA pengalaman menarik yang aku jumpai saat aku menunaikan tugas fasilitator kemping Komisi Kepemudaan Keuskupan Bogor, di Cibodas, saat libur panjang kemarin. Aku sengaja lewat Bandung karena arus lalulintas menuju Bogor macet banget. Saat bus umum jurusan Cianjur-Padalarang melintasi jalanan Cipatat, tampak gunung-gunung kapur sudah mulai meranggas. Gunung yang dikenal gunung Masigit dan berderat dengan gunung-gunung kapur lain sepanjang Tagog Ayu sampai Rajamandala itu sudah hancur.

Gunung itu seakan terluka. Lukanya menganga lebar dengan warna putih. Punggung bumi itu tergolek tak berdaya. Di sekitar gunung, ada semacam kawasan industri pengerukan dan pengolahan batu kapur. Gunung itu tampal ‘kroak’ (hilang sebagian) dan kelihatan rapuh. Sangat ngeri bila runtuh akibat gempa, hujan, atau kena hantaman angin kencang. Pasti akan membahayakan masyarakat sekitar. Dari udaranya, tampak sekali ada pencemaran lingkungan di sana. Genting-genting rumah penduduk tercemar dengan debu-debu kapur. Berapa persen yang dihirup dan mencemari paru-paru penduduk setempat. Belum lagi dengan terganggunya lahan pertanian penduduk dan berkurangnya sumber mata air.

Gunung kapur itu mengingatkanku pada satu bola keprihatinan yang dilemparkan Gereja, khususnya tentang lingkungan hidup. Aku mencoba belajar memahami kertekaitan iman dengan lingkungan hidup. Relasi iman dengan sampah dan dimensi sosial dari sampah dan lingkungan hidup itu.

Persoalan lingkungan hidup adalah persoalan manusia. Lingkungan hidup adalah ruang manusia bereksistensi (berada dan mengada). Rusaknya lingkungan hidup menjadikan keberadaan manusia terusik sekaligus terancam. Iman sendiri tidak hanya berpola vertikal (pada Tuhan), tetapi juga teraktualisasikan secara horisontal (pada ruang-ruang sosial). Salah satu ruang sosial itu adalah lingkungan hidup.

Aku semakin sadar bahwa proses globalisasi yang terus menderu ini telah meminggirkan banyak pihak. Kesejahteraan bersama yang dikoar-koarkan para penganut ekonomi liberal hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang di muka bumi ini. Globalisasi yang menjadi jubah neoliberalisme (baca: pasar bebas) hanya menjadi motor korporasi-korporasi raksasa untuk memaksimalisasi modal dengan menghalalkan segala cara, termasuk merusak lingkungan. Rusaknya lingkungan berakibat langsung pada masyarakat. Sementara itu, hukum negara masih tampak kurang tegas dan kurang adil terhadap aksi-aksi perusakan lingkungan ini. Dari persoalan lingkungan ini, kita bisa melihat timpangnya relasi tiga poros (negara-pasar-dan masyarakat warga) sebagai penyangga keadaban publik.

Perusakan lingkungan ada di mana-mana. Contoh konkretnya, pembalakan hutan (illegal logging), pencemaran air sungai, polusi pabrik dan kendaraan bermotor, pencemaran air bersih, banjir, persoalan sampah, persoalan lumpur di Sidoarjo, tanah longsor, dan sebagainya. Masih berlanjut dengan penyakit yang muncul karena rusaknya lingkungan seperti demam berdarah, minamata, radang paru, keracunan, dan sebagainya. Selain itu, masyarakat warga semakin susah untuk mengakses udara bersih, air bersih, tanah, kesehatan, karena banyak dimensi publik yang sudah diprivatisasi dan dikuasai oleh korporasi-korporasi besar. Hukum negara lebih berpihak pada para pemilik modal. Kepentingan poros masyarakat sering dikorbankan (bdk. Nota Pastoral 2004).

Aku jadi ingat beberapa poin yang pernah aku tulis dalam skripsiku yang mengacu pada pemikiran Anthony Giddens, terkait dengan lingkungan hidup. Sosiolog Inggris ini mengatakan bahwa alam telah berakhir (the end of nature). Globalisasi telah membunuh alam dan menggantikannya menjadi alam buatan (created environment). Apa maksudnya? Banyak fenomena bencana alam sekarang yang tidak lagi murni datang dari alam, melainkan akibat ulah manusia-manusia modern dengan rasio instrumentalnya. Pemanasan global, banjir, tanah longsor, polusi, efek rumah kaca, penyakit, kelaparan, krisis energi, kekeringan, sekarang tidak murni datang dari alam, melainkan datang akibat ulah manusia. Risiko ekternal dari alam pun sudah berubah menjadi risiko buatan (manufactured risk).

Nah, karena persoalan hidup itu dipicu oleh tindakan manusia dan berdampak pada ruang eksistensi manusia, persoalan hidup ini memunyai dimensi sosialnya.

No comments: