YOGYAKARTA terasa dingin dan lembab. Langit malam nyaris kosong. Hitam. Tampak satu dua bintang berkelip malu di tempat yang berjauhan. Halaman parkir Stasiun Tugu masih basah. Tanda hujan belum lama berlalu dari Kota Gudeg ini. Jam digital di ponselku menunjuk pukul 23.55 WIB. Hampir sembilan jam, aku, istriku, dan lima saudaraku berada di perut kereta Jayabaya jurusan Surabaya. Kami pulang kampung. Bukan untuk liburan, tapi karena kematian kakek. Kakek meninggal minggu pagi pukul tujuh di RS Panti Rapih. Hampir tiga minggu kakek berjibaku dengan sakit akibat komplikasi. Selain itu, usianya sudah sepuh, 86 tahun. Raganya pun sudah rapuh. Kabar kematian ini pun tidak begitu membuat kami bersedih, minimal diriku. Harusnya justru bersyukur karena kakek sudah berhasil melewati masa-masa sakit. Apalagi dikaruniai umur panjang. Umur yang belum tentu dimiliki oleh orang-orang sekarang.
Di parkiran, salah satu omku sudah menunggu kami. Kijang biru yang satu setengah jam tergolek di sudut parkiran segera kami masuki. Kami pun melenggang menyusur jalan Pasar Kembang. Sepi. Di tepi jalan, nampak warung ‘nasi kucing’ alias angkringan masih buka dengan tiga pemuda kelihatan asik bercengkerama. Dari Pasar Kembang, mobil belok ke selatan, melintasi Bugisan, Madukismo, dan berhenti di Sembungan. Tepat, di samping rumahku.
Rumahku terlihat terang. Lampu-lampu neon menggantung di bawah tenda menerangi kursi-kursi yang belum rapi tertata. Rupanya, jenazah kakekku disemayamkan di ruang tamu rumahku. Rumahku berhadap-hadapan dengan rumah kakek. Dipisahkan oleh sebuah taman kecil. Persis saat mobil kijang berhenti, isak tangis meledak dari mulut tanteku. Gulungan air mata segera membanjiri pipinya. Aku tetap tenang. Kuambil tasku di bagasi dan berjalan pelan menuju kamar tempat jenazah kakekku disemayamkan.
Udara masih saja dingin. Di depan kamar, saudara-saudaraku yang lain berdiri dan menyalami kami. Hening. Senyap. Mata-mata saudara perempuanku tampak sembab. Termasuk mata ibu, anak sulung kakekku. Sudah berapa liter dikeluarkan dari kalenjar mata mereka. Aku sendiri heran, kenapa kematian harus ditangisi? Apalagi untuk seorang seperti kakek yang memang sudah waktunya Toh, kematian adalah salah satu kepastian selain ketidakpastian itu sendiri. Kematian lumrah bersanding dengan kehidupan. Aku tidak menyalahkan mereka yang kelihatan atau sok kelihatan cengeng itu. Cengeng juga lumrah. Aku jadi ingat apa yang dikatakan Khalil Gibran dalam sajaknya berjudul Kekasihku Layla. “Kehidupan lebih lemah dari kematian, tetapi kematian lebih lemah daripada cinta...” tulis penyair Lebanon itu.
Di kamar, peti coklat berhias kelambu putih dengan pernik bunga di sana-sini tergolek tenang. Sepasang lilin menyala kecil, ditemani sebatang dupa yang sudah hampir habis dimakan api. Wangi. Ruangan itu wangi oleh dupa. Foto lukisan pensil wajah kakek diletakkan di meja. Tampan. Gagah. Sebuah wajah umur duapuluhan.
Aku melangkah maju. Di dalam peti, terbujur sosok lelaki tua terbujur kaku dan dingin. Tubuh sosok tanpa detak jantung itu terbalut jas warna hitam, lengkap dengan dasi, dan sepatu vantopel. Sebuah dandanan untuk sebuah pesta atau acara resmi. Mungkin sebuah simbol. Simbol bahwa kematian tidak perlu ditangisi. Kematian adalah jalan menuju pesta. Pesta abadi di mana kematian tidak bakal datang lagi. Pesta milik orang-orang yang telah menuntaskan panggilannya di muka bumi ini.
Di depan jenazah kakek, aku berdiri dan berdoa. Pelan berputarlah memoriku tentang perjumpaan bersama kakek selagi hidup. Sepotong-sepotong, seperti acara kilas balik di televisi di penghujung tahun. Aku jadi ingat pada sepotong siang, saat aku libur dari asrama, ngobrol bareng kakekku. Banyak hal, dari spiritualitas orang Jawa, kisah pewayangan, tembang, hingga pengalaman masa muda, gadis-gadis cantik, hantu, dan sebagainya. Aku ingat juga cerita kakek saat dikejar-kejar ‘begal’ (penjahat) di kebun tebu. Kakek terpojok. Ia pura-pura mau mengeluarkan pistol dari celananya. Melihat keseriusan mimik kakek, larilah penjahat itu. Kakek pun terkekeh bangga. Aku juga ingat saat kakek bercerita pernah tidur di kuburan. Saat tidur ia pernah didatangi genderuwo, hantu raksasa buruk rupa. Ia berkelahi. Tubuh kakek diangat dan dilemparkan ke tanah. Uhh, ada-ada saja ceritanya. Yang jelas, aku menyesal kenapa aku tidak pernah menuliskan hasil obrolan itu.
Kini, kakek sudah mati. Ia seperti seorang Godfather yang meninggalkan banyak cerita dan kebanggaan. Jasadnya sudah dikubur di tanah Gunung Sempu esok harinya. Selamat jalan!
No comments:
Post a Comment