INI bukan kata-kata Pontius Pilatus saat jari telunjukknya mengarah sosok lelaki lusuh bersimbah darah. Isa, putera Maryam. Penuh luka. Kesepian. Siap meregang nyawa di pucuk bukit tengkorak. Golgota. Ini juga bukan judul buku karangan Friedrich Wilhelm Nietzsche, sang filsuf ateis binal. Ecce homo, artinya lihatlah lelaki itu! Nah, aku mau berkisah tentang seorang laki-laki. Bayangannya tidak pernah hengkang dari pikiranku. Berikut ceritanya:
Senin, 29 Mei 2006, Bintaran, Jogjakarta. Malam baru saja larut dalam beku. Sebentar lagi pagi. Lelaki itu masih saja duduk menemaniku. Aku sibuk mengetik di depan komputer. Mengetik kisah pedih masyarakat yang dua hari sebelumnya diterjang gempa. Gempa dini hari itu menewaskan lebih 6000 warga Jogja. Seharian setelah keliling di antara puing-puing rumah di Bantul, aku harus mengirim sepotong berita untuk Jakarta. Tapi, tidak ada komputer di sini. Listrik pun padam. Sebagian Jogja pun menggelap. Hanya ada kilatan lampu teplok dan lilin menyala di tenda-tenda. Diiringi suara tangisan orang-orang yang kehilangan kerabatnya. Tapi, rumah lelaki itu tetap terang. Listrik masih mengalir di pusat kota. Sesekali mati. Lelaki itu baik hati meminjamiku komputernya. Barang sejenak. Kebetulan ia punya usaha kursus komputer yang namanya sudah cukup ternama di kota ini.
Aku terus mengetik. Lelaki itu masih ada di kursinya. Sesekali tangannya mengusap perutnya yang berbalut singlet putih. Seringai kecil keluar dari bibir cokelatnya. Seolah menahan sakit yang muncul dari tubuhnya yang mengkilap lantaran keringat tipis. Mungkin dia sedang sakit. Tapi, aku memilih diam. Melanjutkan baris demi baris kalimat di layar monitor.
Angin pagi menyelinap lewat lobang angin. Menusuk kulit dengan rasa linu. Tiga ekor cicak mematung di langit-langit. Mengintai nyamuk dan ngengat yang terbang memutari lampu neon. Jambangan penuh bunga mawar plastik tergeletak di atas meja. Foto besar lelaki itu bersama istri dan dua anaknya tergantung tenang di tembok bercat putih. Dispenser dengan galon aqua minim air berdiri di pojok ruangan.
Pukul satu pagi sudah lewat. Lelaki itu bukannya tidur, tapi mengajakku berdiskusi. Tentang gempa. Maklum, lelaki itu lulusan Geologi dari universitas ternama di Jogja. Sayang saja, nasib belum mengijinkan dia bekerja sesuai dengan disiplin ilmunya. Justru itu, ia malah sukses membangun bisnis komputer. Aku salut padanya. Aku sempat jadi saksi mata bagaimana ia belajar keras ilmu yang digelutinya. Tahu gak, di kamar belajarnya yang pengap karna minim ventilasi, bongkahan macam-macam jenis batu tergeletak. Batu-batu yang ia ambil sebagai bahan penelitian. Salut. Dia menjadi inspirasiku. Ia pembelajar serius. Ia juga tipe orang rasional.
Lelaki itu terus berceloteh. Ia mengambil kertas dan menggambar. Ia pun mulai mengajar. Jogja memang rawan gempa karena berada di jalur patahan. Di Jogja, ada sesar Kali Opak. Gempa terjadi karena pergeseran sesar. Bukan lantaran aktivitas Merapi. Sebaliknya, pergesaran ini menyebabkan Merapi makin batuk-batuk dan muntah. Sesar Opak tertekan. Dari Utara oleh gemuruh Merapi. Dari Selatan oleh lempeng India-Australia. Menubruk lempeng Eurasia. Lempeng ini mengkerut dan meregang. Saat merangkak ke titik jenuh, lempeng ini melenting. Terjadilah gempa. Begitulah lelaki itu berceloteh dengan semangat. Sampai akhirnya, kami menyudahinya lantaran kantuk menggerayangi kepala.
Persis setahun berikutnya. 29 Mei 2007, Bintaran, Jogjakarta. Malam sudah membungkus isi kota. Pesawat Adam Air yang membawaku baru saja mendarat di bandara. Setengah jam kemudian, aku sudah berada di rumah lelaki itu. Rumahnya tampak terang benderang oleh neon-neon yang dipasang di teras rumah. Kursi-kursi lipat ditata berjejer. Orang-orang dengan wajah kuyu berkumpul. Celotehnya terdengar samar.
Aku pun kembali berada di ruangan di mana aku mengetik malam hari ditemani lelaki itu. Ruangannya masih sama dengan kondisi setahun lalu. Angin malam masih gemar menyelinap lewat lobang angin. Menusuk kulit dengan rasa linu. Cicak-cicak pun mematung di langit-langit. Mengintai nyamuk dan ngengat yang terbang memutari lampu neon. Jambangan mawar plastik juga masih ada di atas meja. Foto besar lelaki bersama istri dan dua anaknya tergantung di tembok bercat putih sedikit kumal. Dispenser dengan aqua galon minim air juga masih berdiri di pojok ruangan. Tapi, lelaki itu tidak ada di sana. Celotehnya juga tidak terdengar. Ia tidak ada di ruangan itu.
Ternyata lelaki itu ada di ruang tamu. Dikerumuni banyak kerabat dengan mata becek. Lalaki itu terbujur beku di dalam peti. Ia mati saat matahari merangkaki puncak siang. Ia mati setelah berjibaku dengan virus Hepatitis B. Virus yang juga membunuh kakak perempuannya 10 tahun silam. Ia mati tiga bulan setelah ayahnya mangkat lantaran uzur usia.
Thursday, August 02, 2007
Ecce Homo!
Lihat lelaki itu! Ia beku. Tanpa kata. Tanpa sapa. Lelaki itu tak lain adalah omku. Rest in peace!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Bagus banget bahasanya.. tapi aku kudu kerja keras nih ngebacanya.. maklum deh.. ada beberapa point yg ga masup.. hehehehehe
Tapi eniwei.. BAGUUUUUSSS!!!!
turut berduka mas...
Post a Comment