Tuesday, January 23, 2007

Mengunjungi "Kunjungan Cinta"

STASIUN Kota Goela suatu hari. Masih sepi. Seorang gembel rambut gondrong dan berbaju kumal tidur-tidur ayam di sebuah bangku yang teronggok di sudut stasiun. Sementara seorang pelukis mengayun-ayunkan kuasnya di atas spanduk yang terlentang di lantai. Tak lama, stasiun kembali riuh. Segerombolan orang dengan kostum hitam datang dan duduk bebas di bangku. Mereka tertawa. Mereka mengoceh. Mereka tersenyum. Kepala mereka sesekali bergerak kekiri dan kekanan melihat kereta lewat. Lalu, rombongan walikota datang dan meramaikan stasiun. Seorang penjaga stasiun hilir mudik meniup peluit dan daun-daun kering terhambur oleh angin yang terhempas dari gerbong kereta yang melintas. Mereka sedang menunggu kedatangan seseorang perempuan tua yang menjadi taipan kaya raya. Mereka seolah menunggu ‘Ratu Adil’ yang akan menyelamatkan Kota Goela dari keterpurukan ekonomi. Goela, sebuah kota yang bangkrut berlarut-larut. Perempuan itu tak lain adalah nona Klara Zakanasian.

Itulah adegan pembuka dari lakon “Kunjungan Cinta” yang dimainkan oleh Teater Koma. Kunjungan Cinta merupakan produksi Teater Koma ke-111 yang digelar dalam rangka ulang tahun Teater Koma ke-30. Nah, ini adalah malam pertama ketika aku nonton teater bersama istriku. Sebelumnya, aku nonton rame-rame bersama para sahabat. Untungnya, justru istriku yang ngebet banget menonton lakon garapan sutradara Nano Riantiarno itu. Akunya, dia menjadi fans berat Teater Koma. Dia sudah menonton beberapa lakon, seperti Opera Kecoak, Maaf-Maaf-Maaf, Tanda Cinta, dan Sampek Engtay. Yah, sebuah kenikmatan tersendiri nonton bareng istri yang juga doyan seni.

Kereta yang membawa Klara Zakanasian (Ratna Riantiarno) tiba. Spanduk selamat datang dibentangkan. Membelakangi panggung yang ditata dengan gaya realis. Sebuah hotel mewah, stasiun kota, dan rumah penjual kelontong. Paduan Suara Kota Goela menyanyikan lagu “Selamat Datang.” Walikota (Budi Ros) menyambut hangat. Tak ketinggalan Ilak Alipredi (Butet Kartaredjasa), seorang pemilik toko kelontong dan calon walikota masa mendatang. Ilak Alipredi didaulat untuk membujuk Klara agar sudi menolong perekonomian Kota Goela yang seperti ikan sekarat tergelepar di pasir pantai dihunjam panas matahari. Tidak ada pekerjaan bagi orang-orang Goela selain menonton kereta lewat di stasiun.

Dalam sebuah pertemuan dengan warga, Klara mau menghibahkan uang Rp 1 triliun untuk membangun Goela. Kedermawanan yang disambut baik oleh walikota dan seluruh warga. Namun, Klara meminta satu syarat, yakni Ilak Alipredi harus dibunuh. Klara membuka tabir aib tentang Ilak Alipredi 45 tahun silam. Klara dan Alipredi adalah sepasang kekasih pada waktu itu. Namanya orang muda sering ‘sembrono’ dan akibat kesembronoan itu hamillah Klara. Tapi, Alipredi tidak mau bertanggung jawab. Ia malah mengawini anak gadis pedagang kaya, Matilda Blumar (Sari Madjid). Alipredi sempat dibawa ke pengadilan, tapi bisa lolos karena keterangan dua saksi palsu. Klara sempat terlunta-lunta dan menjadi pelacur sampai seorang lelaki kaya raya mengawininya. Klara berubah nasib. Ia mau membalas dendam. Dua saksi ini dibuat buta dan dikebiri oleh Klara dan dijadikan abdi setianya.

Tawaran nona Klara cukup mengagetkan. Membawa pergulatan besar bagi orang-orang Goela yang menjuluki diri sebagai kota yang bermartabat. Pada titik inilah, Klara bermain. Perempuan flamboyan yang suka gonta-ganti suami ini mulai memutar uang. Lagi-lagi, uang digunakan untuk menjebol benteng moral dan idealisme. Akhirnya, uang pun menang. Seorang yang disebut Guru (Supartono JW) mengeluhkan, “Godaan ini terlalu besar, kemiskinan terlampau getir.” Kemiskinan yang sangat getir membutakan nurani untuk merengkuh materi. Tak lama, warna suram Kota Goela diubah ceria. Orang-orang yang dulu berpakaian lusuh, berganti pakaian pakaian mode luar negeri, motif warna-warni, dan terkesan parlente yang dipaksakan. Anggur-anggur lokal dan sigaret ala kampung pun diganti dengan botol-botol wine dan sigaret bertaraf internasional dan berharga mahal.

Semua orang dibuat ‘buta’ oleh materi. Tidak hanya masyarakat bawah, tetapi juga walikota, pendeta, dan guru sekalipun. Semua disimbolkan dengan mengubah sepatu-sepatu mereka yang usang dengan sepatu-sepatu warna kuning. Kegemerlapan hidup ini justru menusuk hati Ilak Alipredi. Semua perubahan tadi adalah tanda semakin dekat hari kematiannya. Akhirnya, dalam kelemahan jiwa orang-orang Goela dalam menentang godaan itu, Ilak Alipredi akhirnya mati. Tepatnya, dimatikan.

Seperti biasa, Teater Koma tampil dengan joke-joke bernada satir, kritik sosial, maupun parodi yang sarat dengan pesan moral. Meski demikian, tampak humor sedikit dikurangi bila dibandingkan dengan penampilan sebelumnya. Selain itu, tata panggung juga digarap dengan sangat serius. Termasuk, daun-daun kering yang diseting berhamburan ke kanan atau ke kiri ketika kereta melintas. Ditambah dengan efek suara dan cahaya yang membawa penonton seolah ada benar-benar di tempat kejadian.

Kunjungan Cinta adalah saduran dari naskah asli karya Friedrich Durrenmatt (1921-1990). Lelaki kelahiran Konolfingen, Swiss, 5 Januari 1921 ini menulis banyak cerita pendek, novel, maupun drama. Beberapa karyanya telah mendapat penghargaan.

Asik deh, pokoknya. Menonton Kunjungan Cinta dengan harga weekend Rp100 ribu tidak membuat hati menyesal. Puas. Sebuah kata yang tepat. Selamat ulang tahun buat Teater Koma! [Keterangan: Gambar di atas merupakan karikatur wajah Durrenmatt, si pemilik asli naskah]

No comments: