HARI Selasa di Universitas Regensburg, Jerman. Mungkin tak disangka oleh Paus Benediktus XVI, teks pidato ilmiahnya yang ia bacakan saat mengunjungi kampus di Bavaria menimbulkan polemik. Ada bagian dari teks kuliah yang berjudul “Iman, Akal Budi, dan Universitas” itu dinilai melecehkan agama Islam. Tentu saja, reaksi keras dan cepat ke seantero dunia ini tidak lepas dari peran besar media massa yang meliput pembacaan pidato pada 12 September itu.
Pada Minggu (17/8), di kastil musim panas Gandolofo, Italia, Paus menyampaikan permintaan maafnya atas salah paham pidatonya tentang Islam dan kekerasan. Reaksinya pun beragam. Untungnya, masih banyak saudara Muslim yang memahami dan menerima dengan tenang hati permintaan Paus yang bernama asli Ratzinger itu. Kekhilafan memang bisa menimpa siapa saja. Paus mengatakan kutipan dari teks Abad Pertengahan soal jihad tidak mencerminkan pendapat pribadinya. “Saya sangat menyesal atas reaksi di beberapa negara pada beberapa bagian dari pidato saya di Universitas Regensburg,” kata Paus.
Di Indonesia, seperti diberitakan Kantor Berita Antara, Kardinal Darmaatmadja SJ juga menyampaikan permintaan maaf secara resmi menyangkut pernyataan paus yang dinilai melukai umat Islam. "Pimpinan kami telah mengucap `statement` yang melukai, kami ikut minta maaf. Barang sudah terjadi, tak bisa ditarik kembali. Tapi itu disesalkan dengan harapan tidak terulang lagi," kata Kardinal.
Yang menarik dari peristiwa ini adalah sikap maaf itu sendiri. Sangat dihargai jika seorang pemimpin, bahkan pemimpin tertinggi agama sekaliber paus, mengakui kekhilafnya dan mengajukan permintaan maaf di depan dunia. Ini sebuah ungkapan kerendahan hati. Momentum ini juga menunjukkan bahwa petinggi agama pun tidak luput dari kesalahan. Lebih menarik lagi, masih banyak kalangan Muslim yang mau dengan rela hati menerima permintaan maaf Paus tadi. Harapan dunia untuk terus memelihara persaudaraan antarumat beragama tidak pernah padam dan tidak berharap jalinan yang sudah lama dibangun dengan susah payah ini rusak gara-gara perkataan Paus itu.
Dalam sejarah Gereja, ada suatu masa di mana Paus menyatakan dirinya sebagai pihak yang tidak salah dan sesat. Secara formal paus dinyatakan tidak sesat (infalibilitas) dalam Konsili Vatikan I (1869-1870). Dalam Konstitusi Dogmatis "Pastor Aeternus" Konsili tersebut menegaskan bahwa apabila Paus berbicara dengan menegaskan keseluruhan kekuasaan mengajarnya, maka dia berbicara tanpa kesesatan tentang iman dan moral. Karena itu pembicaraan seperti ini bersifat mengikat dan harus diikuti oleh semua orang Katolik. Kuasa ini diberikan karena Allah yang menjiwai seluruh Gereja dan yang menjamin bahwa Gereja secara keseluruhan tidak dapat sesat. Allah telah menjamin bahwa seluruh Gereja tidak akan bermuara dalam kesesatan atau kekeliruan. Sebab itu, instansi tertinggi di dalam Gereja diyakini sebagai instansi yang menjamin kebenaran dan keterarahan perjalanan seluruh Gereja (bdk. Dr. Paul Budi Kleden, SVD, Kuasa Mengajar Paus).
Pada tahun 1832, melalui ensiklik Mirari Vos, Paus Gregorius XVI mengutuk liberalisme dan kebebasan berpikir. Pada tahun 1864, dengan nada yang sama, Paus Pius IX dalam Sylabus Errorum-nya, mengecam cita-cita demokrasi modern, kebebasan berpikir, dan kebebasan beragama. Kebenaran diperlakukan tunggal dan seolah tidak ada kebenaran di tempat lain. Tidak lekang dari ingatan sejarah, Gereja juga pernah menghalalkan tindak kekerasan terhadap siapa saja yang dinilai bertentangan dengan ajaran. Dulu, penganiayaan menimpa ilmuwan Galileo Galilei yang berseberangan dengan ajaran Gereja seputar pusat alam semesta. Demikian juga yang menimpa Giordano Bruno yang harus merelakan dirinya dibakar hidup-hidup di alun-alun kota Roma. Di Abad Pertengahan, beberapa paus menganjurkan pemakaian senjata untuk Perang Salib. Di Abad modern, zaman Nazisme Hitler, dunia juga mengecam Paus Pius XII yang seolah mendiamkan pembasmian ras Yahudi.
Itulah beberapa deret fakta sejarah yang mengatakan bahwa paus pun bisa salah. Ajaran ketidaksesatan paus juga tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Meski begitu, baru pada zaman Paus Yohanes Paulus II secara gamblang Gereja minta maaf atas sikap dan perilaku Gereja yang tidak baik selama sejarah peradaban. Permintaan maaf dari petinggi Gereja Katolik atas kesalahan-kesalahan yang telah dibuat Gereja sungguh sangat kita hargai. Rekonsiliasi dunia terjadi jika pertama-tama ada pengakuan dan permintaan maaf dari pelaku.
Dunia terus melaju. Kesadaran manusia juga berkembang. Gereja senantiasa mempertobatkan diri. Babak baru dalam sejarah Gereja dimulai dengan Konsili Vatikan II (1962-1965). Gereja secara resmi membuka diri pada dunia dan mengakui dan menerima keberagaman yang ada di dunia ini. Melalui Nostra Aetate, Gereja mengakui keberadaan agama-agama non Kristen. Gereja tidak menolak kebenaran yang ada di dalam ajaran agama-agama itu. Mulai saat itu, diakui ada keselamatan di luar Gereja Katolik. Ajaran Nostra Aetate memunyai andil besar dalam dialog-dialog antarumat beragama. Meski pada kenyataannya, dialog-dialog sebenarnya sudah lama dilakukan jauh sebelum Vatikan II, tetapi secara ajaran, Nostra Aetate menjadi gerbang lebar bagi dialog dan persaudaraan antarumat beragama. Dialog ini juga menjadi sarana menyembuhkan dan rekonsiliasi pada luka-luka sejarah seperti di zaman Perang Salib.
Dalam Nostra Aetate, dikatakan Gereja menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa. Diakui Gereja bahwa iman Islam juga sebagai jalan menuju keselamatan.
Semangat dialog antarumat beragama inilah yang digencarkan oleh mendiang Paus Yohanes Paulus II. Tak heran, banyak tokoh-tokoh agama menghargai dan menghormati Paus ini.
Terus menerus membangun dialog dan persaudaraan sejati antarumat beragama jelas menjadi panggilan hidup sebagai orang Katolik pada zaman sekarang. Sebagai keluarga Indonesia, sebenarnya kita harus bersyukur telah memunyai Pancasila yang sangat menghargai keberagaman, kemanusiaan, sekaligus keadilan. Meski sempat tercoreng oleh Rezim Soeharto, Pancasila harus senantiasa kita jadikan dasar juga dalam hidup bersaudara di Indonesia ini.
Di komunitas, kita bisa mengembangkan semangat dialog ini di lingkungan-lingkungan sebagai wujud komunitas basis insani. Dialog bisa berupa ketemu, berbincang, maupun berkegiatan bersama. Ini menjadi panggilan kita semua. Semoga kasus Paus ini tidak menghentikan langkah kita untuk terus membangun persaudaraan universal. Toh, sebenarnya Paus bermaksud melanjutkan dialog-dialog yang sudah berjalan. Dan saatnya merayakan perbedaan! [berbagai sumber]
Friday, September 22, 2006
Paus Bukan Superman
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Mengapa Paus hanya meminta maaf karena kesalahpahaman yang muncul atas pidatonya bukan karena tidakan mengutipnya?
Akan lebih baik lagi jika dia berani mengaku salah.
Atau mungkin dia tidak merasa tindakannya salah?
maaf, sebelumnya anda harus melihat ini http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10151218954844638&set=a.99350589637.111403.91119074637&type=1
Post a Comment