MAWAR tidak pernah abadi. Melati tak lagi mewangi. Aku hanya tak ingin mati besok pagi. Doaku malam ini. Itulah deret kata yang sengaja dilempar seoarang gadis dari Timur jauh dan membuat ponselku menjerit saat malam merambati puncak. Seseorang yang mengaku sebagai si penjaga dan penafsir malam.
Angin berhembus lewat lobang kunci. Pesawat televisi masih setia berceloteh tanpa pemirsa. Senyap dan kosong berkunjung sebagai tamu tak diundang. Jemariku segera membekap ponselku. Dalam iringan suara detak jam dinding kamar sebelah, aku membalas sapaan dari Si Penjaga dan Penafsir malam. “Malam juga tidak abadi. Malam laksana sebuah jendela. Jendela yang memampukan mata kita melihat siang, melihat senja, awan, embun, lebah, gemulai mawar, melati putih, dan sebagainya. Aku melihat parasmu mengintip dari balik jendela itu.”
Aku pernah memandangi paras itu dari balik bayang-bayang Merbabu. Sudah lama. Dua tahun silam. Paras itu samar dalam balutan debu yang menguar dari hentakan kaki-kaki bocah yang memainkan warok asal Dusun Dayoga. Paras yang terpana saat memandang mahkluk-mahkluk hijau penunggu merapi berjingkrak mengelilingi pohon randu besar yang pucuknya menembus langit biru. Paras yang beku, terpaku, saat Nyanyian Kepundhan dikidungkan oleh barisan jubah putih. Sebuah nyanyian kehidupan dari lereng lima gunung yang berharap damai, keadilan, sudi diturunkan dari Kerajaan Langit. Paras itu tampil dengan keluguannya saat memandangi langit-langit kamar di mana cicak sedang enggan berburu mangsa. Paras yang bercahaya saat subuh mulai menaungi kota Muntilan berserta seluruh isinya. Ya, paras, paras yang kupandangi dua tahun silam.
Aku kembali meraih ponselku. Lama menunggu jawaban. Kutulis lagi selarik kata. “Ada bola raksasa menyala dan menari-nari di hatiku saat malam sudah pekat dan pori-pori bumi siap berkeringat embun pagi. Aku melihat Cinta terpantik oleh angin timur yang menyusup membawa dingin. Beku.” Selarik huruf digital itu pun segera kuterbangkan ke langit-langit. Biarlah peri-peri malam membawanya jauh ke Timur. Lama jawaban tidak kunjung jua. Kutulis selarik lagi. “Dan Cinta itu berubah wujud menjadi kupu-kupu. Sudah ribuan kali aku berusaha memungut kedua sayapnya. Tapi, ia selalu lepas. Terbang. Menebar pesona dan menggoda. Dan malam mengajariku satu kebajikan: Cinta bukan perkara memiliki. Cinta itu membiarkan kupu-kupu itu pergi sesuka hati. Lepas. Bebas kemana ia maui. Aku pun ingin menjadi kupu-kupu.”
Satu jam berlalu. Malam pun larut dalam dingin. Peri-peri langit itu telah kembali dan membawa selarik kata dari Si Penjaga dan Penafsir malam. “Pagi yakin tidak ada yang bosan pada kabut dan udara segarnya. Malam tidak takut kehilangan pengagumnya, para penerjemah inspirasi di kegelapan dan kesunyian. Mereka adalah sang indah yang angkuh.”
Pukul dua kurang dua menit. Pagi. Gelap dan hitam. Kembali kutulis selarik kata. Kuharap dia masih berjaga meskipun bunga-bunga tidur terserak di berbagai sudut Yogyakarta dan seluruh lorong-lorongnya. Tak peduli apakah Merapi batuk-batuk atau perut bumi tiba-tiba menggeliat. Tidur ya tidur, sebuah kepasrahan total pada Penguasa malam. “Desau angin juga tak pernah lupa pada pucuk cemara. Pagi pun tidak rela membiarkan malam menjadi perawan tua. Cinta berubah menjadi air yang merembes pelan di spon hati yang terbekap malam. Malam pun berubah menjadi butiran mantra agar kupu-kupu itu sudi singgah di kelopak jiwanya. Meski cuma untuk sementara.” Satu larik terakhir yang kukirim ke kampung halaman.
Aku pun berdoa agar kamu tidak mati pada esok pagi. Buat sahabatku, Aurelia Claresta....
Wednesday, March 21, 2007
Si Penjaga dan Penafsir Malam
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment