Monday, February 05, 2007

Keretaku Berhenti Lama

SENJA sudah pudar di kaki langit. Malam semakin menyempurnakan diri. Kulempar senyum pada istriku saat Kereta Senja Utama mulai merangkak meninggalkan Stasiun Tugu. Istriku membalas dengan kedipan genit dari matanya yang tajam. Kurebahkan manja tubuhku di bangku kereta yang tak empuk lagi. Tubuh yang cukup lelah setelah seharian mengikuti prosesi pemakaman jenazah kakek.

Roda-roda kereta terus berderit. Semakin kencang dan bergemuruh. Lampu-lampu di jalan dan di rumah-rumah penduduk di pinggur rel tampak berlarian kencang di balik jendela.
“Sampai Jakarta jam berapa?” tanya istriku yang duduk sebangku dengan tanteku. Aku sendiri duduk di samping lelaki tua bersafari hitam.
“Kalau tidak telat, pukul lima sudah sampai di Jakarta. Kamu tidur saja. Hemat energi buat pekerjaan besok,” balasku.

Istriku tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Sudah satu hari ia izin tidak masuk kerja di pusat perbelanjaan milik orang Prancis. Masak ia harus izin lagi gara-gara keretanya ngadat. Aku mengambil majalah dan mulai membacanya. Rasa kantuk mulai menggerayangi kepala. Aku pun tertidur meninggalkan halaman majalah yang belum rampung kubaca.

Aku terjaga. Udara terasa gerah. Kulitku basah oleh keringat yang mengintip di pori-pori. Suara gaduh muncul di gerbong dan di luar jendela. Keretaku berhenti. Stasiun Ciledug ramai dengan orang. Kulihat jam ponselku menunjuk pukul 1.30 WIB. Dini hari yang panas, 29 Januari 2007. Aku mulai mengibaskan majalahku untuk mengusir hawa panas. Istriku juga tampak tidak jenak. Aku pikir ini sebuah perhentian biasa. Menunggu kereta di depan lewat. Toh, relnya cuma satu, jadi harus gantian. Namun, ada indikasi ketidakberesan. Orang mulai kasak-kusuk. Ada yang bilang lokomotifnya mogok. Ada yang bilang kereta lain anjlok. Banyak spekulasi di gerbong berkapasitas 64 orang itu.

Akhirnya, seorang petugas kereta melewati gerbong. Petugas itu memberitahu kami tentang adanya kereta yang anjlok di Barat Stasiun Cirebon. Tapi, masih belum jelas persisnya berita itu. Aku merogoh saku celana jeansku dan menemukan ponselku sudah tak bernyawa alias beterainya habis. Demikian juga ponsel istriku. Sementara ponsel tanteku masih berfungsi mengabari saudara lain meski sedang sekarat alias lowbat. Informasi detail baru aku dapatkan sore hari di warnet dekat Universitas Bina Nusantara. Ternyata, KA Bengawan KA-156 jurusan Jakarta-Solo anjlok di antara Stasiun Arjowinangun dan Stasiun Bangodua Cirebon. Lagi-lagi, kecelakaan kereta. Padahal dua pekan sebelumnya KA Bengawan anjlok di atas Kali Pagar Banyumas dan menewaskan lima orang. Hati sempat mengumpat. Tampaknya, pemerintah tidak pernah belajar pada masa lalu. Kecelakaan kereta terus terjadi. Belum kecelakaan kapal terbang dan kapal laut. Korban sudah berjatuhan. Bangsa ini bukan bangsa pembelajar.

Banyak penumpang kereta keluar dari gerbong. Entah mencari angin segar maupun meminta informasi pada para penjaga stasiun. Pukul 2.30 WIB, corong mikrofon stasiun mengumumkan agar para penumpang di gerbong kereta ekonomi, kereta yang berhenti di samping keretaku, untuk turun dan akan dioper dengan bus menuju Stasiun Cirebon. Gaduh bercampur umpatan dan wajah-wajah kesan mengiringi kepindahan mereka. Aku memilih keluar. Berjalan ke pos penjagaan. Ngobrol dengan penumpang lain sambil melepas kekesalan. Istriku memilih tetap tinggal di perut kereta.

Pukul 5.30 WIB, keretaku kembali diberangkatkan. Pekat dan hitamnya langit sudah pudar. Terang mulai nampak dari arah Timur meski matahari tidak nongol karena mendung. Angin sawah masuk ke gerbong memalui jendela yang kacanya sudah retak. Bercampur bau tanah, angin ini membawa sedikit kesegaran. Berderitnya roda-roda kereta itu menumbuhkan harapan bagi kami untuk cepat sampai Jakarta. Meski kami tahu kami sudah tidak bisa masuk kerja hari itu. Namun, harapan itu kembali menguap saat kereta berhenti lagi di Stasiun Luwung.

Di luar jendela, daun-daun pisang melambai-lambai kencang. Seolah mengejek dan menertawai kami yang sedang kena musibah ini. Kulihat istriku cemberut dengan kerutan wajah pucat tanda kurang tidur. Sepucat pagi yang sudah semakin terang. Seperti di stasiun sebelumnya, keretaku berhenti lama lagi. Penumpang kembali berhamburan ke luar. Bergerombol dan ngobrol ngalor-ngidul untuk membunuh kejenuhan. Suara tangis bayi memecah pagi dari gerbong depan. Tak lama, petugas datang dan memberitahu bahwa kereta akan diberangkatkan ke Cirebon dan di sana seluruh penumpang akan dioper dengan bus menuju Stasiun Arjowinangun.

Namun, baru pukul 9.45 WIB, kereta kembali merangkak. Tante pun sempat menge-charge baterai ponsel di pos penjagaan meski tidak penuh. Tiba di Cirebon, para penumpang segera berhamburan, berebut bus yang disediakan di belakang stasiun. Aku pun berlari bersama istri dan tanteku. Akhirnya, kami pun dapat bus pariwisata. Untungnya, kami dapat bus ber-AC sehingga udara di perut bus pun terasa segar. Setengah jam kemudian, bus berangkat dan melintasi jalan-jalan di Kota Cirebon. Duapuluh menit kemudian, bus sampai di Stasiun Arjowinanngun. Di sana, kami dioper lagi dengan kereta Senja Utama menuju Jakarta. Satu jam kemudian kereta berangkat menuju Jakarta. Lanting dan sebotol aqua yang dicampur bubuk minuman energi Extra Joss menjadi ganjalan perut di perjalan berikutnya.

Tiba di Jakarta, langit sudah mulai merah. Senja sudah mengintip di kaki langit. Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan dengan mantap. Lega meski penuh gumpalan kekecewaan. Kugandeng istriku menuju depan Stasiun. Tak lama, taksi blue bird membawa kami meluncur ke Kebon Jeruk. Inilah perjalanan keretaku paling lama dengan melalui dua senja sekaligus. Jakarta kembali kupeluk meski dua hari sesudahnya hujan deras menghajar. Meninggalkan banjir dan derita baru.

No comments: