AKU masih duduk termangu pada tepian malam. Masih kuingat kejadian di sebuah resto cepat saji di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Di sana ada obrolan. Di sana ada cerita. Di sana ada cinta. Gadis berambut ikal bermata tajam itu terus memandangiku. Kubalas tatapannya dengan mataku yang merangsek ke relung mata hatinya. Suara air kolam dan sajian fried chicken menemani obrolan kami. Sementara beberapa remaja kota asyik bersenda gurau dengan logat khas Jakartanya. Tapi, suara-suara itu tidak mengusik konsentrasi kami dalam topik pembicaraan.
“Apa kamu yakin kita mampu menikah,” tanya gadis rambut ikal itu. Aku menangkap sekelebat keraguan muncul dalam relung matanya yang tajam. Kutarik dua tangannya di atas meja. Kugegam erat dengan penuh semangat dan dengan asa tiada bertepi. Pelan kubuka mulutku dan kubisikan padanya, “Aku yakin, tidak usah takut.”
Menikah adalah keputusan yang tidak sepele. Bukan main-main dan tidak boleh dipermainkan. Keraguan yang aku tangkap dalam bola matanya itu, mengingatkanku akan cerita dari Sang Guru, seorang Guru yang diamini hampir semiliar warga bumi ini. Sang Guru itu pernah bercerita tentang seorang raja yang hendak maju berperang. Adalah bijak, jika raja itu duduk termangu untuk menimbang-nimbang seberapa kekuatan musuh dan seberapa kekuatan skuad tentaranya. Ini untuk mengantisipasi rasa malu jika pasukannya kalah dan raja itu pulang kandang dengan pakaian lusuh dan jiwa yang hancur karena kekalahan. Demikian juga dengan pernikahan. Ia membutuhkan pertimbangan yang bijaksana. Dan keraguan gadis berambut ikal itu cukup lumrah. Realistis.
Aku kembali duduk di atas singgasana pikiranku. Aku melihat diriku dalam sebuah cermin. Aku mulai berpikir, dan karena itu aku ada. Berpikir atau ragu-ragu bedanya cukup tipis. Tapi, aku memilih kata berpikir karena keraguan sudah ada dalam bola mata gadis berambut ikal itu. Apakah aku mampu mengadakan sebuah perhelatan cinta yang sekali seumur hidup menurut Gereja Katolik itu?
Aku sadar diriku hanyalah seorang perangkai dan penjual kata-kata. Upah dalam merangkai kata-kata itu pun tidak seberapa. Tapi asa dalam diriku tidak pernah berkesudahan. Asa itulah yang menjadi bara energi hidupku melintasi rimba raya kehidupan yang penuh misteri ini. Asa itulah yang menyibak segala problematika dan seribu satu keraguan: mau makan apa, tinggal di mana, kalau ada musibah bagaimana, dan sebagainya.
Kutatap lagi gadis berambut ikal itu lagi. Rasanya ingin kupersilakan bola matanya itu membaca apa saja yang tertulis dalam hatiku saat itu. Pelan aku membuka bibirku dan mengatakan, “Jangan takut. Yakin saja. Di mana ada cinta, di situ pasti ada jalan.”
Aku terhenyak. Demikian juga gadis berambut ikal itu. Aku tak percaya aku bisa mengucapkan kata-kata itu. Rasanya ini sebuah aufklarung, fajar budi, pencerahan. Bak Archimedes yang tercebur di dalam bak air, aku berteriak eureka, aku telah menemukannya. Sebuah cinta, sebuah jalan. Di mana ada cinta, di situ ada jalan. Ah, ini laksana iringan The Magic Flute karya Wolfgang Amadeus Mozart. Iringan pembebasan orang-orang yang ingin merdeka dari rasa ketakutan, dogmatisme, dan kekerdilan berpikir di Abad Pertengahan. Sang Surya telah terbit menghalau kegelapan.
Bola mataku bertatapan dengan bola matanya. Aku melihat sebuah pelita kecil mulai menyala dalam matanya. Redup. Tapi ia tetap memilih mengunci bibirnya yang ranum.
Percikan aufklarung tadi mengantar memoriku pada seorang bocah penggembala di padang rumput Andalusia. Ia bernama Santiago. Santiago adalah tokoh rekaan Paulo Coelho, seorang novelis berdarah Brazil. Santiago aku temukan dalam novelnya berjudul Sang Alkemis. Novel ini pula yang menjadi kadoku buat gadis berambut ikal itu di malam Natal tahun lalu. Novel ini berkisah tentang pencapaian mimpi Santiago. Mimpi yang harus dibayar dengan peziarahan panjang dan melelahkan.
Perjumpaan dengan seorang tua bernama Melkizedek menyadarkan Santiago itu pada Legenda Pribadi. Setiap orang mempunyai Legenda Pribadi masing-masing. Tapi, Raja Salem itu mengingatkan, banyak orang yang gagal mewujudkan Legenda Pribadinya itu. Banyak orang yang rela menyerahkan hidupnya pada nasib. Orang tidak punya keyakinan, orang takut, orang tidak punya kehendak yang kuat, dan orang kehilangan mimpinya itu. Lebih parah lagi, orang tidak berani bermimpi.
Santiago percaya kalau dirinya yakin mimpinya, maka seluruh alam semesta ini akan membantu meraihnya. Orang Jawa pernah berpesan, rezeki bagi orang menikah tidak usah dikawatirkan. Satu mulut, rezekinya datang mencukupi buat satu mulut. Ketika menikah, ada dua mulut. Maka alam akan memberikan rezeki itu secukup dan seadilnya. Itulah kebijaksanaan alam.
Kaki Santiago berlanjut melangkahi Tangier, sebuah kota pelabuhan di Afrika. Perjalanan berlanjut ke padang gurun Arab. Di sana ia bertemu dengan Sang Alkemis, Batu Filsuf, dan Obat Hidup. Di oasis Al-Fayoum, ia bertemu dengan seorang gadis dan jatuh cinta. Namanya Fatima. Segera adegan ala Katakan Cinta, sebuah program komersial salah satu televisi swasta, terjadi. Balasan Fatima menghentak jantung Santiago. “Seorang dicintai karena ia dicintai. Tak perlu ada alasan untuk mencintai,” kata Fatima.
Perjumpaan dengan Sang Alkemis menjadi batere peziarahan meraih mimpi Santiago. “Hanya satu hal yang membuat kamu meraih mimpi kamu,yakni keberanian. Memang menakutkan dalam mengejar mimpi-mimpi itu. Kamu mungkin akan kehilangan semua hal yang telah kau dapatkan,” kata Alkemis.
Memang, ketakutan adalah modal bagi setiap pecundang. Ketakutan adalah wajah awal dari sebuah kegagalan. Persis juga yang diucapkan Miyamoto Musashi, pangeran pedang Jepang rekaan novelis Eiji Yoshikawa, “Aku diajari untuk tidak takut pada siapa pun. Hanya satu yang saya takuti, yakni ketakutan itu sendiri.”
Aku tidak mau jadi pecundang. Kugenggam lagi tangannya. “Yank, mau kan meraih mimpi-mimpi kita. Tapi, semua tetap bebas dan merdeka. Kamu tetap merdeka untuk menentukan pilihan, sebelum semuanya terlambat,” kataku pada gadis berambut ikal itu. “Ya, aku mau sama kamu. Tapi, apa yang sudah kita punyai,” ia menyahut dan menyembulkan secuil keraguan.
“Ya, untuk saat ini aku tidak mempunyai banyak. Mungkin orang lain bisa menyediakan banyak hal untukmu. Tapi, aku sekarang seperti seorang janda miskin yang mempersembahkan satu keping mata uang di Bait Allah. Mungkin, ia satu-satunya orang yang memberi paling sedikit, cuma satu keping mata uang. Yang lain memberi berkeping-keping. Tapi, jangan kira dia tidak memberi apa-apa. Justru, dia yang memberi paling banyak dari orang lain itu. Sekeping mata uang itu adalah seluruh hidupnya. Banyak orang yang memberikan banyak keping dari kelimpahannya, tetapi janda itu memberi dari kekurangannya. Bahkan, seluruh hidupnya ia serahkan,” kataku lirih.
Bola mata gadis berambut ikal itu mulai basah. Tergenang air mata. Meluber dan mengalir deras melalui kedua pipinya. Gadis itu menangis. Ia menggegam erat tanganku. Bibir ranumnya sedikit bergetar. Ia berancang-ancang mengucap sesuatu. Dan...”Aku sayang dan pilih kamu. Kita pulang sekarang,” katanya.
Bibirku terkunci. Terdiam untuk beberapa lama, sampai sepeda motorku melaju meninggalkan Kemang dengan sekeping mata cinta.
Adegan itu berakhir. Aku tersadar kembali dari permenunganku. Malam masih berselimutkan kesunyian. Aku mulai beranjak. Di ruang tamu kulihat ibuku sedang membaca majalah tempat tulisan-tulisanku diterbitkan. Ibuku pernah bilang, “Jangan menjadi orang yang seperti tidak mempunyai Tuhan.” Kata-katanya tajam dan menusuk alam kesadaranku. Aku pun berlenggang dan melanjutkan malam itu dengan menonton bola, Inggris melawan Paraguay.
@ artikel ini diterbitkan di buku kenangan pernikahan Thomas&Sara 3 September 2006 berjudul "Sigaran Nyawa: A Tribute to Love".
Wednesday, August 23, 2006
Sekeping Mata Cinta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Selamat yach akhirnya kamu dapat menghargai sebuah komitmen kamu dan pasanganmu. Semoga awet yach Git
Post a Comment