TAHU gak? Malam-malam seputar Natal 2006, bersama istri dan kakak perempuanku, aku menonton tiga seri film Harry Potter. Tiga seri itu, antara lain Harry Potter and the Sorcerer's Stone, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, dan Harry Potter and the Goblet of Fire. Kisah-kisah ajaib, seru, apik, seakan membawa kesadaranku pada dunia dongeng. Tidak kalah juga dengan versi novelnya. Meski film-film ini sudah pernah ditonton tahun lalu, tapi decak kagum tidak pernah hengkang dilontarkan pada buah karya penulis JK Rowling ini.
Di antara gelombang kekaguman itu, bagian-bagian dari narasi film itu menggugah kesadaran akan pengalaman masa lampau. Sekolah penyihir Hogwarts yang terbagi dalam asrama, Gryffindor, Ravenclaw, Slytherin, membawaku pada romantisme saat hidup bersama di asrama seminari dulu. Di sana, 14 tahun lalu, aku juga hidup dalam seminari yang terbagi berbagai asrama. Ada Medan Pratama, Medan Madya, Medan Utama. Demikian juga saat dua tahun hidup di Novisiat St. Stanislaus Kotska. Duh, sebuah perjalanan hidup nyantrik layaknya para santri yang lagi mengolah diri di kawah candradimuka, seperti di dunia pewayangan.
Selain itu, kegiatan belajar dan perpustakaan di Hogwarts, juga menjadi kegiatan keseharian kami. Sosok tiga sahabat, Potter, Ron Weasly, dan Hermione Granger, mengingatkanku juga pada sosok-sosok sahabat dekat di asrama. Belajar bareng, jalan-jalan bareng, makan bareng, dan mencuri pepaya bareng. Wuah, sebuah romatisme yang menyenangkan kalau diingat. Di depan televisiku, aku merasa tiba-tiba ada yang hilang dalam hidupku. Khususnya, hidup di Jakarta ini, setelah keluar asrama, bekerja sebagai wartawan, dan menikah. Yang hilang itu tak lain adalah suasana belajar. Aku merindukan saat-saat belajar bersama di kelas atau menyendiri di ruang perpustakaan setelah mandi di sebuah senja. Duduk, diam di depan tumpukan buku-buku tebal. Sesekali menulis. Uh, jadi ingat resep yang aku tiru dari Profesor filsafat, Franz-Magnis Suseno SJ yang memberiku matakuliah metodologi belajar selama satu semester. Ia seperti Profesor Albus Dumbledore, kepala sekolah Hogwarts. Ia mengajari bagaimana membaca yang baik, membuat rangkuman, menangkap inti tulisan, mempersiapkan ujian, dan sebagainya. Selain itu, sosoknya yang aku jumpai, kala itu, di asrama membuatku terinspirasi memilih kapan waktu belajar yang paling tepat. Jawabannya, senja hari setelah menghabiskan sore dengan jogging dan minum nutrisari dingin dengan aroma jeruk nipis. Dijamin, suasana belajar akan sangat intensif.
Persaingan dan iri hari mewarnai kehidupan asrama. Persis juga yang dialami gengnya Potter dengan Draco Malfoy. Termasuk persaingan antarasrama, baik yang sehat atau tidak. Pertandingan Quidditch mengingatkanku pada pertandingan bola antarasrama. Di Mertoyudan dan Girisonta, kami memunyai lapangan bola dengan ukuran kecil. Tidak standar. Tapi, lumayan buat olahraga dan melepaskan kejenuhan belajar. Kericuhan Quidditch juga kami alami. Bahkan, tawuran antarasrama. Pokoknya, masing-masing asrama merasa menang sendiri.
Sosok-sosok hantu bergantayangan layaknya para Dementor yang menjaga Penjara Azkaban mengingatkan pada mitos tak berdasar tentang Suster Kesot. Hantu suster tanpa wajah yang suka menganggu bila para seminaris berjalan sendirian di gang. Delapan tahun hidup di asrama, suster tak berwajah itu pun tak jua aku jumpai. Sosok Dementor ini justru terwujud pada para pamong-pamong kami yang suka 'bergantayangan' saat jam-jam belajar. Seminaris yang ketahuan tidak belajar pada jam-jam belajar akan dikena semprot dan dihukum. Wajah-wajah dementor itu sering melayang-layang dari balik jendela kubikel, tempat kami belajar.
Suasana jamuan makan dengan bangku panjang dan para siswa Hogwarts berderet rapi dan riuh menyantap hidangan, mengingatkanku pada refter, ruang makan dengan meja panjang berisi 8 orang. Refter ini terisi puluhan meja makan. Jadi, ingat ketika kita tidak bisa kehusyuk berdoa makan karena bersiap-siap rebutan daging babi, menu favorit di hari libur. Dasar, anak-anak asrama!
Petualangan Potter, Hermione, dan Ron saat memasuki lorong-lorong sekolah, berbekal dengan senter, mengingatkanku akan pengalaman jaga malam giliran di Girisonta. Tugas jaga dilaksanakan oleh dua novis. Tidur di ruang rekreasi. Bangun setiap pukul 2 pagi. Berjalan, lengkap dengan senter dan sarung. Menyusuri lapangan yang gelap gulita, makam para pastor Jesuit, berjumpa dengan Pak Senen-pegawai asrama yang suka menyapu kebun pada malam hari dan menimbulkan suara mengerikan bagi yang tidak mengenalnya. Pertualangan jaga malam biasa diakhiri di kamar makan untuk sekadar makan menu sisa, menghabiskan pisang, atau mencuri keju dan beef milik pastor-pastor bule.
Sementara itu, kita juga memunyai mantra-mantra sihir. Di dunia Harry Potter, ada Wingardium Leviosa (mantra pengangkat benda), Alahomora (mantra membuka pintu terkunci), Lumos (menyalakan lampu), Petrificus Totalus (mantra pengikat kaki dan tangan), Obliviate (mantra penghapus memori), Riddikulus (mantra pengubah wujud), atau Expecto Patronum (mantra mengundang sosok pelindung). Nah, kami juga memunyai mantra-mantra itu. Tapi, bukan untuk menyihir, melainkan memberi semangat kami dalam belajar dan hidup. Misalnya, Age quod Agis (berusaha mati-matian), Non Scholae sed Vitae Discimus (kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup), Amor Tui (cinta padamu), discreta caritas (pertimbangan penuh cinta), dan semacamnya. Semua ditulis dengan bahasa Latin. Asyik, kan!
Yah, tak salah aku puter film Harry Potter. Yang jelas, perpustakaan pribadiku setia menungguku untuk aku 'gauli' setiap senja tiba. Lah, bukannya 2007 adalah tahun menulis buku? Pokoke, lawan hidup bukanlah kematian, melainkan ketuaan. Nah, aku mengamini kata-kata Simone de Beauvoir ini...
Monday, January 01, 2007
Natal, Potter, & Sepotong Romantisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
eh, apa kamu sedang menyamakan kamu dengan harry potter? hehe ...
Post a Comment