MALAM-malam insomnia. Itulah yang sering kutunggu. Sekarang, ia hadir dengan jubah kensenyapannya. Mencintai insomnia? Duh, sebuah hal aneh. Tidak lumrah. Banyak orang kota mengeluh jika insomnia datang dan merorong isi kepala mereka. Insomnia telah membuat kepala mereka seperti bongkahan es beku. Dingin. Kaku. Bikin linu dari kulit ari hingga sumsum tulang. Mata tidak mau terpejam. Seakan ada bongkahan kayu yang dipaku melintang di matanya. Malam pun menjadi beban meletihkan. Lebih-lebih jika ia datang dan merangsek ke ulu hati. Mencacah-cacah rasa. Merica-rica asa. Kemudian ke otak. Seakan-akan, seekor ular masuk ke batok kepala mereka tanpa diundang. Menggeliat. Mencecap habis bubur otaknya. Menimbulkan sakit bukan kepalang. Insomnia bak malaikat neraka yang mengantar pesan bahwa esok tidak akan ada. Matahari tidak akan bangkit dari tidurnya. Kiamat. Yeaah, orang-orang yang malang. Namun, kukatakan pada angin malam yang berhembus lembut dari kisi-kisi jendela kamarku, aku mencintai insomnia.
Sekali lagi aku mencintai insomnia. Sejak bola raksasa lenyap di perut bumi, aku sudah bersiap menjemputnya. Bak seorang bapak yang duduk di emperan rumah ditemani cerutu cokelat menunggu kembalinya anak bungsu dari perantauan. Malam insomnia adalah malam di mana kepalaku lagi dihujani ide-ide. Ia datang dan membuatku berputar bagai gasing. Berlanjut memantik api pikiranku untuk menelusup di berbagai labirin-labirin pemahamanku akan realitas. Pada saat inilah, malam berubah menjadi siang. Semua tampak jelas, kentara, logis, dan indah. Matahari seolah muncul lagi dan masuk ke dalam batok kepalaku. Ia menerangi jalan-jalan yang sudah aku lalui. Pada momen inilah, syaraf-syaraf motorikku bergetar. Menggelinjang seperti sepasang kekasih tenggelam di balik ranjang. Dan tumpahlah hasil ‘orgasme budi’ itu dalam bentuk tulisan. Entah di secarik kertas atau di layar laptopku.
Pada malam insomnia sekarang ini, aku ditemani secangkir nutrisari hangat dengan aroma jeruk nipis. Selain rasanya, aku juga menyukai warnanya yang hijau kekuningan. Menyegarkan. Menyejukkan. Mencerahkan. Tradisi menyeruput nutrisari jeruk nipis ini pernah aku lakukan enam tahun silam. Dulu, di asrama, tiap sore sehabis jogging. Segelas besar nutrisari jeruk nipis yang bergolak dengan potongan kecil es batu menjadi minuman favorit sambil melepas lelah, meluruskan otot-otot kaki, sambil menyaksikan detik-detik matahari tenggelam di kaki langit pada sebuah loteng asrama. Duh, sungguh dahsyat! Surga itu dekat, ternyata. Setelah memanjakan kerongkongan dengan cairan ajaib itu dan sesudah mandi sore, adalah saat tepat untuk belajar. Semua menjadi terang-benderang seterang lampu duduk di mejaku. Buku-buku berubah seperti kue-kue yang renyah dimakan. Dan belajar petang menjadi ritual yang menyenangkan.
Itulah malam insomnia. Malam yang kunanti. Malam yang kucintai. Pada saat itulah, ide-ide segar meloncat dan menari-nari di dalam kepala. Mendorong hasrat untuk segera menumpahkannya pada secarik kertas atau layar laptopku. Malam insomnia beraroma jeruk nipis...
Sunday, January 21, 2007
Malam Insomnia Beraroma Jeruk Nipis
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment