Monday, August 27, 2007

Penarik Gerobak Sampah

SEMINGGU ini, dirinya tidak muncul. Tiap pagi aku dan ibu peri menunggunya. Dirinya pun tidak menampakkan batang hidungnya. Suara paraunya pun senyap tiada terdengar dari balik jeruji pintu garasi. Sementara, sampah di dapur dan di garasi kian menumpuk. Baunya mengelena ke segala arah. Membuat hidup tidak jenak. Sementara, trio mickey mouse-sebutan tiga tikus kecil berkuping besar yang bersarang di gudang, pasti senang memanfaatkan kondisi ini. Bayangkan saja, tiap pagi usai bangun tidur. Aku pasti menemukan tisu, kulit pisang, tulang ayam, cuilan roti tawar, berserak tak keruan. Sudah dipastikan itu ulah trio mickey mouse.

Menghadapi tiga penjahat kecil itu, terlintas dalam benakku untuk memasang perangkap tikus. Tapi, aku tidak boleh membunuh binatang kecil itu atas permintaan peri kecilku. Terbayang juga memelihara kucing. Tapi, aku sendiri emoh melihat kucing tinggal di rumahku. Tiap malam saja, ada kucing liar membuat kegaduhan di atas atap rumah. Kadang menjerit tengah malam. Kadang berkejaran dengan suara gemeludug. Entah lagi mengejar tikus, bertarung memperebutkan pasangan, atau lagi birahi di dalam gelap. Tiga minggu lalu, tiba-tiba ada lima anak kucing mengeong-ngeong di dalam garasi. Tak tahu dari mana asalnya. Induknya pun tidak tampak. Mungkin sedang berburu tikus atau sepotong roti. Mungkin juga kabur karena tidak sudi mengasuh kelima ekor itu. Tapi, kelimanya mengeong-ngeong tanpa dihiraukan si induk. Dirasa menganggu, kumasukkan kelimanya dan kubuang di tempat yang jauh. Ibu peri pun sedikit mengomel. Membuat hatiku merasa sedikit bersalah. Teman kantorku pun ikutan mengomel. Aku disebutnya sebagai penjahat binatang. Maklum, dirinya begitu gandrung dengan kucing. Sampai ikon dalam yahoo messengernya-pun berupa paras seekor kucing.

Lagi-lagi, persoalannya adalah sampah. Dirinya seminggu ini tidak datang. Suara paraunya pun terdengar senyap dari balik jeruji pintu garasi. Sampah semakin menggunung. Bau tidak sedap pun mengelana ke berbagai arah.

“Ada apa dengan tukang sampah itu?” tanyaku pada si ibu peri.
“Tidak tahu. Setiap pagi aku juga menunggunya.”
“Mungkin dia sakit. Membeku karena hawa dingin.”
“Bisa juga. Tiga hari hujan turun tiap sore.”
“Persis si tukang gorengan. Ia juga tidak ada di tempat. Mungkin ikutan membeku.”
“Ah, alasan kamu saja untuk tidak membelikanku singkong goreng.”

Minggu pagi, aku sengaja melanjutkan tidur di sofa hijau. Berjaga kalau si tua penarik gerobak sampah itu datang. Berjaga siapa tahu dirinya menyapaku dari balik jeruji garasi dengan suara parau. Alarm di ponselku pun aku pasang pukul 08.00. Jam-jam di mana si tua bertopi hitam kumal itu lewat di depan rumah. Padahal malam minggu kemarin, aku begadang untuk menikmati tontonan gala aksi Bruce Willis dalam Die Hard 4 dan Mat Dammon dalam The Bourne Identity, The Bourne Supremacy, dan The Bourne Ultimatum. Minggu pagi, kelopak mata pun berat dibuka.

Aku pun meleleh dalam sofa hijau. Sampai suara parau dari balik jeruji garasi membangunkanku. Aku meloncat girang. Menyahut suara parau itu. Kubawa beberapa tumpuk plastik kresek besar berisi sampah ke depan. Kulihat wajah si tua itu tidak sesegar seperti biasanya. Mungkin dirinya sedang sakit. Melihat itu, aku memutuskan diam saja. Tanpa bertanya mengapa seminggu ini dia tidak berkeliling dengan gerobaknya. Sampai kuputuskan untuk memberi sebuah kado bila Lebaran nanti tiba. Tanpa lama, sampah pun hengkang dari rumah bersama bau-bau tidak sedap itu.

Bisa dibayangkan, betapa parahnya persoalan sampah di kota ini. Pemerintah daerah kwalahan mengolah sampah. Tanah pembuangan sampah pun minim. Para penghuni kota pun tidak peduli. Buang sampah sembarang. Entah orang kaya. Orang miskin. Orang terdidik. Orang bodoh. Semua bodoh membuang sampah sembarangan. Baru akan kita sadari ketika yang kita hempaskan sembarangan itu kembali kepada kita membawa bencana.

Aku pun harap-harap cemas kalau dia tidak datang lagi. Tidak menarik gerobak lagi. Dan tidak menyapaku dari balik jeruji garasi dengan suara parau.

No comments: