Thursday, August 24, 2006

Surga di Ujung Utara Republik (I)

PESAWAT Lion Air dengan nomer penerbangan JT 776
itu mendarat selamat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Lega rasanya setelah dua jam melintasi langit. Kamis itu masih pagi, 29 Juni 2006. Langkah pertamaku saat menginjakan kaki di tanah penghasil kue halua kenari itu adalah mencocokkan jam digital di ponselku dengan waktu setempat. Pasalnya, Manado lebih awal satu jam ketimbang Jakarta.

Di pojok langit bandara, Gunung Klabat sudah menunggu. Gunung yang kata orang setempat berisi air di bagian kawahnya itu menjulang tenang. Pagi itu, pucuk gunung itu tertutup lembaran awan putih. Tampak anggun bak lukisan di atas kanvas.

Tanah Manado adalah gerbang perdana rute perjalananku menuju Talaud, sebuah kabupaten termuda di ujung utara Indonesia. Aku diserahi tugas untuk meliput kabupaten Talaud di hari ulang tahunnya yang ke-4. Talaud merupakan kabupaten pemekaran dari Sangihe-Talaud. Karena Talaud merupakan daerah kepulauan, transportasi didominasi oleh jalur laut. Lika-liku panjang harus aku lalui.

Bersama seorang kawan, aku mengambil jeda dengan menyerutup secangkir capuccino di kounter minuman bandara. Harian Manado Post dengan harga eceran Rp 3000 sejenak menemani kami. Sudah menjadi ritual lama membeli koran setempat bila aku berpergian jauh. Tidak lama, seorang bercelana tanggung, berkaos putih, bertopi biru, mendatangi kami. Ia menawarkan jasa angkutan. Kami pun terlibat dalam negosiasi harga. Setelah sepakat, segera kami berkemas. Mobil kijang merah segera membawa kami menuju pelabuhan. Jarak bandara dengan pelabuhan Manado sekitar 15 kilometer. Kami pun harus merogoh kocek sebesar Rp 70 ribu, sesuai kesepakatan.

Perjalanan menuju pelabuhan cukup mengasyikan. Selain karena keramahan si sopir yang mengaku bernama Frans, juga hal-hal mencolok di jalanan. Bangunan gereja bertebaran di sepanjang jalan. Bisa jadi, satu kilometer perjalanan, aku bisa menghitung ada sekitar tujuh gedung gereja berdiri di pinggir jalan. Maklum, mayoritas penduduk Sulawesi Utara adalah Kristen. Inilah jejak nyata dari para misionaris Spanyol yang ikut mewartakan Kabar Baik bersama para musafir di abad ke-16.

Hal mencolok kedua adalah bendera dan umbul-umbul Piala Dunia 2006 berkibar di hampir setiap rumah. Atribut-atribut tim-tim di putaran final pun dipasang di banyak angkutan yang beradu jalan dengan kijang kami. Beda dengan Jakarta, sepi. Kata Frans, tidak hanya itu. Mereka juga melakukan pawai di jalan-jalan, tak mau kalah dengan kampanye saat Pilkada. Bahkan, ajang olah raga bergengsi ini menjadi bahan judi dan taruhan. Tak hanya uang yang dipertaruhkan, tapi juga tanah, rumah, dan mobil.

Setelah kurang lebih setengah jam, kijang merah itu berhenti. Tepat di depan gardu masuk pelabuhan. Angin pantai mulai menyapu tubuh. Suara hiruk-pikuk orang di pelabuhan menjadikan pagi menjelang siang menjadi riuh. Segera lima orang berlarian menjemput kami. Mereka menawarkan angkutan kapal motor berukuran kecil. Tapi, sesuai saran, aku harus naik kapal besar. Pasalnya, perjalanan ke Talaud lebih aman dengan kapal besar. Diantar Frans, aku pun menuju kounter karcis kapal. Akhirnya, setelah keliling, aku mendapatkan tiket kapal Maria Ratu seharga Rp 150 ribu. Untuk menyamankan perjalanan selama 18 jam itu, kami memesan kamar seharga Rp 300 ribu.

Nama-nama kapal yang merapat di pelabuhan sangat bernuansa Kristen. Sebut saja Maria Ratu, Queen Mary, Elisabet, Margaret, Ave Maria, dan sebagainya. Bahkan, di ruang radio dan nahkoda, tertata perabot religius seperti salib, patung Maria, patung Yesus. Tak jarang pula, sering terdengar teriakan ‘aleluya’ dari kerumunan orang di pelabuhan. Tak jelas, apakah mereka sedang memuji Tuhan atau mengumpat.

Setelah tiket ada di tangan, aku segera menunggu di pos pelabuhan. Menurut jadwal di tiket, aku harus menunggu tiga jam untuk bisa naik kapal. Di pos, orang berkerumun menunggu kapal. Tak lama, perutku mulai mengeluarkan suara manja. Pertanda harus diisi makanan. Mataku menyapu pos, mencari warung makan. Di pojok, ada warung makan. Aku pun makan nasi kuning dengan lauk telur goreng dan sambal udang yang pedasnya menusuk langit-langit mulut.

Setelah makan, aku pun berjalan-jalan santai di pesisir pelabuhan. Kamera digital keluaran Pentax terkalung di leher. Angin pantai bercampur bau pasir membangkitkan adrenalinku untuk berpetualang. Mataku menjelah dari sudut ke sudut pelabuhan. Perumahan dengan genting warna-warni membuat suasana pesisir jadi indah. Bangunan kantor pelabuhan dengan tembok bercat warna-warni menjulang dengan gagah. Pelabuhan Manado tampak cukup bersih dan tertata. Minimal lebih baik ketimbang pesisir Muara Angke Jakarta yang aku sambangi tahun lalu.

Wajah pelabuhan ini tentu saja sangat berbeda dibanding saat kapal-kapal musafir Spanyol pimpinan Ferdinand Magelhaens merapat pada 1532. Menurut data sejarah, pelabuhan ini pernah dijadikan persinggahan dan posko perolehan air tawar sebelum Spanyol menguasai kepulauan Filipina pada 1542. Relasi para musafir Spanyol dan penduduk setempat terjalin erat dalam sektor ekonomi. Mereka melakukan barter beras, damar, madu, dan hasil hutan dengan ikan dan garam. Lantaran cuaca tropisnya, Spanyol pernah menjadikan Manado tempat yang tepat untuk membuka perkebunan kopi. Biji kopi di dapat dari Amerika Selatan dan hasilnya di pasarkan di daratan Cina.

Dua setengah jam berlalu. Tampak orang semakin berjubel masuk kapal. Segera aku membawa tas ranselku dan ikutan rombongan masuk Maria Ratu. Setelah berdesakan dengan para buruh pelabuhan memasukan barang, akhirnya aku sampai di tingkat II. Kamar nomer 5 sudah terbuka. Aku menaruh tas di kamar itu. Hampir empat jam aku harus menunggu di geladak kapal. Jadwal yang tertera di tiket tidak berlaku. Para buruh sibuk mengangkat barang ke kapal. Ada kasur, sepeda motor, kursi, meja, botol-botol softdrink, indomie, dus-dus komputer, dan sebagainya. Barang-barang ini mau dibawa ke Talaud. Maklum kebanyakan barang di Talaud dibeli dari Manado.

Mulai jenuh menunggu, aku pun bertanya pada salah seorang penumpang tentang keberangkatan kapal ini. “Biasanya jam enam mas, nunggu air laut pasang dulu,” katanya sambil telunjukknya mengarah pada permukaan air laut. Mau tidak mau, aku memilih sabar. (bersambung).

2 comments:

Anonymous said...

mana kelanjutannya? penasaran nih... (sahabat di negeri senja)

Anonymous said...

baru baru ini saya baru pulang dari paradise island (kep.Talaud)
penasaran dengan pesta rakyat di kepulauan intata (pulau tak bertuan.red)yaitu "mane'e"
semacam ritual panen ikan yang hanya diadakan setiap bln mei berasaskan kondisi laut yang lagi tenang...
ternyata tak percuma pengorbanan saya untuk bela2in cuti dari kerjaan yang tak ada habis2nya...
i feels in heaven...!!!
kenapa tidak...kami merasakan kebersamaan setelah mendapatkan hasil tangkapan dan membakarnya rame2...makan rame2...ada yang tak mahir menangkap jangan kecil hati..asas kebersamaan sangat kental di talaud..kau tak bisa beli bila kau tak mendapat ikan...tapi mereka akan mengajakmu makan bersama..
aku terharu...dan kupastikan aku akan merindukannya...merindukan keindahannya...merindukan langitnya...terutama bila malam...bintang adalah temuan langka di langit jakarta...tapi di talaud...kau akan melihat keajaiban cakrawala di kala malam...
dalam hatiku aku mengucap lirih...
"opa berbahagialah engkau karna kau di lahirkan di bumi yang indah"
(opa omaku asli talaud kampung halaman mereka di karatung dan di kakorotan.red)

salutku padamu,,,
musafir muda..ditunggu kelanjutannya...

gbu

sisca_tuning@plasa.com